SIAPA YANG MEMBAWA ROTIBUL HADAD
KE NUSANTARA…?
Dalam Polemik Rotib al-Hadad, telah terkonfirmasi dari kitab كتاب السير والمساعى , Aurod ke 21 : hal 114, dan kitab اوراد واحزاب الطريقة النقشبندية. : Hal 414 bahwa Rotib al-Hadad sejatinya adalah Rotib Rifaiyah yang disusun oleh Sayyid Imam Ahmad ar-Rifa’I lahir pada 512 H dan wafat pada 578 H, terpaut 554 tahun lebih awal dari kelahiran Habib Abdullah Al Hadad yang lahir pada 1044 hijriah dan wafat pada 1132 H / 1712 M namun 100% sama.
Tulisan ini tidak dalam rangka menuduh al Hadad sebagai pengklaim ataupun plagiat, sebab belum tentu klaim ini dilakukan oleh al-Hadad. Sehingga yang dapat kita simpulkan al-Hadad adalah salah satu pengamal dari sekian banyak pengamal rotib Ar Rifaiyah. Sebab Rotib Ar Rifa’iyah, juga menjadi bagian dari amalan toriqoh An Naqsabndiyah, juga Qodiriyah.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang membawa Rotib Rifaiyah yang diklaim sebagai rotib al-Hadad tersebut…?. Tentu untuk memastikannya cukup sulit, terlebih dengan banyaknya pengkaburan nasab dan sejarah ulama’ saat ini. Tetapi terdapat banyak kemungkinan bukan al-Haddad. Mengapa…?
Tahriqat al-Rifa’iyah sudah masuk ke Indonesia pertengahan abad ke 16 dibawa oleh Syaikh Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasan al-Humaidi al-Syafi’i al-Idrusy al-Raniry. Beliau seorang KHALIFAH THORIQOH RIFA’IYAH berasal Gujarat-India.
Pada tahun 1637 M Syaikh Nuruddin al-Raniry diangkat menjadi ulama Aceh yang bergelar syaikhu al-Islam. Dinobatkan oleh kerajaan Samudra Pasai Aceh. (Saat Itu Abdullah Al Hadad yang lahir 1634 MASIH BERUSIA 4 TAHUN belum genap). Sehingga sulit dipastikan apabila yang membawa rotib tersebut adalah al-Hadad.
Thariqat Rifaiyah identik dengan dzikir dan tarian. Serta aktifitas (TERKESAN) condong ke kesaktian. Masuknya ke Jawa Barat melalui Cirebon, berkembang dibantu oleh Sunan Gunung Djati. (ini dibuktikan Gada dan dabus yang masih tersimpan rapih di museum keraton Cirebon sebagai petunjuk mengenai perkembangan debus di wilayah Cirebon).
Berikutnya, Thariqat Rifaiyah dibawa oleh putra Sunan Gunung Jati yaitu Maulana Hasanudin ke wilayah Banten. Seiring dengan tradisi jawara Banten yang akrab dengan senjata tajam dalam bela diri dan kesaktian, sebagai respon kebutuhan masyarakat dimasa penjajahan.
Tentunya dibutuhkan kajian mendalam mengenai tema ini agar semua hak kembali kepada pemiliknya sebagi bentuk penghormatan dan ketawadlukan.
Waallahu Aklamu bissowab...............