PARA KAPTEN-KAPTEN BANGSA ARAB YANG JADI KACUNG KOLONIAL BELANDA
( sekarang lebih dikenal sebagai HABIB)
Kalau Rohingya diusir dari Myanmar, anehnya di Indonesia dipuja sebagai Ndoro
Kapitein der Arabieren atau Hoofd der Arabieren
adalah posisi kaum Arab yg di kolonial Hindia Beland dengan tugas memimpin etnis Arab-Indonesia, yang biasanya hidup terkonsentrasi di daerah-daerah yang telah ditentukan (Kampung Arab).
Peran mereka adalah sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah kolonial, memberikan informasi statistik untuk pemerintah Hindia Belanda pada isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat keturunan Arab, untuk menyebarluaskan peraturan-peraturan dan keputusan pemerintah, dan untuk menjamin pemeliharaan hukum dan ketertiban.
Menurut Van den Berg, masyarakat keturunan Arab di Batavia menetap di sebuah daerah yang disebut Pekojan.
Kata Pekojan berasal dari kata Pe-Koja-an, yang berarti Daerah Koja, suatu istilah yang diberikan bagi orang-orang Muslim yang berasal dari daerah Gujarat, India.
Sementara Koja sendiri dari kata Khoja.
Sampai akhir abad ke-18, daerah itu sebagian besar didominasi oleh pemukim Khoja Gujarati sampai abad ke-19.
Ketika Van den Berg melakukan studi (1884-1886), tidak ada lagi penduduk asal Gujarat.
Pada saat itu sebagian besar pemukim adalah orang Arab dan segelintir orang Tionghoa.
Sejak sekitar tahun 1970-an, orang-orang Arab adalah minoritas dan Tionghoa berubah menjadi mayoritas.
Dia menggambarkan Pekojan sebagai daerah yang kumuh dan kotor.
Kurang lebih satu setengah abad lalu, orang-orang Arab juga telah pindah dan tinggal di pinggiran kota (sekarang Jakarta Pusat), seperti daerah Krukut dan Tanah Abang.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memiliki hukum konstitusi yang mengakui tiga kategori individu di Batavia (dan kemudian diterapkan ke tempat lain),
yaitu:
1. Orang Eropa asli ( Europeanen),
2. Orang Timur Asing atau
Vreemde Oosterlingen), meliputi keturunan belanda, Arab, Tionghoa, dan India
dan
3. pribumi (Belanda: Inlander).
Sementara para bangsawan di katagorikan di golongan timur asing
Karena semakin banyaknya imigran yang berdatangan dari Hadramaut, Pemerintah Belanda mulai menerapkan aturan yang disebut Wijkenstelsel pada tahun 1844 untuk memisahkan orang-orang Arab ini dari penduduk asli.
Karena itu, pemerintah memerlukan seorang kepala kelompok yang disebut Kapitan Arab atau Kapten Arab, yang ditunjuk dari kalangan masyarakat Arab itu sendiri, sebagai titik kontak dan penghubung.
Posisi yang serupa diberikan pula kepada masyarakat Tionghoa dengan sebutan Kapitan Cina.
Lebih dari setengah jumlah keseluruhan Kapitan Arab yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial adalah orang-orang non Sayyid. Keputusan ini dibuat untuk melemahkan anggapan sebagian Hadhrami tradisional tentang status sosial mereka.
Para Kapten ini kadang-kadang didampingi dengan seorang asisten yang disebut Luitenant van de Kapitein der Arabieren atau hanya Liutenant der Arabieren alias Letnan Arab.
Kapitan Arab di pelbagai daerah
Kapitan Arab pertama yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia adalah Said Naum selama periode 1844-1864.
Ia digantikan oleh Muhammad bin Abubakar 'Aydid untuk periode 1864-1877.
Di antara orang-orang Arab lain yang memiliki posisi di Batavia adalah
1. Hasan Argoubi,
2. Muhammad Umar Ba'Behir
Dan
3. Umar bin Yusuf Mangus
selama periode 1902-1931
Umar Mangus adalah seorang pedagang kaya dan memiliki bisnis properti.
Sebagai jasanya menjabat posisi Kapitan Arab, Umar dianugerahi gelar kehormatan De Ridder in de Orde van Oranje-Nassau
(Ksatria Ordo Orange-Nassau).
Dia dilantik pada 28 Desember 1902 bersama dengan Sheikh Ali bin Abdoellah bin Asir sebagai Letnan Arab-nya
Sebelum Umar Mangus diangkat sebagai Kapitan Arab, sebagian besar orang Arab telah memutuskan untuk memilih Syarif Abdullah ibn Husein Alaydrus, seorang pedagang kaya yang terkenal karena kemurahan hatinya dan memiliki perilaku yang baik serta menonjol di antara orang-orang keturunan Arab dan Eropa.
Banyak orang berpikir bahwa dengan adanya hubungan dekat dengan orang Eropa, ia akan bersedia menerima posisi jabatan sebagai Kapitan Arab.
Pemerintah kolonial terus mendesaknya untuk menerima posisi itu, tapi ia dengan tegas menolaknya.
Dia tidak sendirian dalam keputusannya itu, karena penolakan ini mendapat dukungan dari para orang tua Arab terhormat.
Menurut Snouck Hurgronje yang melakukan penelitian pada tahun 1901, pada masanya pemerintah kolonial Belanda mengalami lebih banyak kesulitan dalam menunjuk Kapitan Arab karena ketika itu masyarakat Arab lebih banyak yang berstatus peranakan (Muwallad), yang kurang atau tidak memiliki otoritas dibandingkan dengan yang berdarah-murni Hadramaut (Wulayti). Kelompok yang akhir ini jumlahnya telah semakin berkurang.
Di Cirebon, Kapitan Arab ditunjuk pada tahun 1845. Seperti di Batavia, Kampung Arab di sini pernah menjadi tempat tinggal para Gujarati atau mungkin dari Bengali juga. Pada tahun 1872 daerah koloni Indramayu lepas dari administratif Cirebon, dan karenanya kemudian ditunjuk seorang Kapten Arab pula.
Di Banjarmasin pada sekitar tahun 1899, Kapitan Arab yang ditunjuk adalah Said Hasan bin Idroes al-Habshi atau lebih dikenal sebagai Habib Ujung Murung.
Penerus Said Hasan sebagai Kapten Arab di Kalimantan Selatan adalah Alwi bin Abdullah al-Habshi, yang kemudian pindah ke Barabai.
Demikian pula, di Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bangil, Lumajang, Besuki, Banyuwangi, Surakarta, Sumenep, dan berbagai tempat di Nusantara masing-masing memiliki Kapitan Arab.
Salah satu alasan pemerintah kolonial melakukan ini adalah untuk memisahkan orang-orang Arab dari orang-orang pribumi.
Di Pekalongan, salah satu Kapten Arab adalah Hasan Saleh Argubi.
Di Bangil, beberapa orang yang pernah menjabat Kapitan Arab di antaranya :
Muhammad bin Saleh Sabaja (1920),
dan
Muhammad bin Salim Nabhan (1930).[17] Di Banyuwangi, beberapa keturunan Arab yang memegang posisi ini, antara lain, adalah Datuk Sulaiman Bauzir, Datuk Dahnan, Habib Assegaf, dan Ahmad Haddad.[18] Di Pasuruan, yang menjabat Kapten Arab adalah seorang Sayyid bernama Alim al-Qadri, yang merupakan kakek keponakan dari Hamid Algadri.
Di Gresik, Kapitan Arab pada tahun 1930 adalah Fahmi Husein bin Muhammad Shahab sementara Kapitan Arab Surabaya adalah Salim bin Awab bin Sungkar, yang memiliki tanah yang luas (86.500 meter persegi (21,4 ekar)) di Pusat Kota Surabaya, Ketabang Barat.[19]
Menurut dua wisatawan Baha'i yang mengunjungi Makassar pada tahun 1885 --seorang orang Iran yang bernama Sulayman Khan Tunukabanı, yang dikenal sebagai Jamal Effendi, dan rekannya seorang India-Irak bernama Sayyid Mustafa Rumi-- Kapitan Arab di Makassar pada saat itu adalah Said Ali Matard.[20]
Di Palembang, sebagian besar Kapten Arab, menurut keterangan jika tidak semua, tinggal di kecamatan 13-Ulu ("Seberang Ulu" sungai Musi).
Tidak ada catatan yang diketahui mengenai siapakah Kapten Arab yang pertama, tapi Kapten Arab terakhir adalah Ahmad Al Munawwar (w. 1970), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ayip Kecik (Sayyid Kecil) atau Yipcik.[21][22]
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁