PENYEMATAN "SAYYID /SYARIF" PASTI MENUNJUKKAN STATUS "KETURUNAN ROSULULLOH SAW"?!
Seringkali difahami ketika seseorang yang memiliki sematan sayyid atau syarif pada namanya, maka dapat dipastikan bahwa dia merupakan keturunan Rasulullah saw, atau keturunan sayyyidina Ali, baik dari jalur sayyidina Hasan, Husain, Muhammad bin al Hanafiyyah, atau putera-putera beliau yang lain. Tetapi sebelum lebih jauh lagi, mari kita telusuri lebih jauh agar diketahui bagaimana perkembangan lafal ini dari masa ke masa.
Syarif dalam bahasa artinya adalah seseorang yang memiliki kemuliaan atau orang yang terhormat, sementara sayyid adalah seorang pemimpin. Syarif menurut istilah ialah:
الشريف: ذو الشرف ويطلق على بني فاطمة رضي الله عنها، ويطلق أيضاً عليهم السادات واحدُها السيد، وجمعُ الشريف الأشراف
“syarif ialah seseorang yang memiliki kemuliaan. Dan digunakan untuk keturunan Sayyidah Fatimah ra. Keturunannya juga disebut dengan saadah, mufrodnya adalah sayyid. Dan bentuk jamak dari lafal syarif adalah Asyrof” [Muhammad ‘Amimul Ihsan, at Ta’rifatul Fiqhiyyah, hal 122].
Di sini terlihat jelas bahwa dalam istilah terdapat beberapa makna: pemilik kemuliaan / terhormat, atau keturunan Sayyidah Fatimatuz Zahro’, dengan kata lain adalah keturunan Rasulullah saw.
kalimat sayyid mengandung makna pemimpin. Dan menurut istilah Sebagaimana penuturan al Jarjani:
السادة: جمع السيد، وهو الذي يملك تدبير السواد الأعظم
“Kalimat saadah adalah jama’ dari kata sayyid, dan ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam mengatur golongan yang banyak”. [al Jurjani, at Ta’rifat, hal 116].
Sehingga “sayyid” atau “syarif” tidak secara khusus diarahkan kepada makna: keturunan Rasulullah saw melalui jalur Sayyidah Fatimah, meskipun dalam penggunaan sebagian ulama bahwa kalimat tersebut khusus digunakan untuk keturunannya.
Melihat penggunaan “Asyrof”, ternyata sudah digunakan semenjak masa jahiliyah dan masa Islam. Dengan bukti beberapa referensi yang menyebutkan “asyrof Quraisy”. Di antaranya seperti di dalam kitab Hadzf min Nasab karya Abu Faid Muarrij bin Amr As Sadusi (w. 195 H) (hal 9) yang menyebut Jubair bin Muth’im sebagai salah satu asyrof Quraisy, dan salah satu orang yang sangat ahli dalam ilmu nasab, bahkan sayyidina Umar pun bertanya kepada beliau tentang nama salah seorang tokoh dari suku manakah dia, dan dijawab olehnya dengan jawaban: dari suku Ibnu Ma’ad. Sehingga tidak mungkin diartikan bahwa Jubair bin Muth’im adalah salah satu dari keturunan Nabi Muhammad saw. Dan masih banyak fakta-fakta lain mengenai hal ini, dan dapat ditemukan di dalam kitab-kitab nasab.
Lalu ketika ditemukan penyematan kalimat “sayyid” atau “syarif” bahkan “al hasani” atau
“al husaini” baik di dalam kitab dan sanad hadist apakah itu dapat dianggap sebagai pengitsbatan nasabnya sebagai keturunan nabi Muhammad saw ?? belum tentu; karena itu hanya sekedar indikator yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Syekh Muhammad bin Abu Bakar al Asykhor (w. 991 H) di dalam Kasyful Ghain ‘Am Man Bi Wadi Surdud Min Dzurriyatis Shibthoin (hal 252) menyebutkan dalam uraiannya tentang al Mubahashoh yang diklaim sebagai keluarga Syarif:
أمّا المباحصة: فالذي نعتقده عدمُ شرفهم؛ إذ لم نَزَلْ ولم نسمع أحدا ممن يعتبر به ويصلح أن يكون مستند قوله إلّا ما يوجد في بعض الكتب بخطّ النُسَّاخ كُتِبَ بِرَسم الشريف فلان بن فلان الفلاني الحسيني نسبا، وهذا لا يصلح عمدةً ولا يقف العقلُ عنده.
“Adapun (keluarga) al Mubahashoh, maka yang kami yakini adalah tidak adanya status kesyarifan mereka; karena kami senantiasa, dan tidak mendengar seorang pun yang dapat dijadikan sandaran dan pantas untuk menjadi sandaran pandangannya, kecuali yang hanya ditemukan di sebagian kitab dengan tulisan para penyalin kitab, yang tertulis dengan redaksi: syarif fulan bin fulan al fulani al husaini nasabnya. Dan ini tidak layak menjadi pedoman, dan tidak diterima oleh akal”.
Maka teks Muhammad Abu Bakar Al Asykhor ini memberikan satu kaidah bahwa penyematan gelar “syarif, dan al husaini nasaban” itu tidak dapat di jadikan sebagai dalil atau argumentasi bahwa status orang yang disebutkan adalah keturunan dari Rasulullah saw, atau dengan kata lain mengitsbatkan nasab. Karena keluarga al Mubahashoh disebut sebagai syarif al husaini hanya ditemukan di dalam sebagian kitab dengan redaksi seperti itu, tetapi tidak diakui kesyarifan mereka. Hal yang senada juga disebutkan oleh Tajuddin as Subki di dalam Fatawa al Subki yang merupakan kompilasi fatwa-fatwa ayahnya Taqiyyuddin As Subki:
إذا رأينا مكتوبا ليس مقصوده إثبات النسب لم نحمله على إثبات النسب ولا يجوز التعلق به في إثباته إذا كان المقصود منه غيره
“Ketika kita menemukan sebuah tulisan yang tidak bertujuan untuk mengitsbat nasab, maka tidak diarahkan kepada pengitsbatan nasab, dan tidak boleh dikaitkan dengan pengitsbatan nasab jika tujuannya bukan mengitsbat nasab” [hal 461, vol II].
Teks ini juga menyatakan hal yang sama dengan redaksi sebelumnya bahwa ketika sebuah nama ditemukan penyematan as sayyid as syarif al husaini misalnya, maka itu tidak berarti bahwa nama itu benar-benar merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Maka dalam pengaplikasiannya, Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid yang di dalam kitab As Suluk disebut sebagai syarif al Husaini yang nasabnya disambungkan kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa tidak dapat dipastikan statusnya sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. Terlebih lagi data tentang Ali bin jadid hanya ditemukan di dalam kitab tersebut untuk pertama kalinya dan tidak didukung oleh data lainnya. Sementara ulama-ulama setelahnya hanya mengutip dari As Suluk. Terlebih lagi Bani Alwi itu juga merupakan keturunan Hamadan juga diabadikan oleh Al Hamadani di dalam al Iklil fi min Akhbaril Yaman wa Ansab Himyar ( ) yang menegaskan bahwa Bani Alawi adalah Keturunan Himyar, dan sebagian dari mereka juga terdapat asyrof (orang-orang terhormat), begini teksnya :
وقد يقول بعض علام أرحب: إن علوي صغّر وكبّر. يقولون: أولد علوي بن عليان: عليان بن علوي، فأولد عليان بن علوي: علوي الأصغر، ومنه انتشرت بنو علوي. انقضت بنو علوي
“Sebagian ulama Arhab mengatakan: Alawi dapat ditashghir (Ulwi) dan dapat ditakbir (Alwi). Mereka mengatakan: Alwi bin Alyan melahirkan Alyan bin Alwi. Alyan bin Alawi melahirkan Alwi al Ashghor, dan darinya tersebarlah Bani Alawi. Selesailah (penjelasan tentang) Bani Alawi”.
Ali bin Muhammad yang disebut sebagai Baalawi oleh Al Janadi memang diperlukan penelitian yang lebih mendalam, baik dari sisi penyematannya sebagai seorang syarif, atau keterkaitannya dengan Baalawi yang merupakan keturunan dari Alawi bin Alyan yang merupakan bagian dari suku Qohthon di Yaman. Uraian mengenai Bani Alawi di Hadramaut Yaman juga sudah disebutkan oleh KH Imaduddin di dalam tulisan yang terbaru.
Dengan demikian, ketika banyak dari ulama yang menyebut tokoh-tokoh Baalawi sebagai seorang syarif, atau al husaini. Seperti: Ibnu Hajar, as Sakhowi, ataupun tokoh-tokoh besar lainnya, tidak dapat dinilai sebagai sebuah itsbat akan kebenaran nasab Baalawi. Jika memang tulisan-tulisan mereka tidak bertujuan untuk mengitsbatkan nasab, sebagaimana statemen Tajuddin as Subki yang disebutkan sebelumnya. Dan hal ini seharusnya diketahui oleh mereka yang menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai benteng pertahanan dari kelompok yang kontra Baalawi.
Sehingga pihak kontra akan dihadapkan dengan tokoh-tokoh itu. Padahal tidak semua dari ulama-ulama itu mengitsbatkan nasab Baalawi. Meskipun mengitsbat dengan menyebutkan dalil, masih ada ruang untuk dikritisi bukan ??
Wallohu aklamu bissowab.......
Kutipan dari Kyai Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.