Sidebar ADS

KITAB SEZAMAN: SIMULASI PERADILAN NASAB

KITAB SEZAMAN: SIMULASI PERADILAN NASAB

Seseorang di masa-lalu, bisa dikatakan benar-benar sosok historis, bila dikonfirmasi oleh sumber sejarah sezaman, atau paling tidak, sumber sejarah yang yang mendekatinya. Yang demikian itu adalah prosedur standar dalam ilmu sejarah.

Sumber sejarah terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang struktur aslinya berasal dari masa lampau, yaitu masa sezaman dengan objek penelitian, seperti inskripsi (prasasti) yang dibuat oleh seorang raja. Contohnya inskripsi Batutulis di Bogor yang berangka tahun 1533 M, adalah sumber primer untuk sosok raja Sri Baduga Maharaja. Prasasti ini telah membuktikan Sribaduga Maharaja adalah sosok historis di tahun 1533 M. Sumber primer memungkinkan peneliti sedekat mungkin dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi selama peristiwa sejarah atau periode waktu tertentu. Sejarawan mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menggunakan sumber-sumber sejarah primer untuk memahami masa lalu dengan caranya sendiri, bukan melalui lensa modern.

Selain inskripsi, sumber primer bisa berupa koin, tembikar, dsb. Untuk zaman modern ini, jika kita ingin dianggap tidak berdusta hadir pada pertandingan final antara brazil dan Italia tahun 1994 adalah karcis masuk stadion Rose Bowl, California, Amerika Serikat. Selain itu, dibuktikan dengan catatan eksternal dari stadion tersebut yang mencatat nama-nama seluruh penonton. Jika kita kita ingin dipercaya hadir di pertandingan tersebut, lalu kita tidak bisa menyuguhkan bukti apapun, lalu berdasar apa orang lain harus mempercayainya?

Sumber sejarah sekunder adalah sumber sejarah yang berupa buku yang menggambarkan kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Semakin dekat masanya dengan peristiwa, maka ia semakin dapat dipercaya. Sumber sekunder biasanya menggunkan sumber primer sebagai bukti, atau sumber sekunder lainnya yang paling dekat dengan pristiwa. Sumber sekunder yang lebih jauh, substansinya harus memiliki keterhubungan dengan sumber yang lebih dekat. urgensi sumber sekunder akan hilang, jika berlawanan dengan sumber yang lebih dekat. Jika sumber yang jauh berlawanan informasinya dengan sumber yang lebih dekat, namun sumber yang lebih jauh ini memiliki bukti primer, maka sumber yang jauh harus didahulukan dari sumber yang dekat yang bertentangan dengan sumber primer.

Sumber primer untuk nasab Ba Alawi tidak ditemukan. Nasab Ba Alawi, bermula dari Ubaidillah yang katanya anak dari Ahmad bin Isa. Ahmad bin Isa wafat tahun 345 H, maka untuk mengetahui kebenaran siapa anak-anak Ahmad bin Isa, kita harus menemukan sumber sezaman dengan Ahmad bin Isa yang menyatkan bahwa ia mempunyai anak bernama Ubaidillah. Namun sumber sezaman itu tidak ada. Para peneliti baru dapat mendeteksi nama-nama anak Ahmad bin Isa pada 93 tahun setelah Ahmad bin Isa wafat, dan di situ tidak ada nama Ubaidillah disebut sebagai anak Ahmad bin Isa. Ada tiga kitab abad ke-lima yang ditulis yang berhasil ditemukan; ada satu kitab abad ke-enam; ada satu kitab abad ke-tujuh; ada dua kitab di abad ke-delapan; ada satu kitab abad ke-sembilan yang ditemukan. Semua kitab tersebut menyebut nama anak-anak Ahmad bin Isa, tapi semuanya tidak menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubadillah.

Ubaidillah disebut anak Ahmad bin Isa baru muncul 550 tahun kemudian, dalam kitab internal keluarga para habib. Kitab tersebut adalah kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w. 895 H). kitab internal keluarga yang tidak mempunyai penguat sedikitpun dari sumber eksternal. Ada manuskrip semi eksternal, namanya kitab al-Jauhar al-Syafaf, dikarang oleh al-Khatib (w. 855 H). kenapa disebut sumber semi eksternal? Karena al-Khatib diketahui murid dari Habib Abdurrahman dan Habib Abu Bakar, keduanya adalah kakek dan ayah dari Habib Ali al-Sakran pengarang al-Burqoh, dan keduanya, al-Khatib dan al-Sakran, hidup satu kampong dan satu masa. Sangat besar kemungkinan, materi dan substansi tentang silsilah para habib itu, adalah hasil diskusi keduanya. Jadi, walaupun al-Khatib wafat lebih dahulu dari al-Sakran, salah satu di antara keduanya bisa dimungkinkan sebagai pioneer dari kontruksi nasab para habib tersebut. Ditambah, manuskrip al-Jauhar al-Syafaf sampai saat ini belum dicetak, dan mansukripnya “dikuasai” oleh keluarga para habib, sehingga sulit untuk dikonfirmasi validitas dan orisinalitasnya. Sebuah dalil bisa dijadikan hujjah, apabila dalil itu dapat diakses kedua belah fihak yang berseteru. Jika sebuah dalil hanya bisa di akses oleh salah satu fihak, maka dalil itu dianggap tidak ada.

Sumber sejarah, dalam sebuah persengketaan di depan hakim berkedudukan sebagai saksi. Ketika para habib mengatakan diri mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, dan orang lain tidak percaya, maka orang lain membawa bukti. Buktinya banyak. Waktu kejadian perkara (WKP) adalah abad ke empat. Tempat kejadian perkara (TKP) adalah domisili Ahmad bin Isa yaitu irak. Kitab-kitab abad ke-lima sampai ke-sembilan di bawa. Kitab-kitab itu ditulis bukan oleh keluarga Ahmad bin Isa. Kitab yang ditulis bukan oleh keluarga disebut kitab eksternal. ia kuat untuk dijadikan saksi karena jauh dari subjektifitas. Kitab-kitab itu menyatakan bahwa tidak ada berita Ahmad bin Isa hijrah ke hadramaut. Tidak disebutkan pula Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah. Disebutkan dalam kitab-kitab itu: anak Ahmad bin Isa lainnya dan tidak ada nama Ubaidillah. Lalu para habib membawa bukti juga, berupa kitab al-Burqoh al-Musyiqoh abad Sembilan hijriah. Ditulis oleh cucu Ubaidillah. Subjektifitasnya terasa, karena ditulis oleh keluarga. Berjarak 550 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. Disebutkan bahwa Ahmad bin Isa pindah dari Irak ke Hadramaut, dan punya anak bernama Ubaidillah.

Kalau anda sebagai hakim itu, apa yang akan anda fikirkan sebelum memutuskan berdasar bukti di atas? Kira-kira yang akan difikirkan hakim sebagai berikut:

Pertama, yang akan difikirkan hakim adalah WKP , yaitu abad 4 hijriah. Kedua, TKP yaitu Irak. Orang-orang yang tidak percaya nasab habib membawa bukti abad ke-lima yaitu kitab tahdzibul ansab, Muntaqilatuttalibiyah dan al-Majdi. Hanya berjarak beberapa puluh tahun dari WKP. Ditulis oleh dua orang yang berasal dari TKP, yaitu al-Ubaidili dan al-Umari. Sedangkan al-Tobatoba, penulis Muntaqilatuttalibiyah berasal dari isfahan. Jarak antara Isfahan dan Bagdad adalah 945 km, sekitar Pandeglang-Surabaya. Di dalam kitab itu tidak disebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Lalu mereka membawa kitab sekunder abad ke-enam, ketujuh, kedelapan dan ke-sembilan. Tidak ada dalam kitab-kitab itu disebutkan nama Ubaidillah sebagai nama anak Ahmad bin Isa.

Lalu hakim bertanya kepada para habib, “Saksi pelapor telah memberi bukti dan saksi-saksi bahwa kakek kalian, Ubaidillah, bukan anak Ahmad bin Isa, apakah kalian punya bukti, bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa?

“Punya, Pak Hakim. Banyak.”

“Mana?”

“Ulama besar, Ibnu hajar al-Haitami, ahli fikih Madzhab Syafi’I, yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi, telah menulis dalam kitabnya al-Tsabat, bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa. Kalau tidak percaya ini kitabnya, Pak hakim.”

“Imam Ibnu Hajar al-Haitami, ulama abad keberapa?”

“Abad ke-sepuluh, Pak Hakim.”

“Loh, WKP Ahmad bin Isa abad ke-empat, Ibnu Hajar abad ke-sepuluh, bagaimana Ibnu hajar dapat mengetahui kejadian abad keempat. Dari mana beliau dapat informasi itu?”

“Apakah Pak Hakim tidak percaya ulama sekaliber Ibnu Hajar? Apakah Pak hakim menuduh Ibnu Hajar berdusta?”

“Loh, ini pengadilan, Pak. Kita mencari kebenaran. Perlu bukti dan saksi. Bukan masalah percaya dan tidak percaya. Bisa saja Ibnu Hajar mendapat informasi yang salah, lalu dengan husnuzon menerima berita itu. Ada gak referensi yang lebih tua selain kitab Ibnu Hajar itu?”

“Ada, Pak Hakim. Dari kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Abu Bakar al-Sakran.”

“Ulama abad berapa beliau?”

“Abad Sembilan, Pak Hakim.”

“Loh, masih jauh, Pak. Dari mana beliau mendapatkan informasi itu, padahal jaraknya sudah 551 tahun?”

“Dari kitab al-Suluk abad 8 Hijriah, pak Hakim.”

“Bagaimana isi al-Suluk itu?”

“Dalam kitab al-Suluk disebutkan silsilah Abul Jadid, Pak Hakim. Dalam silsilah itu ada nama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Nah, Abdullah itu, diyakini oleh Habib Ali al-Sakran sebagai leluhur kami yang bernama Ubaidillah. Gitu, Pak Hakim.”

“Hmmmm…lau Jadid jadi saudara Alwi, anaknya Ubaidillah?”

“Betul. Pak Hakim cerdas.”

“Jadi, ada silsilah orang bernama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Lalu diyakini Abdullah ini adalah orang yang sama dengan leluhur anda yang bernama Ubaidillah. Lalu, Jadid menjadi saudara dari Alwi bin Ubaidillah. Gitu?”

“Betul sekali, Pak Hakim.”
“Hmmm….lalu, apakah ada kitab yang lebih tua dari al-Suluk yang menyatakan bahwa Jadid punya saudara bernama Alwi?”

“Itu….itu….itu belum ada, Pak Hakim.”

“Lalu bagaimana anda yakin bahwa Abdullah itu Ubaidillah, dan Jadid itu saudara Alwi, jika tidak ada sumber sama sekali?”

“Saya yakin, Habib Ali al-Sakran tidak bohong, Pak hakim.”

“Kita tidak sedang mencari siapa yang berbohong. Kita sedang mencari kebenaran: benarkah Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah. Dari kitab al-Suluk yang anda sebutkan tadi, yang katanya ada nama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Dalam kitab al-Suluk yang saya punya, tidak ada nama Abdullah. Yang ada adalah Jadid langsung bin Ahmad bin Isa. Jadi Habib Ali al-Sakran tidak sah berpatokan kepada kitab al-Suluk ini, karena isi kitab ini berbeda-beda. Apakah anda punya kitab yang lebih tua dari al-Burqoh yang menyebut Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah?”

“Begini, Pak Hakim. Tidak disebut bukan berarti tidak ada.”

“Maksudnya?”

“Iya, Pak hakim. Sesuatu yang tidak disebutkan bukan berarti tidak ada. Ubaidillah walau tidak ditulis sebagai anak Ahmad bin Isa, bisa jadi, hanya karena tidak ditulis. Sebenarnya ia anak Ahmad bin Isa. Bisa jadi kitab yang menyebut itu belum ditemukan.”

“Tidak ditulis bagaimana? Kitabnya tidak ditemukan bagaimana? Wong anak-anak lainnya ditulis. Kitab-kitab nasab banyak ditemukan, menyebut Ahmad bin Isa plus anak-anaknya. Dari abad lima sampai abad Sembilan, Ahmad bin Isa disebut di dalam kitab-kitab nasab. Anak-anaknya disebut. Cuma di dalam kitab-kitab itu, tidak disebut Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah. Kalau seluruh kitab abad lima sampai Sembilan semuanya hilang, kalau anak-anak lain gak disebut, wajar ubaidillah tidak disebut. baru kemungkinan klaim al-Sakran itu betul. Tapi ini kan, kitab-kitabnya ada. Kitab nasab banyak. Kitab sejarah banyak. Menyebut Ahmad bin Isa. Menyebut anak-anaknya: Muhammad, Ali dan Husain. Lalu kenapa Ubaidillah tidak disebut? Itu karena Ubaidillah memang bukan anak Ahmad bin Isa.”

“Tidak bisa begitu, Pak Hakim. Kitab-kitab yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa banyak. Bisa ratusan, Pak hakim. Ulama-ulama besar yang menyebutkan. Seperti Ibnu Hajar, Al-Sakhawi, al-Nabhani, dan sebagainya. Masa mereka semua berbohong, Pak Hakim.”

“Saudara saksi, apakah menurut anda Ibnu hajar, al-Sahawi, al-Nabhani itu maksum?”

“Tidak, Pak Hakim. Yang, maksum hanya Nabi.”

“Berarti ada kemungkinan salah?”

“Betul, Pak Hakim.”

“Nah, kalau begitu, ada kemungkinan, mereka mendapatkan informasi yang salah lalu ditulis dalam kitab mereka, kan?”

“Gak mungkin salah, Pak hakim. Mereka ulama besar. Pak Hakim berarti sudah su’ul adab kepada para ulama besar.”

“Saudara saksi terlapor, jaga etika di pengadilan! Ini bukan masalah adab. Ini masalah mencari bukti bahwa Ubadillah itu benar anak Ahmad bin Isa. Saya minta anda bawa kitab yang abad kelima yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad, ada?”

“Tidak ada, Pak hakim”

“Abad enam?”

“Tidak ada, Pak Hakim.”

“Abad tujuh?”

“Tidak ada, Pak hakim.”

“Abad delapan?”

“Itu tadi al-Suluk, Pak hakim.”

“Tidak bisa, itu kitab menerangkan Jadid. Bukan menerangkan Alwi bin Ubaidillah. Lagian kitab itu manuskripnya ada berbagai versi. Di punya saya, gak ada yang namanya Abdullah. Kitab lainnya?”

“Gak ada, Pak Hakim.”

“Oh, jadi yang pertama menyebut Habib Ali al-Sakran, gitu?”

“Iya, Pak hakim.”

“Habib Ali al-Sakran itu turunan Ubaidillah?”

“Betul, Pak Hakim.”

“Saudara saksi, apakah anda seperti saya, bermadzhab Syafi’i?”

“Alhamdulillah, Pak Hakim. Saya Syafi’I asli. Yakni…yakni…Ahlussunnah, Dzahiron wabatinan.”

“Apakah saudara saksi mengerti, bahwa seseorang tidak boleh bersaksi atas ayah dan kakeknya?”

“Maksud Pak Hakim?”

“Begini. Dalam madzah Sayafi’I, seseorang tidak boleh bersaksi atas ayah atau kakeknya. Sedangkan Habib Ali al-Sakran, tadi saudara katakan, adalah keturunan Ubadillah.”

“Betul, Pak Hakim.”

“Berarti ia tidak bisa menjadi saksi nasab Ubaidillah.”

“Maksud Pak Hakim?”

“Kedudukan kitab al-Burqoh karya Habib Ali al-Sakran kan sebagai saksi nasab Ubaidillah. Seluruh kitab-kitab setelahnya yang banyak itu, mengambil referensi dari Ali al Sakran. Sedangkan ia tidak bisa menjadi saksi nasab Ubaidillah, karena al-Sakran adalah keturunan Ubaidillah. Dalam madzhab Syafi’I, seseorang tidak bisa menjadi saksi bagi ayah atau kakeknya. Maka kitab al-Burqoh ini tertolak menjadi saksi bagi nasab Ubaidillah.”

“Innalillah, Lalu gimana, Pak Hakim?”

“Menurut saya, memang sangat sulit dikatakan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad. Kitab-kitab setelahnya itu hanya taklid pada al-Burqoh itu, sedang ia tanpa referensi dan tertolak karena termasuk saksi keluarga.”

“Walau kitab-kitab itu jumlahnya ratusan, Pak, Hakim?”

“Walau jumlahnya ratusan. Bahkan seribu kitab atau sejuta kitab, tidak bisa dijadikan saksi karena ianya tidak bisa menunjukan bukti ketersambungan itu. Semuanya mentok mengambil dari al-Burqoh al-Musyiqoh atau al-jauhar al-Sayafaf.”

“Walau ditulis oleh para wali, Pak Hakim?”

“Walau ditulis oleh rajanya para wali, ndak bisa.”

“Maaf, pak Hakim. Apakah masih ada cara lain kami bisa meununjukan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa?”

“Ada.”

“Apa, Pak Hakim.?”

“Test DNA.”

“Gak mau, Pak Hakim. Gak boleh.”

“Gak boleh ama siapa?”

“Ama pimpinan kami”

“Yaudah, kalian sudah tertolak secara kajian pustaka. Test DNA gak mau. Kalian jangan ngaku keturunan Nabi Muhammad Saw.”

“Waduh jangan begitu, Pak Hakim. Kami sudah ratusan tahun terkenal sebagai anak-cucu Nabi Muhammad Saw.”

“kalian diminta bukti pustaka gak bisa bawa. Test DNA gak mau. Lalu berdasar apa orang bisa percaya bahwa kalian cucu Nabi Muhammad Saw.”

“Kan bisa husnuzon, Pak Hakim.”

“………..”
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantanie


Share this entry

qsantri.com ©

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS