Mereka yang menjaga nasab ini ada empat kelompok. Pertama, keturunan Arab (termasuk keturunan Sayyid dan Syarif). Kedua, keluarga Kiai pesantren. Ketiga, keluarga Keraton/Kerajaan. Ke empat, orang umum yang sering diajak orang tuanya ziarah ke makam leluhur.
Beginilah kondisi umat Islam di negeri kita. Rata-rata tidak peduli dengan upaya menjaga nasab, padahal menjaga nasab adalah salah satu ajaran Islam yang penting. Rasulullah SAW bersabda :
“Kenalilah nasab kalian, dengan demikian kalian bisa menyambung tali silarurrahim” (H.R. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro)
Paling tidak ada tiga urgensi mengenali nasab diri. Pertama, untuk melaksanakan hukum waris Islam. Kedua, untuk menghindari pernikahan yang haram karena menikahi mahram. Ketiga, untuk melaksanakan perintah silaturrahim.
Mereka yang mengabaikan nasab, hampir bisa dipastikan juga tidak terlalu sensitif dengan tiga kewajiban di atas dan cenderung mengabaikannya.
Orang Arab terkenal sangat menjaga nasabnya. Tidak heran jika untuk nasab Rasulullah SAW ada yang mengurutkan dan menyambungkan nasabnya sampai ke Nabi Adam, meskipun nasab yang sahih dan disepakati hanya sampai generasi ke 21 saja, yakni sampai Adnan saja.
Beberapa shahabat juga terkenal sebagai pakar dan menguasai ilmu nasab. Di antara mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khotthob, Aisyah, Ibnu Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jubair bin Muth’im, Hassan bin Tsabit, Hakim bin Hizam, Huwaithib bin Abdul Uzza, Makhromah bin Naufal Az-Zuhri, Daghfal bin Hanzholah, dan lain-lain.
Kebijakan Umar yang mendaftar nama tentara berdasarkan kabilahnya dalam sistem Diwan semakin menyuburkan dan menguatkan ilmu nasab di kalangan Arab. Hanya saja, ilmu nasab saat itu masih belum tertulis dan terdokumentasi dengan baik apalagi terkodifikasi rapi. Saat itu ilmu nasab masih ditularkan dan diturunkan dari mulut ke mulut.
Pelopor yang mula-mula berusaha menulis dan mendokumentasikan ilmu ini adalah Ibnu As-Sa-ib Al-Kalbi (w. 204 H). Beliau mengarang lima kitab dalam bidang ini yaitu “Al-Manzil”, “Jamharotu An-Nasab”, “Al-Wajiz”, “Al-Farid” dan “Al-Muluki”. Setelah itu muncul ahli nasab yang lain yakni putranya yang bernama Ibnu Hisyam (w. 213 H) pengarang As-Siroh An-Nabawiyyah yang terkenal itu dengan kitabnya; “Ansabu Himyar wa Mulukiha”.
Lalu muncul Ibnu Sa’ad (w. 231 H) dengan kitabnya; “Ath-Thobaqot Al-Kubro”, Abu Ja’far An-Nahwi (w. 245 H) dengan kitabnya; “Ansabu Asy’-Syu’aro’”, Zubair bin Bakkar (w. 256 H) dengan kitabnya; “Ansab Quraisy”, Al-Baladzuri (w. 279 H) dengan kitabnya; “Ansabu Al-Asyrof”, Al-Hamadani (w. 334 H) dengan kitabnya; “Al-Iklil”, Ibnu Hazm (w. 456 H), dengan kitabnya; “Jamharotu Ansabi Al-‘Arob”, As-Sam’ani (w. 562 H) dengan karyanya; “Al-Ansab”, An-Najjar (w. 643 H) dengan karyanya; “Ansab Al-Muhadditsin”, dan lain-lain.
Peletak pertama ilmu ini ialah Imam Hisyam bin Muhammad bin as-Saib al-Kalbi (w. 204 H). Beliau menyusun lima kitab yang populer dalam ilmu ini, yaitu al-Manzil, al-Jamharah, al-Wajiz, al-Farid, dan al-Muluk. (As-Sam’ani, al-Ansab, Beirut: Dar el-Jinan, cetakan pertama, 1988, juz 1, halaman 5)
Nasab atau jalur silsilah keluarga terkadang menjadi tolok ukur tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Makin mulia silsilahnya, makin banyak orang yang menaruh hormat kepadanya. Bisa kita lihat bagaimana beberapa silsilah kekeluargaan tertentu memiliki kedudukan khusus di tengah masyarakat sosial. Misalnya nasab kekeluargaan yang tersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Nasab ini sangat urgen sekali, terkhusus untuk mengetahui kejelasan identitas seseorang. Saking urgennya, ada bidang ilmu tersendiri yang khusus memelajari nasab. Ilmu Nasab ini sering disebut dalam Bahasa Arab sebagai ‘Ilm al-Ansaab. Tujuan dari disusunnya ilmu ini adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam menyebut nasab seseorang.
Banyak pengaruh dan konsekuensi yang ditimbulkan dari derajat nasab ini. Misalnya, Sayyid ‘Utsman bin Yahya, ulama yang disebut sebagai Mufti Betawi awal abad ke-20 sangat gigih menentang keras perkawinan antara syarifah (perempuan yang memiliki nasab bersambung ke Rasulullah) dengan lelaki yang bukan sayyid atau syarif. Dan, tidak berpengaruh meski walinya sudah mengijinkan pernikahan tersebut. Bahkan merupakan merupakan kewajiban bagi lelaki sayyid lainnya untuk menentang pernikahan tersebut.
Mufti Betawi pada masa Belanda tersebut berpendapat seluruh sayyid dan ulama di Mekkah telah bersepakat bahwa syarifah khusus diperuntukkan bagi lelaki sayyid, sedang perkawinan antara seorang syarifah dengan non-sayyid tidak sah hukumnya.
Masih banyak lagi kasus yang terjadi selain diatas. Melihat efek yang terjadi dari klasifikasi nasab leluhur keluarga, maka tak heran jika ada sebagian orang yang bangga dengan nasabnya.
Meskipun demikian, membangga-banggakan nasab sebenarnya bukan sifat yang baik karena itu merupakan warisan jahiliyah. Karena kemuliaan seseorang tentulah karena ketakwaan. Mungkin tak asing lagi aforisma Arab yang berbunyi, asy-yarafu bi al-adabi, la bi an-nasabi (Kemuliaan itu ditentukan dari akhlak, bukan silsilah nasabnya).
Imam asy-Syafi’i justru pernah menegaskan kalau. kemuliaan itu terdapat dalam ilmu dan budipekerti. Beliau berkata dalam syairnya
حياة الفتى والله بالعلم والتقى * اذالم يكونا لاعتباراً لذاته
"Demi Allah kehidupan seorang pemuda hanya dengan ilmu pengetahuan dan ketakwaaan
Jika tidak memiliki keduanya, maka keberadaannya tidak bermakna."
Dalam kitab Mughni al-Muhtaj fi Halli Alfadz al-Minhaj, Imam al-Ghazali menyebutkan:
شَرَفُ النَّسَبِ مِنْ ثَلَاثِ جِهَاتٍ: إحْدَاهَا: الِانْتِهَاءُ إلَى شَجَرَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَا يُعَادِلَهُ شَيْءٌ. الثَّانِيَةِ: الِانْتِمَاءُ إلَى الْعُلَمَاءِ فَإِنَّهُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ – صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أجْمَعِينَ -، وَبِهِمْ رَبَطَ اللَّهُ تَعَالَى حِفْظَ الْمِلَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ. وَالثَّالِثَةُ: الِانْتِمَاءُ إلَى أَهْلِ الصَّلَاحِ الْمَشْهُورِ وَالتَّقْوَى.
"Kemuliaan nasab itu ditinjau dari 3 sisi. Pertama, nasab yang sampai kepada Rasulullah SAW, maka tak ada sesuatu pun yang dapat mengimbanginya. Kedua, nasab yang terhubung kepada para ulama, karena sesungguhnya mereka adalah warisan para Nabi, dan dengan ulama, Allah SWT teguhkan penjagaan al-Millah al-Muhammadiyyah. Ketiga, nasab yang terhubung kepada orang-orang saleh yang masyhur dan bertakwa. (al-Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj fī Halli Alfadz al-Minhaj, Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1994, juz 4, halaman 276)
3 sisi diatas, bisa menjadi petimbangan bagi kita dalam memandang strata sosial yang berhubungan dengan silsilah leluhur keluarga. Bahwa, tidak selamanya kemuliaan nasab itu patokannya adalah kekayaan materi, akan tetapi keterhubungan nasab kepada Rasulullah Saw, para ulama dan orang-orang shaleh akan merupakan silsilah yang mulia juga.
Kita dapat melihat sendiri di Indonesia bagaimana orang-orang yang silsilah kekeluargaannya bersambung kepada 3 diatas sangat dimuliakan. Para Dzurriyah di Indonesia sangat dimuliakan, juga anak-anak Kiai yang biasa kita juluki dengan Gus.
Kendati demikian, perlu menjadi perhatian pula bahwa tidak selamanya kemuliaan harus dengan nasab. Akan tetapi ada yang lebih tinggi lagi dari pada kemuliaan nasab, yaitu mulianya akhlak dan perangai serta kepribadian kita semua.
Semestinya, jika kita berada pada nasab yang mulia, maka jadilah pribadi yang rendah hati. Jika nasab kita tidak dikenal sebagai tokoh terkenal misalnya, maka jangan merasa rendah diri. Karena pada hakikatnya semua manusia sama, yang membedakan adalah ketakwaannya.
Wallahu Alam