Sidebar ADS

MENANGGAPI PARA IMIGRAN ARAB YANG MERASA DIRINYA SEBAGAI GOLONGAN SUPERIOR

MENANGGAPI PARA IMIGRAN ARAB YANG MERASA DIRINYA SEBAGAI SUPERIOR 

Bahwa imigran padang pasir penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab memandang dirinya sebagai kasta paling superior dan pribumi adalah bangsa inferior yang punya kewajiban melayani mereka sebagai pembawa darah suci. Namun belakangan mereka sangat ketakutan ketika di ajak untuk melakukan pemeriksaan tes DNA, dan secara uji pustaka mereka bukanlah keturunan Nabi SAW.

Di masa kolonial sistem kasta mendapat tempat dalam politik rasis apertheid yang dijalankan oleh pemerintah penjajah Belanda.

Belanda membagi kasta berdasarkan ras, imigran Arab padang pasir selaku Timur asing mendapat posisi di kasta kedua “Timur Asing” di atas “Pribumi”. Dan didalam kalangan imigran padang pasir pun dibentuk sub sub kasta yg terdiri dari; Kasta penyembah berhala nasab, Kasta masyaikh, Kasta qabili, dan Kasta abid.

Rasisme tersebut mendapat perlawanan dari kalangan pejuang kemerdekaan. Sementara itu di kalangan internal imigran padang pasir pun timbul perlawanan dari kalangan yang direndahkan hanya karena nasab/keturunan tanpa memandang prestasi.

Perseteruan antara kalangan penyembah berhala nasab dengan kalangan Qabili memuncak ditandai dengan pecahnya Jami4tul Kh4ir, organisasi imigran Arab, yang kemudian kalangan qabili mendirikan organisasi al Irsy4d.

Kalangan penyembah berhala nasab bersikukuh dengan memanipulasi akidah yang lurus, mereka menyatakan bahwa kasta dan rasisme adalah ajaran Nabi SAW, sementara kalangan qabili berpendapat bahwa kemuliaan manusia berdasarkan ketaqwaannya bukan karena keturunannya.

Kalangan penyembah berhala nasab mendapat dukungan dari Vanderplas, seorang pejabat Hindia Belanda, karena sejalan dengan eugeunitika rasis yang dijalankan oleh penjajah Belanda, hingga Vanderplas merestui bahkan mendorong didirikannya lembaga swadaya masyarakat rasis R4bithah Al4wiyyin.

Untuk itu nantinnya tidak aneh jika ada Sultan yang lebih memilih jadi Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau berpihak pada Republik Indonesia Serikat (RIS) daripada Repulbik Indonesia nantinya.

Selain karena punya ideologi rasisme yang sama, kalangan penyembah berhala nasab pun merupakan sekutu setia yang sangat berjasa mendukung penjajahan, di antaranya saat bersekutu meruntuhkan kerajaan di Gresik, persengkokolan dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) saat meruntuhkan Kesultanan Banten dan yang terbesar adalah peran dari penyembah berhala nasab sebagai mufti Betawi dalam memadamkan perlawanan Aceh dan perlawanan pejuang tarekat Banten Jawa Madura. Jasanya yang lain memvonis tarekat dan tasawuf sebagai ajaran sesat.

Atas jasanya yang luar biasa tersebut mufti Betawi tersebut mendapat bintang jasa tertinggi dari penjajah Belanda, bintang oranye dari Ratu Wilhelmina.

Ajaran rasis yang didalili sempat mati suri, tetapi bangkit lagi pada jaman pemerintahan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014). Sebutan ahwal terhadap pribumi sebagai sekedar saudara ibu ibarat second nation menjadi marak sangat masiv.

Keturunan imigran padang pasir penyembah berhala nasab berkampanye rasis. Mereka menempatkan diri sebagai manusia termulia yang harus diistimewakan, dengan dalil yang tidak jelas, mereka mengklaim dengan kebohongan sebagai satu-satunya pembawa darah suci keturunan Nabi SAW . Sementara kalangan ahwal, wajib untuk memuliakannya.

Tapi sayang mereka ini mengemis minta penghormatan tapi dengan merendahkan manusia lainnya. Tidak ada rasa hormat mereka terhadap yang lainnya, tak perduli itu ulama atau umara, karena bagi mereka hanya merekalah yang paling mulia. Mereka punya jargon, awamnya penyembah berhala nasab punya derajat 70 kali lebih tinggi dibandingkan ulamanya di luar mereka.

Ironisnya, ajaran rasis tersebut banyak ditelan mentah-mentah oleh kalangan ahwal yang notabene derajatnya direndahkan. Ironisnya lagi mereka justru lebih fanatik dan lebih rasis darinya.

Bahwa, yang terpengaruh ajaran rasis tersebut memang kebanyakan dari kalangan yang dulunya di jaman penjajahan masuk di kasta inlander yang sudah biasa di-sudra-kan dan direndahkan.

Apalagi mereka punya ketakutan mendapat karomah dari tokoh penyembah berhala nasab, takut kualat, karena dalam biografi mereka selalu diceritakan dengan doktrin sesat dan menyesatkan seperti "jika ada penganut penyembah berhala nasab yang tersinggung kemudian ia tersebut marah, lalu mengeluarkan karomahnya."

Dimana dengan karomah tersebut siapapun yang pernah menyinggung habib akan mendapat bala bencana, ada yang rumahnya kebakaran, ada yg jadi buta, ada yg anaknya mati, ada yg kecelakaan hingga cacat dan lain-lain. Sangatlah jauh beda dengan karomah Walisongo yang justru menyelamatkan dan menjadikan rahmatanlilalamin serta bisa dijadikan untuk edukasi.

Tetapi banyak juga yang tidak termakan sekte tersebut. Namun itu menjadi pemicu kemarahan sekte penyembah berhala nasab. Oleh karenanya di panggung-panggung majelis mereka beredarlah fitnah-fitnah terhadap kiai dan ulama. Ini wajib kita hentikan....!!!!


❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁

Oleh : ﷻبسم الله الرحمن الرحيمﷻ
https://www.facebook.com/pg/qsantri.eu.org/370784775098/post/qsantri.com

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS