Sidebar ADS

SUMPAH PEMUDA MERUNTUHKAN RASISME

   SUMPAH PEMUDA MERUNTUHKAN RASISME

Dalam sebuah cerita, Umar RA ingin memberi bingkisan kepada sejumlah istri Nabi Muhammad SAW. Hanya saja Umar membedakan antara bingkisan kepada istri Nabi yang berasal dari suku Quraisy dan non Quraisy.

Hal ini tidak disukai oleh Aisyah RA dan meminta secara tegas pada Nabi SAW untuk memberitahu Umar RA soal prinsip-prinsip keadilan. Nabi Muhammad SAW tidak menolak atas tindakan tersebut dan dimaknai sebagai persetujuan. Kisah ini memberi gambaran kepada kita semua bahwa Islam tidak memberi ruang untuk perilaku rasis atau lebih luas lagi ketidakadilan karena warna kulit atau perbedaan.

Dalam sejarah modern, rasisme tetap ada. Namun ideologi kastanisasi rasis atau rasisme memang menjadi penghadang kemajuan dalam skala global. Padahal dunia sudah membuktikan bahwa warna berbeda, keyakinan berbeda atau bahasa yang berbeda tidak perlu dipersoalkan sejauh dalam koridor positif. 

Indonesia juga mengalami masa itu. Rasisme di masa colonial dikenal pembeda antara pribumi, priyayi dan keturunan Eropa serta keturunan Timur Asing (Cina / Arab). Golongan ini sengaja dibentur-benturkan dan politik pecah belah terjadi. Satu golongan menjadi merasa lebih tinggi dibanding golongan yang lain, bahkan tidak mau berteman atau bergaul dengan mereka.

Dengan kondisi seperti itu, sangat sulit satu wilayah seperti Nusantara pada zaman colonial untuk lebih maju. Sebaliknya banyak sekali sikap atau tindakan yang mengarahkan satu golongan lebih superior dibanding golonan lain; satu sikap yang sebenarnya membuang-buang energi kita.

Itu akhirnya mendorong pemuda-pemudi Indonesia untuk mengucap sumpah pada 28 Oktober 1928 yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda yaitu bertumpah darah dan berbangsa satu, serta berbahasa satu, Indonesia. Sumpah Pemuda adalah salah satu momentum penting bagi bangsa Indonesia karena sumpah itu menjadi puncak kedewasaan yang mampu mengubah prespektif kita terhadap perbedaan.

Seharusnya itu titik tolak kita dalam menghargai perbedaan, apapun itu karena sejatinya Indonesia memang punya ribuan perbedaan. Seperti Nabi SAW juga mengakui prespektif Aisyah dalam melihat perbedaan. 

Hari ini masih ada kelompok yang menerapkan rasisme dalam pernikahan dengan alasan pemurnian nasab mulia, juga sampai ke taraf merendahkan yang lain karena alasan nasabnya tidak setara. Kelompok warisan Belanda ini bisa bertahan lama karena menggunakan dalil agama yang dipaksakan. Pada hal islam tidaklah mengarjarkan seperti itu.

Kisah pernikahan Julaib yang dari segi harta, tahta apalagi rupa dia tidak punya, namun perihal taatnya pada agama dia jawara, atas modal agama itulah Nabi SAW. Beliau menjodohkan sahabat Julaib dengan putri pemimpin kaum ansor yang teramat jelita, soleha nan mempesona.

Selain itu dimasa Nabi SAW juga banyak pernikahan yang 'jomplang' diluar ekspektasi dan kepantasan duniawi, sebut saja Bilal bin Rabbah Bekas budak dari Afrika, dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf, keturunan mulia suku Quraish.

Lalu, Zaid bin haritsah yang merupakan bekas budak dinikahkan dengan Zainab yang berasal dari keturunan bangsawan Quraisy. 

Pernikahan-pernikahan diatas menjadi bukti nyata dari Nabi SAW. Bagaimana cara beliau membrantas rasisme dalam pernikahan dan fanatik keturunan serta menegaskan bahwa jodoh itu misteri tidak dapat diprediksi apalagi dihitung dengan kalkulasi duniawi.

Semestinya, seiring dengan bertambahnya tahun kita mengenal momentum Sumpah Pemuda, seharusnya kita sudah bisa dewasa soal klasifikasi rasial semacam itu. Namun yang kita temui malah keinginan perpecahan dari beberapa pihak. Sikap mereka yang menganggap perbedaan adalah halangan menjadi "kemunduran" atas hal yang pernah kita capai dalam Sumpah Pemuda.

Kita seharusnya lebih dewasa dan lebih maju. Bukan saja dalam hal teknologi, namun juga soal prespektif perbedaan bangsa kita.

Waallahu Aklamu bissowab.............

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS