Doktrin Sesat Kafa'ah Nikah Ba'alawi di Indonesia
Banyak habaib yang mengklaim bahwa kafaah nasab atau syarifah tidak boleh menikah dengan non sayyid adalah kesepakatan semua keluarga Baalawi. Hal ini bertentangan dengan fakta. Di Hadramaut sendiri, ketatnya masalah kafaah hanya terjadi di kota Tarim saja.
Berkatalah Habib Ali bin Muhsin Assegaf: Kakek saya (Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf) mendapat cerita dari Sayyid Yusuf bin Abid, bahwa Sayyid Abdurramah bin Syihab (yang tinggal di Tarim) mengirim seorang syarifah --yang wali nikahnya sedang pergi jauh-- pada Sayyid Yusuf (yang tinggal di luar Tarim), agar habib Yusuf menikahkan syarifah itu dengan seorang lelaki dari keluarga Bahanan (bukan sayyid). Maka beliau pun menikahkannya. Tidaklah akad pernikahan itu dioper pada Sayyid Yusuf kecuali karena Sayyid Abdurrahman bin Syihab takut ditegur oleh para sayyid di Tarim (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Di Tarim sekalipun, ketatnya perkawinan antar trah hanya di kalangan tertentu saja. Setidaknya di kalangan ulama' habaib masih ada toleransi. Dalam kitab Al-Istizadah di halaman yang sama, Habib Ali bin Muhsin Assegaf juga menceritakan bahwa Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus Al-Adani pergi ke Tarim dan menikahkan para syarifah di sana dengan keluarga Bafadhal (bukan sayyid).
Habib Abu Bakar Al-Idrus Al-Adani adalah seorang ulama' kota Adan, kelahiran tahun 852 H, terkenal sebagai orang yang alim dan waliyullah, beliau adalah keponakan Habib Ali As-Sakran.
Kemudian, seperti yang telah saya singgung di awal, bahwa ketika di Nusantara raya (Indonesia, Malaysia dan Singapura) ada ribut imigran Yaman antara Baalawi dan non Baalawi gara-gara ada seorang India menikahi syarifah Baalawi, datanglah fatwa dari dua ulama besar di Hadramaut. Yang pertama dari Qadhi Siwun bernama Habib Alwi bin Abdurrahman Assegaf, dan yang kedua dari Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf yang merupakan mufti provinsi Hadramaut.
Kedua fatwa itu membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid. Terkait fatwa itu, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf berkata:
وبمثل ذلك أفتيت أنا في سنة 1.358 هـ بشأن رجل جاء من الهند وتزوج بشريفة برضاها من وليها مستندا في ذلك قول المنهاج وشروحه ، ولو أذنت في تزويجها بمن ظنته كفؤا فظهر بعد ذلك فسقه أودناءة نسبه أو حرفته فلا خيار لها لتقصيرها بترك البحث .. ورفعت فتواي لكثير من أهل العلم ومنهم إنسان عين تريم لذلك العهد السيد عبد الله بن عمر الشاطري فلم يقدح فيها أحد وأمضي الكاح إلى اليوم (حال تأليف الكتاب 1366 هـ)
Terjemah:
"Dan seperti itu juga saya berfatwa pada tahun 1.358 H, tentang seorang lelaki yang datang dari India dan menikahi sorang syarifah dengan keridhaannya dari walinya, berdasarkan pendapat kitab Al-Minhaj dan kitab-kitab syarahnya. Dan seandainya seorang syarifah telah mengizinkan (walinya) untuk menikahkannya dengan lelaki yang ia kira sepadan, kemudian nampaklah (setelah akad nikah) bahwa suaminya itu adalah orang fasiq atau rendah nasabnya atau (rendah) pekerjaannya, maka syarifah itu tidak punya pilihan lagi (untuk menggagalkan pernikahannya), karena dia sendiri yang sembrono dengan tidak meneliti (sebelum pernikahan)... Sayapun memperlihatkan fatwa saya itu pada banyak ulama', diantaranya adalah ulama yang paling agung pada zaman itu di kota Tarim, yaitu Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Tidak seorangpun dari mereka yang menolak fatwa saya. Pernikahan (orang India dengan syarifah) itupun berlanjut hingga kini (saat menulis kitab itu tahun 1.366 H.)".
Lalu kenapa Baalawi Indonesia sangat kompak berpegang teguh pada pendapat yang tidak membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid, sementara di Hadramaut sendiri dianggap masalah khilafiyah? Sampai-sampai Habib Ali bin Muhsin Assegaf berkata:
كما أن من المستغرب حصر الاهتمام بفتوى السيد عمر العطاس مع أنه لا يأتي في مرتبة العلماء الأعلام بحضرموت الذين أفتوا بما ينقض فتواه من أساسها..
Terjemah:
"Sebagaimana termasuk yang aneh, adalah bahwa mereka hanya peduli dengan fatwa Sayyid Umar Alatas (Singapura), padahal beliau dibawah level para ulama' besar Hadramaut yang telah berfatwa menentang fatwa beliau mulai dari dasarnya." (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.391).
Bahkan yang lebih dahsyat lagi adalah yang diceritakan oleh Habib Ali bin Muhsin Assegaf:
ومن الطريف ما ذكره الجد ابن عبيد الله بأنه بذلت له مئتا ريال وهو مبلغ كبير في ذلك العهد بواسطة الشيخ سالم بن محمد الخطيب ليفتي ببطلان العقد فلم يوافق الجد على مخالفة الشرع لأجل مصلحة
Artinya:
"Dan termasuk yang lucu adalah apa yang diceritakan kakek saya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, bahwa beliau pernah diberi uang (sogokan) sebesar 200 reyal, nilai uang yang sangat besar ketika itu, uang itu diberikan melalui Syekh Salim bin Muhammad Al-Khatib, agar Habib Abdurrahman berfatwa tidak sah syarifah menikah dengan non sayyid. Namun beliau menolak, beliau tidak mau melanggar syari'at demi sebuah kepentingan" (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Dari semua cerita di atas, juga cerita-cerita sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan Baalawi yang hijrah ke Indonesia itu memang beda sekali dengan Baalawi yang sejak awal bertahan di Hadramaut.
Pertama, kebanyakan yang hijrah ke Indonesia ini memang bertujuan mencari harta dunia, sehingga kepergian mereka pun tidak diridhoi oleh ulama' habaib Hadramaut. Kedua, kebanyakan Baalawi Indonesia pada masa konflik itu memusuhi ulama' habaib Hadramaut, karena habaib Hadramaut menentang fatwa Habib Ustman bin Yahya terkait pernikahan syarifah dengan non sayyid. Kesimpulannya, kebanyakan Baalawi yang hijrah ke Indonesia itu memang para pembangkang, sedangkan yang bertahan di Hadramaut adalah Baalawi yang baik-baik.
Kembali ke masalah kafa'ah, fakta yang diceritakan oleh kitab Al-Istizadah itu jelas-jelas membantah klaim bahwa pendapat Habib Utsman bin Yahya adalah pendapat yang disepakati oleh ulama Baalawi sedunia, alih-alih ahlulbait sedunia.
Mengenai apa yang dikatakan oleh Habib Ali bin Muhsin Assegaf, bahwa aneh sekali ketika Baalawi Indonesia bersikeras memegang fatwa Habib Umar Alatas yang senada dengan fatwa Habib Utsman bin Yahya, padahal level mereka di bawah ulama habaib Hadramaut. Kita pun pasti menganggap itu sebagai hal yang aneh.
Mereka berani mencaci ulama' habaib Hadramaut demi mempertahankan pendapat yang lemah ini, bahkan demi pendapat yang lemah ini mereka mengorbankan persaudaraan dengan sesama imigran Yaman yang non Baalawi; bertikai fisik dan saling caci di media sehingga membuat malu bangsa Arab di negara-negara Arab, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk perang opini.
Maka atas keanehan itu kemudian muncul pertanyaan, ada apa dibalik semua ini? Saya pun kemudian merasa menemukan jawabannya setelah membaca sejarah mereka dalam kitab Al-Istizadah.
Ceritanya, pemerintah kolonial Belanda membuat peraturan bahwa imigran Yaman tidak boleh menikah dengan pribumi dan tidak boleh berpakaian dengan pakaian pribumi. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.351)
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, rupanya Belanda khawatir imigran Yaman akan simpati dan mendukung perjuangan pribumi kalau menjadi besan atau menantu pribumi.
Saya mencurigai Snouck Hurgronje sebagai orang yang berinisiatif mengangkat masalah kafaah ini untuk mendukung peraturan Belanda itu. Snouck Hurgronje adalah orientalis bayaran Belanda yang pakar dalam keilmuan dan sejarah Islam. Pasti dia tahu bahwa di kalangan Baalawi ada yang fanatik soal kafaah.
Dia pun memanfaatkan itu untuk mendukung peraturan pemerintah kolonial Belanda, karena dengan fatwa Habib Utsman itu, setengah target peraturan Belanda terpenuhi, setidaknya untuk kalangan Baalawi, yaitu perempuan Baalawi tidak berani menikah dengan pribumi karena bertentangan dengan fatwa dan bertentangan dengan peraturan Belanda.
Jadi, pihak kolonial Belanda memang patut dicurigai ada main didalam membesar-besarkan masalah kafa'ah nasab yang sebenarnya sepele ini, yakni masalah khilafiyah. Kecurigaan ini didukung dengan fakta bahwa ternyata imigran Yaman bukan hanya membuat keributan di Indonesia saja, melainkan juga membuat keributan di Afrika, India dan negara-negara jajahan Belanda lainnya. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.366)
Sebenarnya, kalangan Baalawi pernah bermasalah terkait kafaah nasab ini. Di Makkah, mereka pernah bermasalah dengan penguasa Hijaz yang dari keluarga syarif Al-Hasani, penguasa Hijaz biasa disebut Syarif Makkah karena Makkah adalah ibu kota Hijaz.
Saat itu, Syarif Makkah marah pada kalangan Baalawi sehingga membuat larangan memanggil Baalawi dengan "sayyid", bahkan Syarif Makkah pernah menghukum seorang Baalawi karena menikahi seorang syarifah Makkah Al-Hasaniyah. Baalawi itu dihukum dengan pukulan tongkat di depan umum dan dipaksa untuk menceraikan istrinya yang syarifah Al-Hasaniyah (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.323 dan 1.373).
Entah kenapa Syarif Makkah semarah itu dan menganggap Baalawi tidak sekufu' dengan syarifah Makkah, apakah Syarif Makkah termasuk orang yang menolak nasab Baalawi atau karena marah saja? Wallahu a'lam.
Intinya, kasus ini bisa dijadikan pelajaran oleh keluarga Baalawi, bahwa ketika mereka memaksakan pendapat terkait kafaah nasab, sesungguhnya Allah SAW pernah mempermalukan mereka dengan kasus di Makkah itu. Ketika mereka mencaci maki pribumi karena menikahi wanita mereka, ternyata keluarga mereka mengalami hal yang lebih parah daripada pribumi itu, yaitu keluarga mereka dita'zir oleh Syarif Makkah dan dipaksa menceraikan istrinya.
Doktrinisasi masalah kafa'ah kemudian berkembang. Baalawi Indonesia kemudian banyak yang menyebarkan pemahaman-pemahaman yang munurut saya hampir semuanya sesat.
Pemahaman pertama, syarifah lebih baik berzina dengan non sayyid daripada menikah dengan non sayyid, karena kalau berzina maka anaknya tidak putus nasab pada Rasulullah SAW, karena anak zina itu bernasab pada ibunya, kalau anak sah itu bernasab pada ayahnya.
Saya pernah mendengar ini langsung dari seorang habib yang alim. Waktu itu beliau hanya menukil saja dari salah satu habib lain. Namun saya juga mendengar dari orang-orang Kalimantan Barat, bahwa di sana juga sering didengar Baalawi bilang begitu.
Waallahu Aklamu bissowab......
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri