Sidebar ADS

TANGGAPAN TERHADAP BUKU HANIF ALATAS

TANGGAPAN TERHADAP BUKU HANIF ALATAS 

Habib Hanif Alatas membuat sebuah buku dengan judul -Risalah Ilmiyah jawaban atas Syubhat Imaduddin Utsman Seputar Keabsahan Nasab Bani Alawi‖. Risalah Hanif ini tidak dapat membantah terputusnya nasab Ba Alawi. Karena di dalamnya hanya mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad 9. Belum berhasil menyambungkan sanad dan riwayat antara nasab Ba Alawi dan Nabi Muhammad SAW. 

Bagi hanif, pembicaraan-pembicaraan ulama besar itu, walau bukan  merupakan sumber primer akan bisa memperkuat nasab Ba Alawi biarpun dari sisi ketersambungan sanad terputus. 

Semisal Hanif menukil pujian Syekh An-Nabhani (W. 1350 H) tentang bahwa 
nasab Ba Alawi adalah nasab tersahih. Namun, sekali lagi yang diperlukan bagi 
nasab Ba Alawi ini adalah ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad 10 H. yaitu ketika kitab Tuhfatutholib Bima‘rifati man Yantasibu Ila Abdillah waAbi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996)  memuat untuk pertama kali. 

Ketika ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidak ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam itsbat nasab Ba Alawi. Diperlukan kitab-kitab muashir (sezaman) dalam setiap nama yang menyatakan ia anak dari fulan atau ayah dari fulan. Kenapa? Karena syuhroh wal istifadloh (masyhur dan menyeluruh) bagi nasab itu, menurut Imam Arruyani, harus setiap masa bukan hanya disuatu masa. Misal abad 10 masyhur Ba Alawi sebagai keturunan nabi, tapi abad 9,8,7,6,5 dan 4 tidak ada yang menyebut, maka dapat dipastikan secara ilmiyah nasab ini palsu. 

Imam Ar-Ruyani (w.502) berkata dalam Bahrul Madzhab: 
 عرف بطول الزمان وحبر ادلذهب: 

 (ٖٗٔ/ٗان إالستفاضة ابلنسب

“Sesungguhnya istifadlah untuk nasab diketahui dengan sepanjang zaman” (Bahrul Madzhab: 3/134) 

Di Makkah ada suatu kasus. Keluarga Athobariyah Al-Ariqah dikenal sebagai 
keluarga yang melahirkan para ulama di Makkah, ia masyhur sebagai keluarga 
Nabi, namun kemasyhuran itu, setelah diteliti mulai dari abad 9 saja, sedang di abad ke enam, tujuh dan delapan nasab mereka tidak masyhur di kitab-kitab abad itu Kitab Al Da‘u AlLami‘, khulasatul Atsar, yaitu kitab abad 9 dan 11 menulis mereka sebagai Al Husaini, tetapi diabad sebelumnya tidk ada riwayat. Maka ulama nasab menyebut nasab seperti ini al iddi‘a al hadits la ashla lah (pengakuan baru tidak punya asal). 

Alawi sebagai datuk Klan Ba Alawi (w. 400 H.), dalam versi masyhur mereka, ia putra Ubaidillah (w.383 H) ―bin‖ Isa (W. 345 H.). maka dari 3 nama ini, kita memerlukan kesaksian kitab nasab yang semasa yang menyebut Alawi sebagai anak Ubaidillah dan Ubaidillah sebagai anak Ahmad, yaitu kitab abad ke 5 yang semasa dengan Alawi. Bahwa benar disebutkan dalam kitab itu Alawi sbagai cucu Ahmad bin Isa. 

Untuk itu, Hanif berusaha untuk mencari kitab abad ke lima. Apakah berhasil? Kita lihat !! 

Hanif menyebutkan bahwa nasab Alawi sebagai anak Ahmad telah disebutkan di abad 5. Alhamdulillah. Apa betul ? 

Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh AlUbaidili yang wafat 435 H. yang demikian itu disebut dalam kitab Al-Raud Al-Jali,
karya Az-Zabidi (W.1205). kalau ini terbukti kita akan taslim akui mereka sebagai keturunan Nabi. Subhanallah. 
 Lalu bagaimana ? 

Sedih kita, sudah dua kasus kitab palsu telah berlalu, sekarang mau tambah lagi. Penulis memiliki kitab Al-raud Al-jali namun kalimat seperti yang disebutkan Hanif tidak terdapat dikitab itu. Kitab Al-Raud yang penulis miliki cetakan maktabah Daar Kanan Li Al Nasyr wa Al-Tawzji‘ tahun 1431 H. ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Gani, tidak ada kalimat seperti dikutif Hanif itu, bahwa -Al-Ubaidili berkata…‖. 

Setelah ditelusuri di footnote rupanya yang dipakai Hanif adalah kitab Al-Raud AlJali cetakan tahun sekarang ini, tahun 1444 H, baru sekali. Kitab itu di tahqiq oleh Muhammad Abu Bakar Ba Dzib, dan di ta‘liq oleh Habib Alwi bin Tohir Al haddad (w. 1382 H.). 

Dalam kutipan yang dipetik Hanif itu banyak berbeda dari kitab Al Raudul al jali yang penulis miliki. Penulis Tidak ada kalimat ―Ubaidili berkata…‖ dst. Di kitab Hanif ada kalimat ―ubaidili berkata…‖ padahal judul kitabnya sama, pengarangnya sama, kok isinya beda. 
 
ketika melihat judulnya bahwa kitab ini di ta‘liq oleh Habib Alwi bin tohir Alhaddad, maka kemungkinan besar kasusnya sama dengan kitab ―Abna‘ul Imam‖ yaitu kemungkinan adanya penambahan dari penta‘liq atau pentahqiq. 

Kitab yang dijadikan referensi Hanif ini sah disebut kitab palsu dan tertolak untuk dijadikan hujjah sebagai sumber hukum, karena di dalamnya sudah ada campuran antara kitab asli dan ta‘liqnya, dibuktikan dengan berbedanya ibarah yang ada dengan cetakan sebelumnya. 

Dan ketika meriwayatkan dari kitab yang tercampur ini, Hanif tidak menyatakan 
ibaroh yang disampaikan itu, apakah ibaroh dari pengarang atau pen‘ta‘liq, subyek yang berkata jadi tidak jelas karena terjadi tadlis (pengaburan sengaja).

Bahkan konklusi dua cetakan kitab ini tentang Abdullah anak Ahmad menjadi 
berbeda. Kitab cetakan yang ada di tangan penulis menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad adalah termasuk ketetapan yang tidak disepakati, sementara dalam kitab cetakan Hanif menjadi yang disepakati. 

Moral ilmiyah itu penting, selain isi tulisan. Percetakan, pentahqiq, penta‘liq dan penukil harus memiliki kejujuran ilmiyah. Kitab yang kita tukil harus kredibel, penulisnya jelas, tahunnya jelas. Kalau kitab itu syarah katakan syarah! Bedakan antara ibaroh syarah dengan ibaroh matan, bisa dengan ditambah dalam kurung, tulisan yang dibedakan atau dengan ciri lainnya seperti warna tinta, karena, terutama kitab sejarah dan nasab, harus jelas titimangsa kitab itu, untuk menjadi
saksi tokoh yang diteliti, Jika ada ketidak jujuran dari fihak-fihak yang penulis sebutkan tadi maka nilai ilmiyah itu hilang. 

Dari sini riwayat abad lima putus. Hanif tak berhasil mensajikan kitab yang jujur. Musti bekerja keras lagi.lalu bagaimana hujah yang lainnya? Hujah lain banyak, 
tapi hujah hujah kebanyakan sudah di sampaikan penyanggah penulis lainnya dan sudah dijawab. Agaknya tujuan hanif dengan kitab ini bukanlah untuk diuji secara ilmiyah, tapi untuk dibaca awam. 

Penulis hanya akan tanggapi hujah hanif yang akan membawa nasab Ba Alawi bisa muttasil secara ilmiyah, jika benar logika ilmiyahnya. Maka kita uji. Seperti tadi, Hanif katakan bahwa Ubaidili berkata, jika itu benar, sah ba Alawi jadi cucu Nabi, karena Ubaidili adalah ulama abad ke 5, tapi ternyata kitab yang dikutip kitab palsu. 

Pembaca bisa cek di internet dan membaca kitab Al-raud Al-jali, lalu bandingkan dengan tulisan Hanif yang menyebut itu diambil dari Al-Raud Al-jali, sama atau beda? Jelas, tulisan Hanif ini, tercederai oleh kitab palsu, yaitu kitab Al-raud Al-Jali karya Azzabidi cetakan 1444 H. yang berbeda isi dan kesimpulannya dengan cetakan sebelumnya. 

Mengenai kitab As-Suluk yang disinggung Kang Zaini bahwa penulis terlewat tidak menjawab tentang kitab As-suluk pada dialog Habib Hamid Alkadri. Padahal kitab itu bisa menjadi mata rantai abad kelima karena di karang ulama abad 8 yaitu Al jundi (w.732). Sedikit bocoran, setiap kata Ba Alawi dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, 
itu maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal sekarang, itu Ba Alawi berbeda. 
Abdullah yang disebut abad delapan dan Sembilan itu bukan yang menurunkan 
Faqih Al-muqoddam, beda orang dengan Ubaidillah, tidak ada kesamaan keduanya. 

Dengan bocoran ini, harus dicari dalail yang menyatakan keduanya sama. Bagi 
penulis, Nasab Ubaidillah bin Ahmad ini baru resmi ditulis dalam kitab nasab pada abad 10, maka perlu ketersambungan riwayat Ubaidillah ini dari abad 10-5 hijriah. 

Wallahu Aklamu bi Haqiqatil hal......... 
Oleh : kyai Imaduddin Utsman 

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS