Sidebar ADS

THORIQOHNYA SUNAN GUNUNG JATI

THORIQOHNYA SUNAN GUNUNG JATI 

Martin Van Bruinessen dalam bukunya, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (1995), sudah tidak mampu mendeteksi eksistensi thariqah Al Syattariyah di Nusantara, karena sudah terlanjur membumi dengan adat istiadat masyarakat. Martin hanya memberikan sinyal nama Syekh Jumadil Kubro yang makamnya terdapat di Trowulan, Mojokerto, serta di Sulawesi Selatan adalah ditengarai sebagai Syekh Jamaluddin Al Kubra. Pengamal thariqah Al Kubrawiyah yang dipelopori oleh Syekh Najmuddin Al Kubra.

Sebab, menurut Martin, nama “Jumadil Kubro” adalah janggal untuk kosakata dan tatabahasa Arab. Di samping itu, terdapat pula beberapa nama makam dengan nisbat Jamaluddin, seperti Syekh Jamaluddin di Pintu Enam Pelabuhan Merak, Syekh Jamaluddin di atas makam KRT Nitinegoro, Gogodalem, Semarang, Syekh Jumadil Kubro di Bukit Turgo, lereng selatan Gunung Merapi, dan lain sebagainya.

Sunan Gunungjati dalam Babad Banten disebut pula sebagai pengamal thariqah Al Kubrawiyah, selain thariqah Al Syadziliyah. Kesenian Debus adalah salah satu praktik dari thariqah Al Kubrawiyah yang diajarkan oleh Sunan Gunungjati.

Nama Syekh Jamaluddin atau Syekh Jumadil memang masih menyimpan sejarah yang belum terungkap, sejalan dengan sejarah makam Maulana Maghribi yang juga tidak kalah banyak tersebar di Nusantara.

Parasejarawan pada umumnya belum bisa menentukan thariqah yang pertama kali tiba di Nusantara. Thariqah sendiri baru mulai menjadi minat perhatian setelah diteliti oleh Martin Van Bruinessen. Apalagi Sejarawan Indonesianis yang memang belum menyentuh aspek budaya sebagai fakta historiografi.

Mereka masih merujuk pada fakta-fakta tertulis sebagaimana tulisan-tulisan sarjana asing dalam merekayasa sejarah Nusantara. Padahal, sarjana-sarjana asing juga menulis dari fakta-fakta yang mereka anggap sendiri sebagai bukan fakta, tradisi dan adat istiadat.

Mengenal thariqah Al Kubrawiyah pertama kali dikembangkan oleh Syekh Najmuddin Al Kubra (1145-1221 Masehi) di wilayah Uzbekistan. Thariqah ini memang memiliki ciri kemiripan dengan aliran-aliran kebatinan pada umumnya yang tumbuh subur di wilayah Asia Tengah seperti Chistiyah, Isyraqiyah, Qadiriyah, atau bahkan Syattariyah dan Naqsyabandiyah.

Thariqah ini memiliki kemiripan pada praktik-praktik yoga dan olah pernafasan yang umum berkembang sejalan dengan interaksi kaum muslim yang mulai tersebar di wilayah Hindustan. Thariqah-thariqah dengan inti pengajaran pada olah pernafasan dan kanuragan ini menjadi jalan alternatif untuk menghindari konflik yang terlalu tajam terhadap penganut formalistik Islam yang merambah pada wilayah-wilayah hukum (fiqh) dan teologi (Kalam).

Hanya saja, praktik-praktik olah pernafasan dan kanuragan tersebut kemudian lebih terimplementasi ke dalam bentuk dzikir dan majelis dzikir. Bahkan, Syekh Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166 Masehi) dianggap sebagai tokoh yang mempopulerkan thariqah sebagai jama’ah, barisan, atau komunitas dzikir.

Merujuk pada naskah yang dianggap tertua di Nusantara, Syekh Hamzah Fansuri (tanpa tahun) dalam “Syair Perahu”nya, ada menyebut nama “Qadiri”.

Pola sebaran thariqah yang bersifat olah batin dan bisa membumi dengan budaya lokal, terutama tradisi, hukum, dan adat istiadat di Nusantara telah menyulitkan Martin untuk mengidentifikasi secara persis.

Thariqah-thariqah batiniyah tersebut melebur ke dalam upacara-upacara dan tradisi-tradisi masyarakat Nusantara seperti pencaksilat, bebantenan, bebali, upacara kelahiran dan kematian, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, Islam dikenal lebih dahulu karena praktik-praktik budaya pada masanya yang dapat berasimilasi, berakulturasi, dan membumi yang pada masa sebelumnya sudah menjadi praktik-praktik budaya masyarakat Nusantara.

Dan, karena mereka menempuh jalan batin dan rahasia, maka tidak heran, jika kemudian mereka dikenal sebagai Rijal Al Ghaib, Mastur (tak dikenal), dan dengan nama sebutan lain seperti mulamatiyah.

Berikutnya, thariqah akan menampilkan diri lebih terang ke dalam budaya Islam Nusantara setelah kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al Ghazali diajarkan di pesantren-pesantren.

Jadi, bukan karena Islam lokal dipandang sebagai mencampuradukkan tradisi dan budaya Hindu dan Buddha, tapi memang ada kemiripan di dalam praktik-praktiknya.

Terutama, ketika budaya Dinasti Khusan yang beragama Buddha, membentuk Kekaisaran Khurasan di Asia Tengah jauh sebelum Islam lahir. Budaya batiniyah itu sudah hidup dan bukan semata monopoli dari kaum Majusi, meskipun budaya Majusi di Persia lebih dekat kepada budaya Arab.

Waallahu Aklamu bissowab.............

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS