JEJAK AMALIYYAH THORIQOH DI JAWA TENGAH
Sejarah tarekat di Nusantara diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Proses Islamisasi Nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan (perkembangan) tasawuf yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran tarekat di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam (Abu Hamid Muhammad) Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyah pengajaran tasawuf di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Tarekat Kubrawiyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258 M), pendiri Tarekat Syadziliyah asal Maghribi, Afrika Utara; Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320 M) yang mendirikan Tarekat Rifa’iyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389 M) dan Tarekat Syathariyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua tarekat tersebut belakangan menjadi tarekat besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air (Martin Van Bruinessen, 1992).
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk Nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarekat yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu Sang Sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidak(lah) mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah ke (tanah) Jawa. Tarekat lain yang masuk Nusantara pada periode awal adalah Tarekat Qadiriyah, Syaththariyah dan Rifa’iyah. Ketiga tarekat tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah Saw, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran Tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Tarekat Sammaniyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad 18, berbagai tarekat (telah) tersebar luas di Nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan tarekatnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai tarekat terkenal.
Jejak Tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Selain dua tarekat tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878 M). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Tarekat besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim Nusantara adalah Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, tarekat ini baru masuk Nusantara setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.
Selain tarekat-tarekat yang sudah disebut di awal, ada lagi beberapa tarekat yang masuk ke Nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, hasil pembaruan dari Tarekat Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Tarekat ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk Nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maulana Khalid) itu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah -pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah tarekat tersebut membuka zawiyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah.
Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Abdul Hadi, Girikusumo (Mranggen, Demak).
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Abdul Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan, Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, Popongan, Klaten, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin, Kudus, K.H. Abdullah Salam, Kajen dan K.H. Hafidh, Rembang.
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas (Banyumas) diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Kiai Abdul Malik kemursyidan Naqsyabandiyah Khalidiyah diteruskan muridnya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di Pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.
Selain mewariskan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan (ijazah) kemursyidan beberapa tarekat kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Tarekat Syadziliyah. Bahkan, belakangan Rais ‘Aam Jam’iyah Ahli at-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Tarekat Syadziliyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. (Muhammad) Dalhar, Watucongol, dan Kiai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad, Ngadirejo, Klaten; Kiai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kiai Abdurrahman, Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris, Jamsaren, Surakarta. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yang sama: Kiai Ahmad, Kiai Abdullah, Kiai Abdurrahman, Kiai Abdul Malik dan Kiai Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtaram Al-Banyumasi, Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram Al-Banyumasi, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.
Masih banyak lagi tarekat-tarekat lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Tarekat Kubrawiyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Tarekat Naqsyabandiyah Haqqani atau Syadziliyah Darqawi yang dibawa para alumnus Damaskus.
Namun demikian, meski secara umum tarekat terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak pusat pengajaran tarekat yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran Tarekat Syadziliyah di Surakarta.
Pada masa keemasaannya, Kota Surakarta dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Tarekat Syadziliyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahli at-thariqah. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu Kiai Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan Kiai Ahmad, pengasuh Pesantren Ngadirejo, Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kiai Siradj, Panularan, Surakarta; dan Kiai Abdul Mu’id, Tempursari, Klaten; lalu setelahnya Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan; Kiai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kiai Idris, Kacangan, Boyolali.
Dari beberapa nama tersebut hanya Kiai Idris, Jamsaren, Kiai Abdul Mu’id, Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru-murid. Setelah Kiai Idris, Jamsaren wafat, Kiai Abdul Mu’id, kemenakannya, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kiai Abdul Mu’id wafat, putranya, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kiai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti (?), seperti halnya mursyid-mursyid Tarekat Syadziliyah lain di Surakarta dan sekitarnya.
(Tentu) Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah tarekat yang sangat ketat menjaga tradisi sanadnya.
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
Kutipan dari kitab sejarah dari berbagai sumber. Oleh : www.qsantri.com
https://www.facebook.com/pg/qsantri.eu.org/posts/qsantri.com/paid_online_events