Sidebar ADS

WALI SONGO YANG DARI NEGARA PALESTINA

WALI SONGO YANG DARI NEGARA PALESTINA 

Diriwayatkan dalam beberapa sumber yang masyhur, ketika masifnya dakwah Islam masa Wali Songo abad ke 15 M, saat itu ada seorang ulama dari Baitul Maqdis yang kita kenal sekarang Palestina, namanya Maulana Utsman Haji atau yang dikenal Sunan Ngudung datang mengarungi samudera sehingga sampai ke Ampel Denta, Surabaya.

Maulana Utsman Haji adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang berhijrah fii sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak.

Maulana Utsman Haji adalah seorang Imam Masjid Agung Demak. Dikarenakan Maulana Utsman Haji ini adalah seorang yang pandai berperang, oleh Maulana Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) direkomendasikan kepada raja Majapahit untuk menjadi pelatih tentara Majapahit.

Salim A Fillah (2020) menjelaskan Maulana Utsman Haji berangkat ke Raja Majapahit atas rekomendasi Maulana Rahmat Ali Rahmatullah. Kemudian Maulana Utsman Haji diangkat menjadi pelatih militer tentara kerajaan Majapahit. Hasil didikan Maulana Utsman Haji sangat luar biasa, didikannya menjadi tentara yang hebat semua.

Saat itu diriwayatkan ada seorang raja bawahan dari Majapahit, namanya Raja Kresna Kapakistan dari Kerajaan Gel Gel, yang sekarang di Kabupaten Karang Asem. Dalam kitab yang disebut sejarah Dalem Waturenggong dijelaskan ketika Raja Kresna Kapakistan melakukan kunjungan menghadap Majapahit, dan ketika mau pulang oleh Raja Majapahit dia dikasih hadiah, hadiahnya berupa 60 prajurit terbaik untuk mengawalnya ke Bali dan 60 prajurit terbaik ini dalam sejarah Dalem Waturenggong di Bali disebutkan semuanya nyamaselam, nyama artinya saudara, selam artinya Islam.

Inilah 60 muslim pertama di Bali, prajurit terbaik Majapahit yang dihadiahkan semuanya didikan Maulana Utsman Haji. 

Maulana Utsman Haji punya anak laki-laki waktu itu, namanya Sayyid Ja’far Shadiq yang dikenal dengan Sunan Kudus. Beliau adalah putra dari pasangan Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah Az Zahra binti Nabi Muhammad SAW.

Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa yang memiliki pengaruh luas dan signifikan dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa. Inskripsi yang menjelaskan sosoknya pada Masjid Al-Aqsha di kota Kudus, Jawa Tengah menekankan dua gelar yang begitu prestisius yakni Syaikhul Islam dan al-Qadhi (Muh. Sidiq HM, 2020).

Peran Sunan Kudus sebagai panglima Perang Kesultanan Demak dibuktikan ketika ikut serta menyerang Portugis di Melaka bersama putra mahkota Sultan Pati Unus. Muh. Sidiq HM (2020) bahkan mencatat kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus dibuktikan ketika melakukan penyerangan ke Jantung Ibukota Majapahit Girindrawardhana.

Peperangan ini turut menyertai Sunan Giri, Sunan Mejagung dan Sunan Gunung Djati. Setelah matahari terbit, perang pun pecah dengan sengit. Dengan adanya pasukan-pasukan khusus dari berbagai wilayah, nampak pasukan Demak tak butuh waktu lama untuk bisa menggempur pasukan Girindra Wardhana.

Mereka kocar-kacir banyak yang melarikan diri. Pasukan Demak terus merangsek maju, hingga sampai di kotapraja Trowulan, ternyata istana sudah dikosongkan. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus juga mampu dibuktikan dalam upaya pemberantasan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ki Ageng Pengging murid dari Syaikh Siti Jenar yang konon mengajarkan ajaran menyimpang.

Sementara itu, selain menjadi komandan militer, atas kedalaman ilmu fiqih dan ketatanegaraan yang dimiliki oleh Sunan Kudus, pada masa berdirinya Kesultanan Demak, beliau diminta bersama Sunan Giri untuk menyusun sebuah kitab undang-undang yang akan diterapkan sebagai sumber hukum kesultanan.

Dari usaha yang dilakukan kedua tokoh tersebut, maka lahirlah sebuah kitab hukum undang-undang pidana maupun perdata yang disebut “Angger-Angger Suryangalam”. Dari sinilah kemudian Sunan Kudus juga dipercaya sebagai salah satu Qadhi atau Hakim Agung di Kesultanan Demak, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di daerah Kudus dan meletakkan semua jabatan yang beliau emban selama mengabdi kepada Kesultanan Demak (Muh. Sidiq, HM, 2020).

Ketika Sunan Kudus berdakwah di Kudus, beliau membangun masjid. Dikarenakan rindunya sama tanah kelahiran, masjidnya diberi nama sama dengan masjid di tanah kelahirannya, masjid suci ketiga umat Islam yakni Masjid Al-Aqsha. Bahkan ada yang meriwayatkan, peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina. Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus dibangun sejak tahun 956 H / 1549 M.

Salim A Fillah (2020) menjelaskan di samping masjid itu, beliau membangun menara yang sangat cantik, bentuknya seperti candi Hindu, kemudian kota tempat beliau tinggal akhirnya diberi nama dengan kota kelahirannya, pada saat itu Baitul Maqdis atau Yerusalem dikenal dalam dunia Islam sebagai kota al Quds, maka beliau kasih nama juga kotanya ini sebagai kota Al Quds, tetapi karena orang Jawa itu ketika disuruh membaca qof itu susah, maka kota itu dikenal sebagai Kudus. Jadi kota Kudus ini monumen persaudaraan Indonesia dan Palestina sejak abad ke 15 M.

Sementara itu, Dwi Wahyuningsih (2021) mencatat Kota Kudus adalah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Sebuah kota dengan nama yang sama dengan tempat asal Sang Pendakwah. Bahkan satu-satunya nama tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab di antara seluruh tanah Jawa ini.

Kudus diambil dari nama tempat asal Sunan Kudus yang pada masa itu memang popular di sapa Al-Quds. Maka dalam lisan masyarakat jawa pada masa itu, disebutlah dengan nama Kudus karena lebih mudah diucapkan.

Yang menarik bukan sekadar nama kotanya. Namun dari segi nama bangunan dan tempat pun dibuat layaknya miniatur di Baitul Maqdis sana sebagaimana dalam buku Solichin Salam (1977) yang berjudul Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam yang dikutip Dwi Wahyuningsih (2021). Seperti nama Al-Aqsha pada masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang senama dengan masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis.

Kemudian, nama gunung yang ada di sebelah utara Kota Kudus yang bernama Muria. Jika kita menengok lokasi atau peta di Palestina, ada sebuah bukit karang dengan nama serupa, yakni Moriah yang kelak akan dijadikan sebagai Masjid Umar.

Solichin Salam (1977) dalam Dwi Wahyuningsih (2021), penamaan Muria berasal dari nama bukit di Palestina tersebut. Menariknya adalah, bahwa di atas Gunung Muria tersebut juga didirikan masjid yang pendiri masjid tersebut juga bernama Umar atau lebih tepatnya Umar Said (Sunan Muria) sebagaimana bukit Moriah dengan Masjid Umar yang didirikan Umar ibn Khattab ketika datang ke Baitul Maqdis. Dari deretan fakta ini, tidak aneh rasanya jika kita sebut Kota Kudus sebagai miniatur Baitul Maqdis.

Mulai dari nama kota, masjid, hingga gunungnya pun nampaknya memang sengaja disesuaikan dengan kondisi tempat di Baitul Maqdis. Kota Kudus, layaknya sebuah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Bukan hanya monumen kerinduan Sayyid Ja’far As-Shadiq dengan tanah kelahirannya, namun boleh jadi di masa dewasa ini, juga adalah kerinduan kita sebagai umat muslim terhadap pembebasan Al-Aqsha dari tangan para penjajah Zionis tersebut.

Waallahu Aklamu bissowaab...................

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS