Ba'Alawi, Situs Makam Dan Kesaksian Nasab
Untuk membela nasab Ba Alawi, para habib dan pendukungnya rela terbang ke Yaman. Lalu di sana mereka membuat video di makam-makam tokoh Ba Alawi semisal Ubaidillah, Alwi dan sebagainya seraya mereka membuat narasi bahwa makam ini adalah bukti bahwa Ubaidillah ini tidak fiktif, makam inilah buktinya. Bagi orang awam, hal ini efektif. Mereka biasanya berpikir sederhana dan tidak kritis.
Menelusuri sebuah situs memang adalah salah satu metode melacak kesejarahan seorang tokoh, istana kerajaan, tempat pemujaan dan lain sebagainya. Melacak sebuah situs, bisa dengan dua cara: Pertama, situs itu disebut dalam sebuah sumber tertulis, lalu peneliti mencari keberadaan situs itu dengan penelusuran sampai penggalian. Misalnya tentang situs Kraton Majapahit di Trowulan, Kraton Pajajaran di Bogor dan Banten dan Kraton Demak di Jawa Tengah. Kedua, situs itu ditemukan terlebih dahulu, lalu dicari sumber-sumber yang berkaitan dengannya untuk diketahui nilai kesejarahannya.
Makam Ubaidillah, Alawi, Sohibul mirbat
dan lainnya dari keluarga Ba Alawi memang hari ini ada. Tetapi, itu saja belum cukup untuk dijadikan dalil bahwa tokoh-tokoh itu memang tokoh sejarah. makam itu mungkin bisa dijadikan bukti bahwa sosok itu ada pada masa kesejarahannya. Tetapi juga, bisa saja ia baru diciptakan pada masa kemudian. Dari itu, keberadaan sebuah situs seperti makam harus didukung bukti lain yang menyertainya.
Mengenai makam Ahmad bin Isa di Husaisah telah penulis sampaikan dalam tulisan penulis tentangnya, bahwa makam itu tidak ditemukan oleh para penulis sejarah pada abad ke lima sampai abad ke Sembilan. Ia diberitakan pertama kali oleh al-Khatib ulama abad 9 H, bahwa guru al-Khatib yang bernama Habib Abdurrahman berziarah ke makam Ubaidillah tempat itu. Di tempat itu diyakini makam Ahmad bin Isa karena dilihat ada cahaya terang di sana. Dari situ difahami, bahwa keberadaan makam Ahmad bin Isa di Husaisah hari ini, adalah makam yang baru ditemukan pada abad ke 9 Hijriah, padahal ia wafat 540 tahun sebelumnya yaitu tahun 345 H.
Makam Ubaidillah yang wafat 383 H dan makam Alawi yang wafat tahun 400 H-pun, penulis yakin, baru di ijtihadi pada abad sembilan itu. Karena Seorang peneliti Yamanyang bernama Syekh Ahmad hasan Muallim menyatakan di Yaman tidak ada makam yang ada masyhad dan masjid pada abad ke lima hijriah kecuali makam” asyahidain” di Shan’a.
MAKAM HABIB SOHIB MIRBAT
Makam Habib Muhammad bin Ali Sohib Mirbat di Kota Mirbat mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H?
Di Yaman, abad keenam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut dipahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti al-Manjawih dan dinasti al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana orang biasa nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak.
Raja pertama yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan indah adalah Raja al-Watsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H. batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari India. Bayangkan abad ke-8 saja batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana dua ratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti rasuli kemudian membawa para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal mula banyak raja, ulamadan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan ukiran. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana, struktur dan jenis batu Raja al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman.
Batu nisan Habib Sohib Mirbat, dapat diyakini baru dibuat pada abad sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alawi yang sudah final diijtihadi oleh Habib Ali al-Sakran dan al-Khatib.
Bagi penulis, sosok Habib Sohib mirbat sendiri masih meragukan, apakah ia sosok historis ataukah bukan. Penelusuran membawa kepada keyakinan bahwa sosok ini adalah ahistoris. Tidak ada berita sezaman yang menyebut aksistensinya. Kitab-kitab sejarah yang menyebut para ulama Mirbat dan Dzifar tidak menyebut namanya, kecuali kitab-kitab setelah abad 9 Hijriah. Yah, semuanya setelah abad sembilan.
Anak Sohib Mirbat yang bernama Abdullah, yang disebut mendapat ijazah dari Imam al-Qolai (ulama Mirbat yang wafat tahun 630 H.)-pun disebut pertama kali oleh kitab al-Gurar abad 10 H. Anehnya nama Abdullah bin Sohib Mirbat Ba Alawi ini kemudian disebut “inqirod” (tidak punya keturunan). Nasibnya sama dengan dua sosok ulama yang disebut dalam kitab eksternal yang oleh Ba Alawi diakui sebagai bagian keluarga Ba Alawi, yaitu Jadid dan Salim bin Basri. Keduanya disebut sebagai saudara dari Alwi bin Ubaidillah, namun kemudian keduanya disebut inqirod (keturunannya terputus).
Penulis curiga, bahwa nama Abdullah yang disebut dengan al-Syarif itu, memang ada riwayat mendapat ijazah dari Imam al-Qola’i, namun tidak disebutkan keturunannya ke atas. Lalu diabad sembilan keluarga Ba Alawi mengakuinya sebagai anak Habib Sohib Mirbat, lalu karena diabad sembilan itu tidak ditemukan algoritma keturunannya pada keluarga Ba Alawi, maka kemudian disebutlah ia “inqirad”. Algoritma seperti itu yang terjadi pada Jadid dan Salim bin Bashri.
Penulis meyakini, Jadid yang disebut al-Suluk itu, juga Bashri, bukan saudara Alwi. Ada kitab lain menyebut, bahwa Alwi mempunyai saudara satu orang bernama Ismail. Tidak mempunyai saudara bernama Jadid dan Bashri. Dari manuskrip Kasyf Al-Ghain ditemukan bahwa Jadid berasal dari keluarga al-Musawi, bukan Ba Alawi. Kata Gus Rumail, manuskrip penulis salah ketik. Dan katanya, manuskrip yang ditemukannya yang benar, bahwa itu bukan jadid tapi Hadil. tulisannya mirip. Penulis tersenyum, darimana Gus Rumail berkesimpulan manuskrip penulis salah, dan manuskripnya yang benar? Sementara manuskrip penulis lengakap dibubuhi tahun, sedangkan manuskripnya bodong tanpa tahun. Penulis yakin, Gus Rumail tidak akan dapat menunjukan tahun berapa manuskrip yang dimaksudnya itu, karena memang manuskrip itu penulis-pun punya, dan di sana tidak ada angka tahun. Sebuah manuskrip harus dilihat kebenarannya dari dua hal: pertama jika ia bertahun muda bertententangan dengan manuskrip tahun yang tua, maka manuskrip tahun yang tualah yang harus dipercaya. Kecuali manuskrip muda itu mempunyai syahid bahwa manuskripnyalah yang benar.
Dari labirin nasab Ba Alawi ini, apakah Gus Rumail dapat mencari pintu keluarnya? Dapatkah Gus Rumail membawa saksi mahkota abad ke-6 yang menyatakan bahwa Ubaidilah adalah anak Ahmad bin Isa. Juga saksi tambahan abad ke-7 bahwa Jadid mempunyai saudara bernama Alwi?
Sekali lagi, walau seluruh saksi pustaka telah memberi kesaksian. Tim perumus telah menyimpulkan secara ilmiyah bahwa Ubadillah bukan anak Ahmad bin Isa. Dan Hakim DNA telah mengetuk. Dua arah telah kalah. Tetapi ini bisa saja belum inkrah, jika Gus Rumail melanjutkan banding atau mengajukan peninjauan kembali, minimal secara pustaka. Agar riwayat masa lalu itu tidak terlalu dianggap mengada-ada. Tentu dengan sebuah konsekwensi diskursus ini tidak bisa cepat berhenti. Sampai saat ini, penulis setuju dengan Gus Fakih, bahwa hanya Gus Rumail yang berkwalitas dalam membela nasab Ba Alawi.
Waallahu Aklamu bissowab...........
Penulis: KH Imaduddin Utsman al-Bantani