Sidebar ADS

BEGINI CARA ALAWI BIN TAHIR AL-HADDAD MEMPERTAHANKAN NASAB BA'ALAWI

BEGINI CARA ALAWI BIN TAHIR AL-HADDAD MEMPERTAHANKAN NASAB BA ALAWI

Alawi bin Tahir al-Haddad lahir di Yaman 1884. ia tinggal di Johor Malaysia. Ia banyak menulis sejarah masuknya Islam di Asia. Termasuk sejarah masuknya Islam di Indonesia. Ia wafat tahun 1962 di Malaysia.

Dalam kitab Uqud al-Almas, Alawi Bin Tahir al-Haddad berusaha mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa itu bergelar al-Muhajir. Sekuat tenaga ia ingin mengahancurkan kenyataan bahwa gelar yang dicatat oleh ulama nasab mulai abad ke-5 sampai abad ke-9, untuk Ahmad bin Isa, adalah al-Abah dan al-Naffat. Tidak ada gelar al-Muhajir untuk Ahmad bin Isa. Gelar al-Muhajir itu baru ada di abad ke-9 Hijriah dalam kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Gelar al-Muhajir (yang berpindah) itu diberikan oleh al-Sakran sebagai alibi bahwa benar Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman sesuai yang ia catat dan ia ijtihadi.

Alawi al-Haddad mengatakan:

وحاصل هذ البحث الضافي ان الامام المهاجر (احمد بن عيسى) بن محمد بن علي العريضي لم يلقب بالابح ولا بالنفاط كما جرى عليه الاقدمون

“Kesimpulan pembahasan yang panjang ini, bahwa Imam al-Muhajir (Ahmad bin Isa) bin Muhammad bin Ali al-Uraidi tidak diberi gelar dengan al-Abah dan al-Naffat. Seperti yang telah dilakukan para ulama-ulama yang lebih dahulu.” (Footnote Uqud al-Almas: 2/7)

Pernyataan Alawi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, ulama-ulama nasab terdahulu menggelari Ahmad bin Isa dengan al-Abah, sebagian lagi dengan al-Naffat, sebagian lagi dengan keduanya. Lihat kitab Tahdzibul Ansab karya al-Ubaidili (w. 437 H) halaman 176. Dalam kitab itu disebutkan bahwa gelar Ahmad bin Isa adalah al-Naffat. Lihat pula kitab al-Majdi karya al-Umari (w. 490 H) halaman 337. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Abah dan dikenal pula dengan al-Naffat. Dalam kitab itupula disebutkan kenapa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffa? Yaitu karena ia menjual minyak tanah.

Dua kitab ini cukup untuk disebutkan dalam rangka membantah tesis Alawi al-Haddad bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Naffat dan al-Abah. Karena dua kitab ini adalah termasuk yang tertua sebagai kitab yang menyebut Ahmad bin Isa dan keturunannya. Adanya riwayat lain yang menyebut bahwa gelar al-Naffat itu untuk cucu Ahmad bin Isa, seperti riwayat dari kitab yang lebih muda dari keduanya, adalah hal lain yang dapat diuji validitas dan kekuatan kedua riwayat itu . Tetapi , seharusnya, Alawi al-Haddad tidak boleh menafikan realitas riwayat yang terang-benderang menyebut al-Naffat dan al-Abah tertulis dikitab, yang dapat dikatakan paling tua yaitu, Tahdzib al-Ansab dan al-Majdi. Justru, kenapa Alawi al-Haddad sebagai sejarawan keukeuh mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Muhajir, padahal gelar al-Muhajir ini tidak pernah disebut ulama-ulama dalam kitab sezaman atau yang mendekatinya? Apakah yang demikian itu untuk misi besar upaya menyelamatkan tesis bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman?

Bahkan, di halaman sebelas, Alawi al-haddad menyebutkan dengan tegas bahwa al-ubaidili dan al-Umari tidak menyebutkan gelar al-Naffat. Apakah ia sengaja berdusta, atau ia tidak mampu memahami bahasa Arab dengan benar. Kedua-duanya mungkin. Kemungkinan sengaja berdusta adalah untuk kasus kitab Tahdzib al-Ansab. Perhatikan ibaroh di bawah ini !

واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط

“Dan Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi, diberi gelar al-Naffat.” ( Tahdzib al-Ansab h. 176)

Sudah jelas ibaroh al-Ubaidili bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Ubaidili tidak menuliskannya ? Apalagi yang pantas kita katakan untuk kasus semacam ini kecuali bahwa ia telah berdusta.

Kemungkinan tidak faham ilmu Bahasa Arab dan sengaja berbohong secara bersamaan adalah untuk kasus kitab al-Majdi. Perhatikan ibaroh kitab al-Majdi berikut ini:

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي.

“Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan “al-Naffat” karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya (al-Hasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (al-Hasan) anak dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin (Ali) al-Uraidi.” (al-Majdi h. 337)

Sangat jelas sekali, al-Umari menulis bahwa Ahmad yang berkunyah Abul Qosim itu bergelar al-Abah dan dikenal pula dengan gelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Umari tidak mencatatnya bergelar al-Naffat ? Karena ia salah membalikan domir dan salah memahami siyaqul kalam. Atau ia faham namun sengaja ia putar bailkan domir dan siyaqul kalam demi untuk membela nasabnya. Perhatikan tulisan Alawi al-Haddad, ibarohnya ada satu hurup yang dirubah dari kitab aslinya, ia pula tambahkan “dalam kurung” dalam beberapa kalimat sehingga pengertiannya akan berbeda 180 derajat:

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط ((لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد)) بن الحسن ابي محمد الدلال ((على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد)) بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي.

Perhatikan dalam kurung di atas. Perhatikan pula satu huruf dirubah oleh al-Haddad. Yaitu hurup yang terdapat dalam kalimat “minal hasan” dirubah hurup “mim” nya menjadi hurup “ba” menjadi “bin al-Hasan”.

Sebelum dirubah maka pengertiannya adalah bahwa Ahmad Abul Qosim al-Abah adalah Ahmad bin Isa yang mempunyai keturunan dari al-Hasan. Ketika huruf “mim” itu dirubah menjadi “ba” maka maknanya bahwa Ahmad al-Abah itu bukan Ahmad bin Isa tetapi Ahmad bin al-Hasan, yaitu cucu ke empat dari Ahmad bin Isa. Kesimpulan yang diinginkan oleh Alawi al Haddad adalah bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Abah atau al-Naffat. Gelarnya hanya al-Muhajir. Tulisan-tulisan ulama nasab di abad 5-6-7-8-9 di abaikan dan di takwil sesuai tradisi pencatatan Ba Alawi yang dimulai baru di abad ke-9 hijriah.

Usaha-usaha besar Alawi al-Haddad, agar sejarah dan buku nasab masa lalu berjalan sesuai dengan tradisi Ba Alawi di abad ke-9 patut “diacungi jempol”. Usaha yang sama dilakukan oleh banyak penulis Ba Alawi. Bagaimana seorang Abdullah bin Muhammad al-Habsyi, dengan susah payah mencari manuskrip-manuskrip sejarah Yaman. Ia dapatkan kitab-kitab tua banyak sekali. Lalu ia tahqiq dan cetak; ia masukan nama-nama Ba Alawi agar tertulis dalam sejarah. Manuskrip dicetak tidak sesuai dengan aslinya. Ia di tambahi nama-nama Ba Alawi. Begitu pula Jamalullail yang menginterpolasi manuskrip kitab Abana’ul Imam. Belum lagi manuskrip kitab al-jauhar al-Syafaf yang baru ditulis tahun 1988. Buat apa manuskrip yang katanya dari tahun 855 Hijriah lalu di tahun 1410 Hijriah, bukannya di cetak malah ditulis ulang dengan tulisan tangan. Apa tujuannya ?

zaman dulu memang tidak ada mesin ketik, computer dan mesin tulis lainnya. Maka kita mencari manuskrip yang ditulis di masa lalu yang belum ada mesin tulis agar lestari. Kalau hari ini, mengapa kita sibuk-sibuk menulis dengan tangan lagi manuskrip yang telah berumur ratusan tahun, kecuali ada tujuan mau memasukan sesuatu informasi yang baru yang tidak terdapat dalam manuskrip aslinya. Lalu akan ditulis oleh penyalin yang tidak amanah ini, bahwa manuskrip ini ditulis sesuai aslinya yang berangka tahun sekian. Padahal isinya telah ditambah di sana-sini. Lalu agar dustanya tidak terdeteksi, manuskrip asli yang satu-satunya itu di musnahkan. Kemudian manuskripnya menjadi satu-satunya manuskrip yang jadi rujukan.

Penulis KH. Imaduddin Utsman al-Bantani
📽️ : qsantri.com

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS