Sidebar ADS

MAS RUMAIL DAN ALAWI BIN TAHIR AL-HADDAD SIAPA YANG BERDUSTA ?

MAS RUMAIL DAN ALAWI BIN TAHIR 
AL-HADDAD SIAPA YANG BERDUSTA ?

Pertama, kata Gus Rumail mengatakan: “Reportase Uqud al-Almas sepenuhnya menggunakan studi manuskrip dan komparasi di dalam manuskrip itu; sedangkan, Kiai Imaduddin itu menggunakan dua versi cetak untuk membantah Uqud al-Almas. Tentu ini dua hal yang tidak setara”.

Nampak meyakinkan.

Dari mana Gus Rumail tahu bahwa Alwi bin Tahir melihat manuskrip kitab Tahdzib al-Ansab secara langsung ? padahal, Alwi bin Tahir sendiri mengakui dalam kitabnya, Uqud al-Almas, bahwa, apa yang ia sampaikan dari redaksi al-Ubaidili itu hanya mengutip dari seorang ahli nasab di Irak. Lihat kitab Uqud al-Almas di halaman empatbelas, Ia berkata:

ونذكر هنا نص شيخي الشرف (العبيدلي والعمري) كما ذكره نسابة العراق

“Dan kami akan menyebutkan di sini teks dua guru mulia: al-Ubaidili dan al-Umari. Seperti yang disebutkan oleh pakar nasab Irak.”

Perhatikan kalimat ini, “seperti yang disebutkan oleh pakar nasab Irak.” Artinya , Alwi bin Tahir tidak melihat manuskripnya secara langsung, ia hanya mendapat “kabar burung” dari seorang pakar nasab Irak. Penulis sebut “kabar burung”, karena kalimat Alwi bin tahir sangat mencurigakan, “seorang pakar nasab Irak”. Kenapa ia tidak menyebutkan dengan jelas siapa pakar nasab itu? sehingga dapat diverifikasi kebenarannya.

Mestinya, sebagai seorang peneliti yang baik, Gus Rumail akan memperhatikan setiap kalimat yang dipakai pemberi informasi secara teliti. Kalimat seperti Alwi bin Tahir itu adalah sebuah berita. Sebuah berita bisa jujur dan bisa juga dusta. Bagaimana memverifikasinya? Kita buka kitabnya, lalu kita lihat, apakah yang disampaikan Alwi bin tahir itu jujur atau dusta. Penulis telah melihat dua kitab itu: kitab al-Ubadili dan kitab al-Umari, hasilnya, yang disampaikan Alwi bin tahir itu dusta. Alwi bin tahir merubah hurup “mim” menjadi “ba”, jelas maknanya akan berubah: “min” artinya “dari”, “bin” artinya “putra”.

Mungkin Gus Rumail akan berkata bahwa, penulis hanya menggunakan versi cetak yang telah disentuh tangan muhaqqiq. Tidak murni lagi. Begini: muhaqqiq itu bisa jujur bisa dusta juga. Maka, dalam membaca kitab versi cetak, kita lihat dulu siapa muhaqqiqnya. Apakah ia ada kaitan subjektivitas dengan substansi kitab itu atau tidak? Jika ada, maka kita membacanya harus dengan kewaspadaan tinggi. Seperti penulis, jika membaca kitab sejarah atau kitab nasab yang di tahqiq oleh Ba Alawi semisal: Abdullah Muhammad al-habsyi, Alwi bin Tahir, Yusuf Jamalullail dan lain-lain, maka penulis membacanya dengan penuh waspada. Kenapa? Karena mereka adalah Ba Alawi yang sedang mencari nama leluhurnya di kitab-kitab abad kelima sampai Sembilan. Ketika mereka mentahqiq manuskrip-manuskrip tua untuk dicetak, sangat besar kemungkinan mereka akan mengadakan interpolasi (penambahan isi) dalam versi cetak yang tidak ada pada manuskripnya. Dan itu sering penulis temui.

Sedangkan, kitab al-Ubaidili yang kita maksud, versi cetaknya ditahqiq oleh Syekh Muhammad al-Kadzim; kitab al-Umari versi cetaknya di tahqiq oleh Syekh Ahmad al-Mahdawi. Keduanya bukan kalangan Ba Alawi, dan tidak bisa dikatakan keduanya sengaja membuat kerugian bagi nasab Ba Alawi. keduanya tidak pantas dicurigai membuat kerugian bagi nasab Ba Alawi, karena tidak ada berita keduanya bermusuhan dengan Ba Alawi. Keduanya mencetak kitab itu dari manuskrip terpercaya yang mereka sebutkan sumbernya dan dapat diverivikasi keberadaanya. Untuk lebih detail, silahkan baca saja mukaddimahnya.

Untuk mengetahui siapa yang berdusta, Gus Rumail harus mendatangkan bukti bahwa Seh Muhammad al-Kadzim dan Syekh Ahmad al-Mahdawi berdusta: mencetak tidak sesuai manuskripnya. Manuskrip al-Ubaidili ada Universitas al-Dual al-Arabiyah di Mesir. Itu bisa di cek. Untuk al-Umari, manuskripnya ada di maktabah al-Mar’asyi, juga di pegang dua manuskrip oleh al-Afandi pengarang kitab Riyad al-Ulama. Sedangkan, Alwi bin Tahir tidak menyebutkan di mana manuskrip yang menjadi sumbernya itu berada ? lalu, yang tidak sebanding siapa? Yang lebih pantas dianggap telah berdusta siapa? jelas, Alwi bin Tahir adalah orang yang patut diduga berdusta. Ia tidak menyebut nama pemberi informasi secara jelas; ia juga tidak menyebutkan manuskripnya ada di mana. Di ahli nasab Irak. Irak itu luas. Irak mana? ahli nasab itu banyak. Namanya siapa?

Kata Gus Rumail, Alwi bin Tahir memburu manuskrip ke berbagai Negara: Teheran, Qum, dll. Benarkah? Benarkah ia pergi ke Negara Negara tersebut? Tidak. Tahu dari mana? Dari ibaroh Alwi bin Tahir. Ia hanya mengesankan pergi ke sana, namun tidak. Perhatikan ibaroh asli Alwi bin tahir di bawah ini !

كما سنذكره من كتب الانساب الصحيحة المخطوطة الموجودة بطهران وقم وخزانة الشيخ الزنجاني بقم وبالعراق عند نسابهم و التي في مكتبة النجف الشريف وما كان منها بيد اعيان بغداد وعيرهم وما في المكنبة المصرية الكبرى وغير ذالك مما لا يقدر على الحصول عليه احد الا برحلة واسعة

“Seperti yang nanti akan kami sebutkan dari kitab-kitab nasab yang sahih yang masih berupa manuskrip yang ada di Teheran, Qum, koleksi Syaikh al-Zanjani di Qum, Dan di Irak di ahli nasab mereka, dan yang terdapat di perpustakaan al-Najaf al-Syarif, dan yang ada darinya di tangan tokoh-tokoh Bagdad dll, dan yang ada di al-maktabah al-Mishriyah al-Kubro dan yang lainnya, daripada yang tidak dapat diperoleh oleh seseorang kecuali dengan perjalanan yang luas.” (Uqud al-mas, halaman 10-11)

Perhatikan! ibaroh di atas hanya mengatakan bahwa Alwi bin tahir akan menyebutkan alasan-alasan bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Abah itu, dari kitab kitab yang masih berupa manuskrip yang ada di Teheran, Qum dst. Ia tidak mengatakan ia telah pergi ke sana. Ia pula tidak menyebutkan apakah ia telah melihat manuskrip itu. Bisa jadi ia hanya duduk di rumah, lalu ia kirim surat dan meminta koleganya untuk menuliskan catatan penting yang ia minta. Bisa pula ia hanya membaca sebuah kitab yang menyajikan informasi tentang manuskrip manuskrip itu, lalu ia mengutipnya, dan ia salah kutip.

Dan kecurigaan penulis terkonfirmasi, bahwa Alwi bin Tahir hanya mengirim surat (dan atau utusan) ke ahli nasab Irak itu, ia tidak pergi ke Irak. Silahkan baca Uqud al-Almas halaman 13. Di halaman 13 itu, Alwi bin Tahir mengatakan ia mengirim surat kepada ahli nasab Irak menanyakan tentang sebuah kitab (bukan kitab al-Ubaidili, tapi kitab lainnya). Kenapa ketika bicara kitab al-Ubaidili dan al-Umari ia tidak menyatakan tegas bahwa ia hanya mengirim surat, tetapi ketika berbicara kitab lain ia menyatakan dengan jujur bahwa ia hanya mengirim surat, tidak melihat manuskripnya? Harusnya Gus Rumail faham. Kitab al-Ubaidili dan al-Umari adalah kitab paling tua, kedudukannya sebagai saksi adalah saksi mahkota. Sangat penting adanya sebuah kesan yang meyakinkan, tetapi tidak bisa dianggap berdusta. Sedangkan, kitab lainnya itu hanya pelengkap, jadi walau hanya dengan mengetahui melalui tukilan dalam sebuah surat, ia tidak menentukan apapun. Inilah kejelian yang harus dimiliki oleh seorang peneliti seperti Gus Rumail dalam membaca kitab pengarang atau pentahqiq yang dicurigai sering tipu-tipu.

Contoh dekat yang mirip gaya di atas, adalah Gus Rumail. Ini hanya contoh, agar pembaca mengerti gaya berbohong yang baik. Ia mengatakan: “Kiai Imaduddin untuk kali kedua berdusta atas nama Alwi bin tahir al-Haddad”. Namun kalimat itu tidak langsung diberikan contoh kutipan kalimat penulis yang ia dakwa berdusta. Malah ia langsung bicara panjang lebar tentang hal lainnya. Ini akan membuat kesan kepada penonton channelnya yang kurang cerdas, bahwa penulis telah benar-benar berdusta, padahal, selain ketika ia berkata “penulis ‘berdusta’” itu tangannya berisyarah tanda kutip, walau tanpa dikatakan, ia lalu merevisinya bahwa kalau tidak boleh mengatakan “penulis ‘berdusta’” maka “penulis memelintir” kitab Uqud al-Almas. Itulah contoh penggiringan opini, namun jika di kritisi akan bisa berkelit. Sayangnya, kebanyakan peminat isu nasab ini kebanyakan orang cerdas, jadi gaya tipu tipu begitu tidak akan berpengaruh dan berkesan. Sudah banyak yang sadar juga bahwa, Gus Rumail sering PHP, mereka lelah menunggu, misal tentang kitab sezaman tentang ubaidillah oleh oleh dari perjalanan mencari kitab suci ke Barat, lalu mereka kecewa, kemudian pasrah.

Kembili ke masalah.

Ketika hari ini kita bisa mengakses kitab al-Ubaidili dan al-Umari (jika mau, dan dianggap penting, dengan pergi ke perpustakaan seperti yang disebut dalam versi cetak), lalu isinya berbeda dengan “reportase” Alwi bin Tahir, lalu yang harus dianggap berdusta yang mana ? apakah manuskrip yang tua itu, atau kitab Uqud al-Almas, kitab yang dikarang dan di cetak 1968 yang berdasar tukilan surat saja? Sungguh dua perbandingan yang tidak setara.

Untuk mengesankan penonton, Gus Rumail menunjukan dua buah manuskrip. Ia menampilkan manuskrip pertama seraya mengatakan “kebetulan saya mempunyai soft copy manuskrip al-majdi, dan kemungkinan Ki Imad akan kaget”, kalimat ini seakan akan memperlihatkan informasi yang gimana gitu. Ternyata informasinya hanya tentang hal yang membingungkan tentang nama Muhsin. Gus Rumail katakan “Ternyata Abul Qasim punya ayah bernama Muhsin, atau anaknyalah yang bernama Muhsin”. Bingung. Sebenarnya yang ada di manuskrip itu apa: Muhsin itu ayah Abul Qasim atau Muhsin anak Abul Qasim ? konsekwensi antara ayah dan anak itu serius. Masa, hal yang Gus Rumail sendiri tidak yakin mau didalilkan kepada penulis.

Ketika menampilkan manuskrip kedua, ia mengatakan “Bahkan pada manuskrip Tahdzibul Ansab…manuskrip ini tidak kuat karena disalin ulang di atas abad Sembilan.” Penulis ambil kalkulator. Uqudu al-Almas ditulis abad empat belas, tanpa manuskrip, ia hanya berdasar “katanya” dari surat ahli nasab Irak. Lalu, kitab Tahdzib al-Ansab dicetak berdasar manuskrip abad ke Sembilan. Lalu antara angka Sembilan dan angka empat belas, yang tua mana. Kalkulator penulis mengatakan angka Sembilan itu lebih dulu disebut dari angka empat belas. Pertanyaannya apakah Gus Rumail bisa berhitung?

Gus rumail pula mengatakan: “Kiai Imad wajib mencari manuskrip Tahdzibul Ansab dan al-majdi. Jika menemukan dan ternyata terbukti Alwi bin tahir salah dalam menyalin, saya akan taslim kepada kiai Imaduddin”, kira kira begitu redaksinya. Pertanyaannya, manuskrip al-Ubaidili (Tahdzib al-Ansab) dan al-Umari (al-Majdi) dalam versi cetak itu alamatnya jelas sudah disebutkan di atas, ke mana harus mencarinya telah disebutkan. Sekarang, jika Gus Rumail percaya kepada Alwi bin Tahir bahwa ia tidak berdusta, dapatkah Gus Rumail mencari alamat di mana manuskrip Tahdzib al-Ansab dan al-Majdi versi Alwi bin Tahir itu berada? tidak perlu manuskripnya, cukup alamatnya saja, biar equal to equal. dengan itu akan Nampak siapa yang akan berdusta.

Seharusnya, aroma kedustaan sejarah dan nasab Ba Alawi, telah dapat di endus oleh Gus Rumail. Nasab Ba Alawi dan sejarahnya hari ini, diapit oleh kedustaan masa lalu yang tertelusuri dan kedustaan hari ini yang terkonfirmasi. Aroma kedustaan masa lalu tentang gelar Sohib Mirbat; tentang makam Ahmad bin Isa; tentang hijrahnya; tentang Abdullah bin Sohib Mirbat yang mendapat ijajah; tentang Salim bin bashri; tentang bashri yang katanya nama lain Ismail; tentang Jadid yang katanya saudara Alwi; dan masih banyak lagi. Aroma kedustaan hari ini tentang KRT Sumodiningrat yang di klaim Habib Lutfi bin yahya sebagai Hasan bin Toha bin Yahya. Menurut Alap-Alap Mataram, KRT Sumodiningrat itu bukan Hasan bin Yahya. Siapakah yang berdusta? Juga tentang Syekh gajah Barong di Tigaraksa yang kata Habib Lutfi bin Yahya, ia adalah Husein bin Toha bin Yahya? Apakah seorang sejarawan tidak tergerak nuraninya untuk mencari kebenaran?

Waallahu Aklamu bissowab.............
Penulis: KH Imaduddin Utsman al-Bantani

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS