RATU KALINYAMAT PENGUASA PESISIR UTARA PULAU JAWA
Ratu Kalinyamat adalah tokoh perempuan asal Jepara yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada Hari Pahlawan yang bertepatan pada Jumat (10/11/2023).
Dikutip dari Hayati dkk dalam Ratu Kalinyamat: Ratu Jepara yang Pemberani, Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Ratu Retna Kencana. Ia adalah putri ketiga Sultan Trenggana, raja ketiga dari Kesultanan Demak. Nama Kalinyamat disematkan kepadanya berdasarkan nama tempat Kalinyamat, sebuah daerah di Jepara, Jawa Tengah yang menjadi wilayah kekuasaannya.
Tidak ada keterangan mengenai tahun pasti yang menyebutkan kapan Ratu Kalinyamat lahir. Namun, menurut Emalia dalam jurnal Sulthanah Pertama 'de Kronige Dame' di Jawa dan Strategi-strategi Kekuasaannya, pada tahun 1544 Retna Kencana yang menginjak usia remaja telah dikirim oleh ayahnya sebagai utusan Demak untuk beraliansi dengan Banten. Melalui kutipan ini, dapar disimpulkan Ratu Kalinyamat lahir pada abad ke-16 Masehi.
Ratu Kalinyamat menikah dengan Pangeran Hadirin yang merupakan putra Syekh Mughayat Syah, Aceh. Setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, Pengeran Hadirin diberi julukan Ki Kalinyamat.
Pernikahan Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadirin tidak berlangsung lama. Pangeran Hadirin terbunuh oleh Arya Penangsang pada 10 April 1549. Arya Penangsang adalah paman dari Ratu Kalinyamat yang saat itu ingin merebut kekuasaan Demak dan lebih dahulu membunuh Sultan Trenggana.
Setelah kematian Arya Penangsang, Jepara sepenuhnya berada dalam kekuasaan Ratu Kalinyamat. Menurut Hayati ia dilantik dalam penobatan yang ditandai dengan sengkalan tahun (candra sengkala) Trus Karya Tataning Bumi yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549.
Menyadari kekisruhan yang terjadi di wilayah Kesultanan Demak akibat perebutan kekuasaan, Ratu Kalinyamat membangun strategi untuk memperkuat Jepara dengan pelayaran dan perdagangan. Strategi yang dijalankan bersamaan oleh Ratu Kalinyamat tersebut mengantarkan Jepara sebagai kota pelabuhan terbesar dengan armada laut yang kuat di pesisir utara Jawa pada abad ke-16. Dari pernikahannya, Ratu Kalinyamat tidak dikaruniai putra. Akan tetapi, ia merawat beberapa anak asuh. Salah satu anak asuhnya adalah adiknya sendiri, Pangeran Timur yang setelah dewasa akan menjadi adipati di Madiun dan dikenal sebagai Panembahan Madiun.
Kiprah kepahlawanan
Jepara sempat berada dalam kondisi yang terbengkelai seusai peperangan dengan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat memulihkan keadaan Jepara dengan konsolidasi di bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan sang ratu, Jepara mengalami kemajuan pesat di bidang perdagangan. Ia menjalin hubungan baik dengan pedagang-pedagang di kota-kota pelabuhan seperti Cirebon, Banten, Demak, dan Tuban. Jepara juga menjalin hubungan kerja sama dengan pasar internasional Malaka. Letak geografis Jepara menjadikan daerah tersebut sebagai titik pertemuan antara perdagangan dunia daratan (Pati, Jepara, Juana, dan Rembang) dan dunia lautan yang terdiri dari jalur perdagangan daerah sekitar pelabuhan dan seberang laut.
Dengan kondisi maritim Jepara yang kuat, Ratu Kalinyamat memiliki pengaruh yang besar di Pulau Jawa. Salah satu bukti tersohornya Ratu Kalinyamat adalah permintaan Raja Johor untuk ikur mengusir Portugis dari Malaka pada abad ke-16. Ratu Kalinyamat kemudian mengirimkan 200 kapal armada, 40 di antaranya berasal dari Jepara. Satu kapal berisi empat-lima ribu perajurit dan dipimpin oleh seorang Sang Adipati.
Topo wudo
Saat terjadi kisruh perebutan kekuasaan di Kesultanan Demak, Ratu Kalinyamat sangat ingin mengalahkan Arya Penangsang yang telah membunuh ayah, saudara, dan suaminya. Salah satu cara yang dilakukan Ratu Kalinyamat adalah dengan melakukan Topo Wudo di gunug Danaraja. Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja. Tindakan ini ia lakukan untuk memohon keadilan Tuhan dan memiliki sesanti bahwa ia baru akan turun dan menyudahi pertapaannya jika Arya Penangsang telah terbunuh.
Namun, Topo Wudo tidak dapat dimaknai secara harfiah saja. Wudo dalam bahasa Jawa berarti telanjang. Dalam Ratu Kalinyamat Sejarah atau Mitos (2019) Sulistiyanto mengungkapkan bahwa sangat tidak mungkin dalam budaya Jawa yang lekat dengan nilai moralitas, seorang ratu tidak mengenakan busana. Topo Wudo adalah simbol yang berarti sang ratu melakukan proses penyucian diri dengan meninggalkan keduniawian, perhiasan dan atribut seorang ratu, serta gemerlap istana dengan menjadi seorang pertapa. Topo Wudo adalah pasemon (bahasa pelambang) yang menjadi kebiasaan orang Jawa dalam mengemukakan sesuatu.
Ratu Kalinyamat diperkirakan meninggal dunia pada tahun 1579. Sosoknya menunjukkan bahwa seorang perempuan juga mampu memimpin hingga mengantarkan wilayah kekuasaannya kepada masa kejayaan. Tak ayal, gelar Pahlawan Nasional tentu pantas disematkan pada sosok perempuan pemimpin Jepara ini.
Waallahu Aklamu bissowab...............