Sidebar ADS

KILAS SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PETA

      Sejarah Berdirinya Pondok PETA 
         diTulungagung, Jawa Timur

  Berdirinya Al-Ma’had As-Suluuk Ath Thoriqot Al-Kubro, Pondok Pesulukan Thoriqot Agung, atau Pondok PETA, berawal dari kiprah Asy-Syekh Al-Quthub Mustaqim bin Kiyai Muhammad Husein. 
Ia lahir pada tahun 1901 Masehi (1319 H), di Desa Kepatihan,Tulungagung, dari rahim seorang perempuan bernama Mursini asal Desa Kedungwaru, Tulungagung, Jatim.

Ketika Syekh Mustaqim berusia 12 tahun, Ia dikirim oleh ayahnya, Kiyai Husein,untuk belajar ilmu agama kepada Kiyai Zarkasyi diKauman, Tulungagung. Ketika itu, Kiyai Zarkasyi termasuk salah seorang ulama Tulungagung yang sering silaturahmi dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadlratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang.

Di bawah asuhan Kiyai Zarkasyi, Syekh Mustaqim remaja belajar Alquran, hadis, fikih, akhlak, tauhid, dan ilmu-ilmu lainnya. Syekh Mustaqim juga khidmah atau ngawulo kepada keluarga Kiyai Zarkasyi. Beliau merawat kebersihan Musala seperti menyapu, mengepel, dan menimba air.

Sekitar tahun 1916, di usia 15 tahun, 
Syekh Mustaqim diantar pamannya, Kiyai Muhammad Sholeh bin Kiyai Abdul Djalil, berguru ke Malangbong, Garut. Di daerah yang kini masuk wilayah Provinsi Jawa Barat itu, beliau Syekh Mustaqim ditempa pendidikan ilmu rohani oleh Syekh Khudlori bin Mbah Kiyai Muhammad Hasan, yang masih termasuk pamannya.

Dari Syekh Khudlori, Syekh Mustaqim menerima ijazah dan talkin Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah dan Thoriqot Naqsyabandiyah. Selain itu, 
Ia juga menerima ijazah berbagai hizib seperti hizib autad (kafi), hizib yamarobil, hizib salamah, hizib mubarok, asma baladiyah, asma jaljalut, dan lain-Iain. 
Di Malangbong, Syekh Mustaqim juga mempelajari berbagai jurus silat ala Sunda.

Pada tahun 1924, di usia 23 tahun, Kiyai Zarkasyi menikahkan Syekh Mustaqim dengan putri Haji Rois yang bernama Halimatus Sa’diyah. Setelah berkeluarga, Syekh Mustaqim bersama istri dan putra putrinya tinggal di rumah Kiai Rois yang hingga kini menjadi lokasi Pondok PETA, di Kauman, Tulungagung.

Syekh Mustaqim mulai berdakwah 
dengan cara mengajarkan silat. Saat itu, 
di masa penjajahan Belanda, memang marak masyarakat yang belajar silat. Perguruan silat banyak berdiri dimana-mana Pertandingan atau kompetisi olah kanuragan sering digelar. Murid – murid Syekh Mustaqim semakin banyak ketika para pendekar senior takluk dan berguru kepadanya.

Pada tahun 1930, murid-murid silat itu sering diajak berbincang perihal ilmu agama. Terutama berkaitan dengan ilmu rohani, ilmu tauhid, dan tentang thoriqot. Beberapa di antaranya diajari Syekh Mustaqim tentang ilmu tasawuf, tazkiyatul qolb, serta mengamalkan dan berbaiat Thoriqot Naqsyabandiyah dan Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah.

Dapat dikatakan, pada tahun 1930 itulah merupakan tonggak sejarah berdirinya Pondok PETA, yang ketika itu masih disebut sebagai Pondok Kauman. Memang tidak tampak bangunan fisik yang menandakan lazimnya sebuah pondok. Namun, tahun 1933, Syekh Mustaqim mulai melakukan pembinaan rohani secara intensif kepada para murid dengan kegiatan wirid secara berjamaah.

Sebagai seorang guru thoriqot(mursyid), Syekh Mustaqim selalu menekankan kepada murid – muridnya tentang tujuan dan niat untuk taqarrubatau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kalimat laa maqshuuda illallah, laa ma’buuda illallah, laa maujuuda illallah(tiada yang dituju selain Allah, tiada yang disembah selain Allah, tiada yang wujud selain Allah) selalu Ia hunjamkan ke kalbu murid – muridnya

Ajaran yang ditanamkan Syekh Mustaqim itu berlanjut pada masa kemursyidan Hadlratus Syekh Abdul Djalil Mustaqim dan lestari hingga era kemursyidan Hadlratus Syekh Charir Muhammad Sholachuddin Al-Ayyubi saat ini. Segala aktivitas murid – murid Pondok PETA harus selalu diniatkan untuk beribadah semata karena Allah SWR semata.

Pada tahun 1936, Syekh Mustaqim kerawuhan ulama besar yang juga seorang mursyid thoriqot syadziliyah, yakni Syekh Abdurrozaq bin Abdulloh At-Turmusy (Pondok Pesantren Tremas, Pacitan). 
Ia adalah adik kandung ulama terkemuka Indonesia yang bermukim di Mekah, 
Syekh Mahfudz bin Abdulloh At Turmusy.

Syekh Mustaqim dan Syekh Abdurrozaq saling bertukar ilmu dan wirid. Syekh Abdurrozaq yang biasa disapa Den Dur mengijazahkan aurod thoriqot syadziliyah kepada Syekh Mustaqim. Saat itu, Den Dur bahkan berpesan kepada Syekh Mustaqim agar mengembangkan dan mensyiarkan thoriqot syadziliyah.

Atas amanat Syekh Abdurrozaq itulah, 
di antara tiga thoriqot yang diajarkan, thoriqot syadziliyah merupakan thoriqotyang lebih banyak diajarkan kepada murid – murid Pondok PETA. Bahkan sampai sekarang, Pondok PETA lebih dikenal sebagai pondok thoriqot syadziliyah. Den Dur juga mengijazahkan berbagai hizib yang diambil dari khazanah thoriqotsyadziliyah, seperti hizib bahr, hizib barr, hizib nashr, hizib hujub, hizib khafidhoh, dan salawat nurudz dzati.

Namun, di Pondok PETA sejak dulu hingga sekarang, thoriqot Al-qodiriyah wan naqsyabandiyah menjadi amalan wajib setiap selesai salat lima waktu,Sedangkan thoriqot naqsyabandiyahhanya diijazahkan kepada murid-murid tertentu dan dalam jumlah yang sangat terbatas,dngn amalan Aurod thoriqot naqsyabandiyah diamalkan secara berjamaah hanya di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir setiap bulan Ramadan.

Sampai tahun 1960-an, pondok yang didirikan oleh Syekh Mustaqim itu masih lekat dengan sebutan Pondok Kauman. Nama Pondok PETA baru muncul tahun 1963 saat Tulungagung menjadi tuan rumah Muktamar Jam’iyah Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh (JATMAN) ke-III.

Pada muktamar tanggal 28 hingga 30 
Juli 1963 itu, Pondok PETA dan murid-muridnya mengambil peran yang cukup penting. Acara ditempatkan di Gedung Balai Rakyat, Sekolah MINO, dan Masjid Agung Al-Munawwar, yang semuanya terletak di dekat alun-alun Tulungagung.

Namun, kantor kesekretariatan, pusat konsumsi dan tempat peristirahatan sebagian muktamirin berada di Pondok PETA. Sekretaris Panitia Muktamar JATMAN III dijabat murid Pondok PETA yang bernama Diyaruddin. Sehari-harinya, Diyaruddin di Pondok PETA memiliki tugas sbgai sekretaris & penulis khot (khotthot).

Nama Pondok PETA merupakan singkatan dari Pesulukan ThoriqotAgung yang mengandung arti sebuah pondok pesulukan yang mengajarkan tiga thoriqot agung sekaligus, yaitu thoriqot qodiriyah wa naqsyabandiyah, thoriqot naqsyabandiyah, dan thoriqotsyadziliyah.

Selain itu, nama PETA juga merupakan singkatan dari Pembela Tanah Air yang mengandung arti bahwa di Pondok PETA juga diajarkan hal-hal yang bersifat kemanusiaan serta ditanamkan rasa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

Berikut silsilah atau sanad thoriqoh Syekhina wa Mur-syidina wa Murobbi ruukhina Hadlrotusy Syekh Charir Sholachuddin bin Abdul Djalil Mustaqim menerima baiat thoriqot syadziliyah dari ayahnya hingga pada Syekh Abul Hasan As-Syadzili :

Syekh Abdul Djalil bin Mustaqim, dari ayahnya*Syekh Mustaqim bin Husain*
dari Syekh Abdur Rozaq bin Abdillah
at-Turmusi, dari Syekh Ahmad, Ngadirejo, Solo, dari Sayyidisy Syekh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Jawi Tsummal Makky, dari Sayyidisy Syekh Muhammad Shoiih al Mufti al Hanafi al Makky, dari Sayyidisy Syekh Muhammad ‘Ali bin Thohir al Watri al Hanafi al Madani, dari Sayyidisy Syekh al ‘Allamah asy Syihab Ahmad Minna-tulloh al’Adawi asy Syabasi al Azhary 
al Mishry al Maliky, dari Sayyidisy Syekh al’ Arif Billah Muhammad al Bahiti, dari Sayyidisy Syekh Yusuf asy Syabasi adh Dhoriri, dari Al-Ustadz Sayyid Muhammad ibnul Qosim al Iskandary Al-Ma’ruf Ibnush Shobagh, dari Syekh al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Abdul Baqi’ az Zurqoni 
al-Maliky, dari Sayyidisy Syekh an Nur ‘Ali bin Abdurrahman al Ajhuri al Mishry al Maliky, dari Sayyidisy Syekh al ‘Allamah Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakri alQorofi, dari Syekh al Hafidh al Burhan Jamaluddin Ibrahim bin Ali bin Ahmad al Qurosyi 
asy Syafi’i al Qolqosyandi, dari Syekh 
al ‘Allamah asy Syihab Taqiyyuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar al Muqdisi asy Syahir bil Wasithi, dari Syekh al ‘Allamah Shodruddin Abil Fatkhi Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim al Maidumi al Bakry al Mishry, 
dari Syekh al Quthubuz Zaman Sayyid 
Abul Abbas Ahmad bin ‘Umar al Anshori 
al-Mursi, dari Quthbul Muhaqqiqin Sulthonil Auliya’is Sayyidinasy Syekh 
Abul Hasan Ali asy-Syadzily. 

Wallohu'aklamu bimurodih.......

Sumber: qsantri.com
(dikutip by Lutfli Kholil/NU.id)


Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS