Sidebar ADS

RENGGINANG DARI BANTEN UNTUK HANIF ALATAS

RENGGINANG DARI BANTEN UNTUK HANIF ALATAS 

Hanif Alatas, membuat buku sanggahan yang kedua terhadap penulis. Buku itu 
diberi judul “Bingkisan Lebaran Untuk Imaduddin Utsman: Catatan atas jawaban Kyai Imaduddin utsman terhadap Risalah Ilmiyah M. hanif Alatas”. Pertama: Hanif mengatakan: 

“Dalam tulisannya Imaduddin mengatakan „risalah Hanif ini, belum dapat membantah terputusnya nasab Ba Alwi, karena didalamnya hanya mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad sembilan‟ kemudian ia juga mengatakan „ketika ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidk ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah 
dalam istbat nasab Ba alawi‟ dst. 

Pernyataan Kyai Imaduddin di atas menunjukan bahwa ia tidak betul-betul membaca risalah ilmiyah saya. Padahal siapapun yang membaca risalah tersebut maka akan melihat secara jelas dan gambling bahwa saya mengutip kesaksian-kesaksian ulama dari kitab mereka sebelum tahun 996 H…” 

Pernyataan Hanif ini ada benarnya, saya tidak terlalu serius membaca kalimat yang tidak ada kaitan dengan ketersambungan nasab habib Ba Alawi. Kenapa? Karena memang yang ingin kita gali adalah ittisolurriwayat nasab Habib Ba Alawi yang terputus. yang diperlukan bagi nasab Ba Alawi ini adalah ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad 10 H., Yaitu ketika kitab Tuhfatutholib Bima‟rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996) memuat untuk pertama kali. Sedangkan kitab-kitab yang banyak itu walaupun ditulis sebelum 996 H., tetapi tidak menyebut nama Ubaidillah tetapi Abdullah. Menurut penulis keduanya adalah orang yang berbeda. 

Semisal, Hanif berhujjah dengan kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.732), disana yang disebut bukanlah Ubaidillah, tetapi Abdullah, dan ini akan saya ulas tersendiri untuk membuktikan bahwa nama Abdullah yang disebut itu memang bukan Ubaidillah leluhur para habib, jadi tidak bisa dijadikan hujjah. 

Kedua Hanif menggunakan hujjah kitab al-Yafi‘I (w.768) disana ada syair tentang
Ba Alwi di Hadramaut. Sekali lagi Ba Alwi yang disebut itu bukan Ba Alwi para
habib, itu Ba Alwi bani Jadid. Tidak tegas menyebut nama Ubaid atau nama-nama keluarga habib Ba Alwi, dan Tidak bisa menjadi hujjah. 

Ketiga, Hanif menggunakan kitab Imam al-Rasuli (w.778 H).disana yang disebut 
adalah Abdullah, bukan Ubaidillah. Abdullah itu bukan Ubaidillah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujah. 

Keempat, Hanif menggunakan kitab Imam al-Khozroji (w. 812). Lagi, yang disebut Abdullah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujjah pula. 

Kelima, Hanif menggunakan kitab al-Imam al-Ahdal (w. 855 H) kitab ini adalah ikhtisar al-suluk, akan penulis bahas bersama al-Suluk dalam penelusuran perbedaan antara Abdullah dan Ubaidillah. Tidak bisa menjadi hujjah pula karena namanya masih Abdullah. 

Keenam, Hanif menggunakan kitab al-Imam Abdurrahman al-kahtib (w. 855), kitab al-Jauhar al-Syafaf, konon menyebut nama Ubaidillah, tetapi kitabnya belum dicetak, katanya masih manuskrip. Manuskrip ini ada di Huraidah, Yaman, di perpustakaan Ahmad bin Hasan Al-Athos (habib Ba Alawi). 

Perlu diketahui alJauhar al-syafaf pula, adalah manuskrip yang terdapat di perpustakaan Malik Abdullah bin abdul aziz Saudi, dengan nama pengarang Abdullah Ibnul Hadi. Kitab manuskrip belum bisa dijadikan hujjah kecuali telah di publikasikan dan bisa diverivikasi keasliannya oleh seorang muhaqqiq terpercaya. 

Ketujuh, Hanif menggunakan kitab Kadzim al-Musawi (w. 880), didalmnya yang disebut adalah Abdullah, tidak bisa menjadi hujah karena idak menyebut nama Ubaidillah. 

Kedelapan, Hanif menggunakan kitab Imam al-Sakhowi (902 H), Ba makhramah (w. 947 H) , kitab Ibnu hajar (w. 947 H) , Yahya bin Syarafuddin al-hasani (w. 965 H), dan al-Samarqondi ( 996 H) yang semuanya menyebut nama Ubaidillah. Namun kitab-kitab ini bermuara kepada satu referensi, yaitu kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali al-Sakran (w. 895 H.) dan tidak bisa menyambung kepada kitab yang lebih tua yang menyebut nama Abdullah seperti kitab al-Suluk. Kenapa? 

Leluhur Habib Ali Al-Sakran, yang dikenal pada zamannya bernama Ubaid, tanpa 
idlofah kepada ―Allah‖. Hal ini diakui oleh Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya 
tersebut dengan ibaroh: 
وهكذا هو هنا عبيد ادلعروف عند اهل حضرموت وادلسطر يف كتبهم وادلتداول يف سلسلة 
ٓ٘ٔنسبهم ونسبتهم انه عبيد بن امحد بن عيسى والربقة ادلشيقة: 
“Dan demikianlah, ia disini (bernama) Ubaid yang dikenal penduduk Hadramaut, dan ditulis dalam kitab-kitab mereka dan berkesinambungan dalam sislsilah nasab mereka. Dan penisbatan mereka adalah: Ubaid bin Ahmad bin Isa.” (al-Burqoh alMtsiqoh: 150) 
Perhatikan, bahwa yang tertulis berkesinambungan bagi penduduk Hadramaut, hanya sampai Isa, belum dilanjutkan kepada Muhammad al-Naqib sebagai ayah Isa. 

Untuk menyimpulkan bahwa leluhurnya yang bernama Ubaid, tanpa pakai mudlaf ilaih ―Allah‖, itu adalah Abdullah, Habib Ali al-Sakran menyebutkan: 
وقد فهمت مما تقدم اوال منقوال من اتريخ اْلندي وتلريص العواجي وسبق به الكالم يف 
يد انه عبد هللا بن امحد بن عيسى حيث.........   


Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, 
berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia (al-Jundi) berkata: 

sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja‟far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf”. (al-Burqah al-Musiqah: 150-151) 

Perhatikan kalimat “waqad fahimtu mimma taqoddama”(dan aku memahami dari yang telah lewat itu), dilanjut kalimat “annahu Abdullah bin Ahmad bin Isa”
bahwa Ubaid bin Ahmad bin Isa itu adalah (orang yang sama dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan kitab sejarah karya al-Jundi …. 

Dari situ diketahui, bahwa yang dicatat sebelum itu hanya Ubaid bin Ahmad bin Isa, lalu ketika Habib Ali al-Sakran membaca kitab al-Jundi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini adalah Abdullah. 

Lalu, kenapa Abdullah menjadi Ubaid lalu Ubaidillah? Habib Ali al-Sakran 
berargumen bahwa Abdullah bin Ahmad seorang yang tawadlu, ia merasa tidak 
pantas bernama Abdullah (hamba Allah), maka ia menyebut dirinya (Ubaid) hamba kecil, tanpa lafadz ―Allah‖.
Perhatikan ibarah di bawah ini! 
ْ
والذي يظهر عندي ان الشيخ االمام عبد هللا بن أَ
ر كان من عظيم تواضعه ... ويستحسن تصغًن امسه وَحو رمسه حتقًنا ذلا وتصغًنا دلا 
َ
ف
ْ
ع
َ
ج
ينسب اليها وافناء للدعوى ومقتضيات اذلوى حبسب التسمية له بعبيد 


“Dan sesuatu yang dzahir bagiku, bahwa sesungguhnya Syekh Imam Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja‟far, karena tawadu‟nya… ia menganggap baikdi tasgirnya (dikecilkan secara lafadz) namanya dan dihapusnya tanda (keagungannya), karena menganggap hina dirinya dan mengaggap kecil susuatu yang dinisbahkan kepadanya (nasab atau lainnya) dan melebur pengakuan dan kebiasaan nafsu, dengan mencukupkan nama baginya Ubaid.” (al-Burqoh: 151) 

Dari keterangan di atas disimpulkan, bahwa di kalangan keluarga Ba Alawi sendiri, 
nasab yang masyhur hanyalah ―Ubaid bin Ahmad bin Isa‖, lalu ketika Habib Ali alSakran melihat kitab al-Suluk, yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, ia berkesimpulan bahwa nama itu adalah nama lain dari Ubaid bin Ahmad bin Isa. 
 
Wallohu aklamu bissowaab...........
pengambilan dari kitab Kyai Imaduddin al-Bantani 

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS