SIKAP ILMIAH SANTRI ATAS POLEMIK NASAB
Polemik nasab habaib memasuki babak berikutnya, kiai Imaduddin albantani melayangkan surat undangan ke Rabitha Alawiyah dan ke Gus Rumail Abbas. Kepada Rabitha Alawiyah surat beliau bertujuan menanyakan sikap mereka yang masih kekeuh mengaku ahli bait nabi meskipun tidak bisa menunjukkan data kitab nasab. Sementara kepada Gus Rumail, surat kiai Imad bertujuan mengkonfirmasi soal temuan kitab sezaman yang diragukan validitasnya. Lantas bagaimana sikap kita dari kalangan pesantren?
Sikap kita dari kalangan pesantren kepada kiai Imad itu harus disertai argumen yang logis sekaligus shahih bukan sekedar dukungan membabi buta dilandasi sikap like and dislike. Seperti kata Gus baha dalam satu kesempatan bahwa sikap kita terhadap tradisi ke NU an itu harus dilandasi hujjah baligha, argumentasi yang shahih.
Alasan utama yang mendasari dukungan kita terhadap tesis kiai Imaduddin adalah komitmen kita terhadap tradisi ilmiyah yang diajarkan di pesantren. Tradisi ilmiah itu adalah bahsul Masa'il yaitu tradisi membahas masalah yang muncul baik itu masalah yang timbul di masyarakat maupun masalah yang timbul dari kitab kitab yang dikaji.
Seperti kata kiai Imad sebelumnya bahwa latar belakang kajian nasab tersebut adalah meluasnya fenomena habaib yang suka mencaci maki baik pada ulama( kiai NU) maupun mencaci Umara ( pemerintah), juga ditemuinya habaib yang bicara " nabi itu kakek ane apa kakek ente" dalam satu persidangan kasus yang melibatkan habib tsb.
Dari sini muncul satu pertanyaan dalam benak kiai Imad yaitu kenapa para habaib yang "notabene" dzuriah nabi memiliki sifat dan karakter yang kontras dengan leluhurnya? Bukankah nabi tidak pernah mencaci maki!!!?? . Dari titik inilah kiai Imad kemudian mencoba riset dan mengumpulkan data seputar nasab klan Ba Alawi. Dan seperti kita ketahui hasil dari riset tersebut menyatakan bahwa nasab ba Alawi tidak terkonfirmasi sambung kepada Rasulullah. Berdasar kajian kitab nasab menyatakan bahwa Sayyid Ahmad bin Isa tidak memiliki anak yang bernama Ubaidillah.
Kiai Imad juga ingin menunjukkan bahwa kalangan pesantren memiliki daya kritis terhadap pengetahuan yang sudah lama diterima secara taken for granted oleh kalangan umum. Pendidikan di pesantren tidak menumpulkan nalar santri seperti kebanyakan persepsi orang karena model pengajaran yang bersifat hapalan bukan analisa.
Pesantren tidak sekedar mendidik santri hapal sekian ribu ayat bahkan sekian ribu hadis. Pesantren juga mengajarkan santri memahami cara( tarigah, metode) istinbat al-hukm, menarik kesimpulan hukum Syara'. Pesantren juga membekali santri ilmu Ushul, qawa'id, dan ilmu dasar lainnya untuk menjadi pisau analisis suatu masalah.
Dan tak kalah pentingnya alasan dukungan riset kiai Imad adalah kritik internal kiai pesantren kepada warga NU secara umum. Bahasa sederhananya adalah otokritik. Tidak bisa dipungkiri bahwa hanya dikalangan NU lah habaib memiliki posisi terhormat. Diluar NU habaib bukan siapa siapa.
Perilaku habaib secara akademis bisa jadi objek kajian ilmiah yang terbuka buat siapa saja. Para mahasiswa boleh jadi setelah polemik ini semakin tertarik mengkaji habaib untuk mendapatkan gelar kesarjanaan
Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan warga NU bila ada kalangan luar yang mengkaji nasab habaib dan kesimpulannya menyatakan bahwa nasab habaib Rungkat!!! Betapa melo-nya perasaan kita!!! Orang bilang" sakitnya tu disini.
Ingat di era 80an pernah seorang ulama MUI mengatakan bahwa anak turun nabi itu sudah tidak ada!! Habaib bingung, Gus Dur yang turun tangan.
Waallahu Aklamu bissowab.................