Sidebar ADS

PARA HABIB BAALAWI YAMAN BERJUANG DAN DAKWAH HANYA DEMI PENGAKUAN

PARA HABIB BAALAWI YAMAN BERJUANG DAN DAKWAH HANYA DEMI PENGAKUAN 

Langkah taktis klan penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab untuk mendapatkan rekognisi (pengakuan) dan identitas sebagai bagian dari entitas bertanah air Nusantara, dengan tetap menjaga sakralitas klaim sepihak penuh muslihat genealogis mereka sebagai keturunan Nabi SAW.

Para tokoh-tokoh mereka di abad dua puluhan mengambil sejumlah tindakan, termasuk transformasi adaptif pada tarekat nya, sebagai strategi efektif yang berhasil membawa klan ini membaur dengan masyarakat lokal, juga langkah dalam menjawab gugatan para reformis.

Praktik tarekatnya sebagai laku sufi mulanya bersifat eksklusif yang hanya melibatkan kalangan sendiri saja. Klaim nya bahwa basis pengajaran pada tarekat dilandaskan dari hadis dan sunnah Nabi dalam mengkonstruksi kesalehan profetik yang selanjutnya diajarkan secara turun-temurun dalam lingkup internal.

Itu sebabnya, selain mengklaim secara sepihak sebagai mewariskan darah Nabi SAW, pada saat itu, hanya para sayyid yang bisa mendapatkan akses eksklusif terhadap “konten-konten kenabian” yang ditransmisikan dari bapak ke anak. Yang diistilahkan hal ini sebagai silsilah dzahabiyyah (golden chain).

Eksklusifitas ini, di satu sisi, menciptakan kesenjangan dan berpotensi membuat kalangan berakidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab akan terpinggirkan. Ditambah, pada masa tersebut wacana pembaharuan semakin memanas, dan polarisasi antar etnis kian mengerucut.

Sejumlah tokoh mereka pada masa tersebut kemudian mulai melakukan sejumlah hal dalam menghadapi problem ini. Ada yang menempuh langkah politis dengan tetap menjaga hubungan baik antar golongan secara luwes, baik dengan organisasi Islam yang berpengaruh, tokoh nasionalis, termasuk hubungan relasional dengan tokoh pentolan reformis.

Fleksibilitas tersebut dilakukan dalam rangka menjaga pengakuan klan ini di Indonesia. Selain langkah politis, juga menempuh pendekatan agamis dengan mengadakan kajian agama yang diadakan secara rutin yang disampaikan dalam Bahasa Melayu. Format pengajaran semacam ini mengundang antusiasme masyarakat lokal untuk mengikuti kajian tersebut.

Juga memperkenalkan tradisi maulid khas mereka ke masyarakat luas. Dalam tradisi sufi, maulid merupakan ritual sakral. Nabi SAW diyakini “hadir” secara spiritual ketika agenda tersebut dilakukan, terutama ketika keturunannya hadir secara fisik di dalam majelis. Tradisi maulid khas mereka selanjutnya mulai menjamur di masyarakat, diadakan di pelosok-pelosok daerah dengan turut mengundang kalangan penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab yang memanipulasi dirinya sebagai keturunan Nabi SAW.

Jika kajian agama menguatkan eksistensi mereka dari ranah skriptural, maka maulid memperkuat klan ini dari aspek spiritual.

Dalam melaksanakan agenda-agenda keagamaan juga menggandeng Kiai lokal untuk ikut terlibat. Kiai-kiai lokal dipersilahkan untuk menyampaikan ceramah dan mengisi majelis. Hal tersebut memperkuat status sosial antara Kiai dan klan penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab dalam komunitas keislaman lokal.

Selain kerja-kerja “lapangan”, tokoh dari mereka juga melakukan kerja “akademik” untuk mendapatkan rekognisi dari masyarakat Nusantara. Hal ini, misalnya dengan menulis sebuah kitab/buku hagiografi tokoh-tokoh terkemuka mereka.

Di dalamnya, setelah mengulas tokoh-tokoh mereka dari negri asalnya pada bagian pertama, lantas menyodorkan data tokoh mereka di Nusantara pada bagian kedua dari magnum opus-nya secara khusus. Sebelum mengulasnya, bahkan mengupas sejarah islamisasi di Nusantara.

Disajikan data keterlibatan klan mereka dalam struktur pemerintahan pada masa tersebut. Hal ini, dibuktikan dengan memaparkan genealogi atau nasab dari raja-raja yang tersambung muttasilan dengan nasab mereka. Ini bentuk kejahatan pemalsuan sejarah terhadap pribumi demi meraih pengakuan semata.

Hal-hal tersebut membuktikan sekaligus menegaskan bahwa klan mereka bukan entitas baru dan asing yang ada di Nusantara. Sebaliknya, klan mereka bahkan sudah menjadi kesatuan integral yang menempati Nusantara jauh sebelum berbagai macam polemik tersebut terjadi.

Fakta-fakta historis (silahkah cek sejarah mereka) di atas memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab memperjuangkan identitas mereka di tengah kepungan problem kompleksitas yang terjadi saat itu.

Langkah taktis yang mereka ambil tidak hanya berhasil membuat mereka mendapatkan rekognisi dan identitas “kenusantaraan” yang mengeluarkan mereka dari beragam permasalahan. Lebih dari itu, kerja-kerja yang sudah mereka lakukan bahkan turut membentuk kemapanan komunitas keislaman di Nusantara hingga hari ini.

Dan hanya orang yang memiliki keikhlasan serta kejernihan hati yang tahu tentang tipu muslihat mereka...

❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS