Sidebar ADS

PERDIKAN PARA PANDE BESI DI MANANJUNG

SIMA KAJURUGUSALYAN
Perdikan Para Pandé Besi di Mananjung 

Prasasti Sangguran yang berangka tahun 850 Çaka (928) Masehi yang ditemukan di desa Ngandat, Batu, Malang Jawa Timur di abad ke-19 merupakan prasasti tertua yang menyebutkan posisi paling terhormat para pandé di kerajaan Medang di era Sri Maharaja Dyah Wawa.

Para pandé – tak hanya pandai besi – akan tetapi juga pande emas, perak, perunggu di zaman itu menurut Prasasti yang sampai kini berada di Roxburghshire, Skotlandia ini, menyebut para Pandé di daerah Perdikan Para Pande (Sima Kajurugusalyan) di Mananjung sebagai BHATARA. Sebuah predikat yang biasa dipakai untuk sebutan Dewa.

Mengapa sampai di Skotlandia? Perjalanan panjang Prasasti seberat 3,5 ton bertinggi 1,61 m (setinggi rata-rata orang Jawa) lebar 1,22 m dan tebal 32 cm ini dibawa berlayar ke Skotlandia, dan sampai kini ditaruh di halaman kebun keluarga Lord Minto (Gubernur Jendral India di era Penjajahan Inggris di Nusantara 1811-1816) atas perintah Thomas Stamford Raffles – Gubernur Jendral Hindia Belanda waktu itu.

foto : prasasti sangguran 

Itu sebabnya, di dunia, Prasasti Sangguran disebut sebagai Minto Stone atau Batu Minto. Senasib dengan Prasasti Pucangan, yang di antaranya berisi silsilah Raja Airlangga – garis cucu dari Mpu Sindhok yang kemudian menjadi Raja Medang menggantikan Rakryan Dyah Wawa, ini juga dibawa berlayar oleh Inggris ke India sehingga disebut Calcutta Stone… 

Posisi Terhormat Empu Keris 

Dari zaman ke zaman, posisi para Pandé – termasuk tentunya para empu keris di era kerajaan – bergeser dari zaman ke zaman. Prasasti Sangguran (928 M) merupakan prasasti tertua yang ditemukan sampai saat ini, yang menegaskan bahwa posisi empu keris itu sebagai BHATARA.

Dalam Prasasti Sangguran atau Minto Stone itu disebutkan, bahwa Mahapatih Rakryan I Hino (nantinya Mpu Sindhok) atas perintah Raja Wawa dari Mataram Kuno di Jawa Tengah, bernazar menjadikan Desa Sangguran di Mananjung sebagai daerah Perdikan (daerah Swatantra bebas pajak) Para Pande Besi. Prasasti Sangguran inilah yang menegaskan wilayah desa tersebut sebagai “Sima Kajurugusalyan” (Daerah Perdikan Para Pande).

Sri Maharaja Wawa memerintahkan pada rakyat di Sangguran, untuk melaksanakan pungutan sebesar 6 Suwarna Emas guna pemasukan bagi para Punta (pengurus) Bangunan Suci Mananjung yang dihuni “para BHATARA”.
Tidak boleh Sima Kajurugusalyan ini dimasuki oleh para pejabat Kraton, baik itu patih, Abdi Dalem atau para wahuta (pemilik tanah, tuan tanah) dan mereka tidak boleh mengenakan denda, pungutan pada para penghuni bangunan suci. Yang melanggar, akan dikutuk dan disumpah serapahi akan celaka menjalani siksa.

Itu sebabnya, menurut kepercayaan orang Jawa, Lord Minto tak sempat menjejakkan kaki di tempat asalnya, dan meninggal dalam perjalanan ke Skotlandia pada (2014), setahun setelah Prasasti berharga yang berisi bukti eksistensi kerajaan Medang di jawa itu, sampai di rumah Keluarga Minto di Inggris. Dan sampai kini, prasasti itu berada di kebun di sebuah rumah di Roxburghshire.

“..rāja muang rakryān mapatiḥ rikanang wanua i sangguran inarpaṇnākan i bhaṭāra i sang hyang prāsāda kabhaktyan ing sīma kajurugusalyan ing manañjung..,
Bahasa Sanskrit bertuliskan Jawa Kuno yang kurang lebih artinya: Raja dan Rakryan Mapatih (Medang) mempersembahkan daerah Perdikan di Sangguran ini untuk para Bhatara di Bangunan Suci di Mananjung ini sebagai Daerah Perdikan Para Pandé (Sima Kajurugusalyan).

Prasasti Tentang Keris
Sebelumnya, selalu disebut-sebut Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Çaka (907) Masehi atau 21 tahun sebelum diterbitkannya Prasasti Sangguran, sebagai Prasasti tertua yang menyebutkan eksistensi keris.

Prasasti Rukam yang ditemukan di sebuah desa di Parakan, Temanggung merupakan prasasti penanda diresmikannya desa Rukam, yang baru saja dilanda bencana Gunung Api. Untuk peresmian, dituliskan dalam prasasti tersebut, dipersembahkanlah serangkaian sesajian, tak hanya beras, kain dan berbagai benda rumah tangga pada masa itu, akan tetapi juga alat-alat pertanian, termasuk juga keris sebagai sesajian.

“wsi wsi prakāra waduŋ rimwas patuk patug (k?) lukai tampilan linggis 4 tatah 4 wa(n)kyul kris gulumi kurumbagi pamajha kampit dom tamrā prakā..,
Kurang lebih isinya: “… segala macam keperluan dari besi berupa kapak, kapak perimbas, beliung, sabit, tampilan, linggis, tatah, bajak, KERIS, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum…,”

Keris juga disebut di Prasasti Poh yang berangka tahun 827 Çaka (925 M) yang ditemukan di dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Prasasti ini meneguhkan Desa Poh dimerdekakan dari pajak oleh penguasa Medang di Mataram Kuno waktu itu, Dyah Balitung.

Posisi Pandé Alami Pergeseran 

Di era kerajaan Sunda di tatar Pasundan (932-1579 M) posisi para Empu dan Pande besi masih ditinggikan. Sehingga namanya pun perlu dicatat dalam silsilah, seperti halnya silsilah raja-raja. Keahlian pande besi, seolah bisa diturunkan sehingga keturunan-keturunan para empu pun diyakini memiliki keterampilan menjadi pande besi.

Para pande keris yang diyakini memiliki daya linuwih untuk bisa menghasilkan pusaka-pusaka dari proses tempanya ini, diyakini menjadi semacam “aset kekuasaan” pemerintahan kerajaan. Sehingga empu-empu yang berasal dari Jawa Barat pun diterima dan mendapat posisi terhormat di era kejayaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Tidak mengherankan, jika nama-nama para pande dan keturunannya, dicatat rinci lengkap di era raja siapa. Juga beberapa di antaranya, disebutkan pula dhapur-dhapur keris ciptaan mereka. Silsilah para empu ini berlanjut terus sampai era modern, di Mataram Islam bahkan sampai kerajaan Yogyakarta dan Surakarta pasca Palihan Nagari (Mataram dibelah dua) setelah Perjanjian Giyanti (1755).

Era Candi Sukuh 

Relief Pande Besi, Pande Keris di Sukuh yang diperkirakan berasal dari era Akhir Majapahit (1437 M) juga masih menunjukkan posisi terhormat profesi Pande Besi, yang digambarkan sebagai tokoh wayang, Bima.

Bima digambarkan dalam Relief di Sukuh, menempa keris dengan landasan pahanya, diiringi sosok makhluk berkepala gajah sedang menari, dan tokoh Sadewa memegang ububan (pompa angin kuno) untuk menjaga bara api di tempat pembuatan keris.

Bima, yang digambarkan dalam posisi duduk, diyakini sebagai tokoh di pewayangan yang memiliki daya linuwih, memiliki kesaktian sehingga menghasilkan hasil tempa yang diyakini memiliki kekuatan, bahkan daya magis.

Stanley J O’Connors seorang sejarawan kesenian Amerika, dalam sebuah jurnal ilmiahnya pada tahun 1978, berpendapat bahwa relief Pande Besi di Sukuh itu menguatkan pendapat, bahwa seorang pande keris diyakini memiliki kemampuan Transmutasi Spiritual melalui aktivitas tempanya.

Relief Pande Besi di Sukuh, dianggap sebagai semacam metafora Transmutasi Spiritual. Bahwa, seorang pande besi bisa membuat keris memiliki nilai spiritual, tak hanya sekadar senjata, akan tetapi juga bisa menjadi pusaka yang diyakini memiliki daya magis, dan bahkan di berbagai zaman kerajaan, menjadi simbol legitimasi kekuasaan.

Setara Pangeran

Jika di era klasik, di abad 9-10 para pande besi, para empu diyakini memiliki posisi tinggi sebagai Bhatara, maka di era Majapahit abad 14-16 mereka disetarakan dengan Pangeran.

Empu Supamandrangi, empu Majapahit yang berasal dari Blambangan, sepulang dari mencari pusaka Kiai Sengkelat yang hilang, diganjar gelar sebagai Pangeran Sedayu, diberi pelungguh tahan seluas 15 karya, serta diganjar putri sentana atau putri keturunan raja sebagai isterinya.

Demikian pula anaknya, Ki Jakasupa alias Ki Nom di era kejayaan Mataram, juga diberi gelar pangeran dengan julukan Pangerang Sendang. Diganjar tanah pelungguh seluas 200 karya, serta putri sentana sebagai isteri pendampingnya.

Pada era Mataram, empu-empu Kraton seperti Empu Cublak keturunan kelima dari empu Pajajaran Ni sombro, menduduki posisi Mantri Pande atau posisi menteri kerajaan.

Empu Ki Nom, di era kejayaan Mataram Sultan Agung, bahkan dipilih menjadi pemimpin Empu Pakelun – deretan 8 empu terkemuka yang memimpin “sadomas empu” (800 empu) yang direkrut raja Mataram itu dari seluruh penjuru Jawa. Mereka dikumpulkan di Mataram, untuk membikin meriam guna penyerangan Mataram ke Batavia pada 1627 dan 1629..

Pangeran Sedayu alias Ki Nom, diberi posisi gegedug (paling diandalkan) empu Pakelun. Sebuah posisi yang membuatnya tercatat dalam catatan-catatan wawacan. Akurasi kronologi tahun memang masih dipertanyakan. Akan tetapi, catatan-catatan ini, meskipun bukan catatan sejarah, setidaknya menjadi jejak tradisi bahwa para empu di tanah Jawa menduduki posisi khusus.

Hal ini berlanjut sampai masa kraton Surakarta sebelum era kemerdekaan Republik Indonesia (1945), bahwa seorang empu kerajaan yang dipasrahi memimpin para pande keris di kerajaan, menduduki posisi sebagai seorang Menteri. Kedudukan pemimpin para pande kerajaan Mataram Surakarta dan juga Yogyakarta pun disebut Mantri Pande… *

(Jimmy S Harianto, topik ini menjadi bahan ngobrol keris di ISI Yogyakarta 16 Desember 2023 serta artikel di Majalah Besalen edisi Kelima 21 Juni 2023)

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS