Sidebar ADS

AHMAD SURKATI SANG PEMICU POLEMIK ‼️

AHMAD SURKATI SANG PEMICU POLEMIK 

Orang-orang Arab di Hindia Belanda bukan hanya berasal dari Hadramaut. Berabad-abad sebelumnya, orang Arab dari pelbagai kawasan, termasuk Gujarat (India), sudah ada di Nusantara. Namun pada abad ke-19, dan kian massif sejak awal abad ke-20, orang-orang Arab dari Hadramaut semakin menonjol.

Berdiri koloni-koloni Hadramaut di pelbagai kota koloni, dari Batavia, Cirebon, Semarang, Pekalongan hingga Surabaya. Laporan sezaman yang cukup rinci tentang koloni-koloni Arab ini bisa dibaca dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Indonesia karya L.W.C van Den Berg, khususnya halaman 67-78.

Gagasan modern tak terhindarkan menerpa orang-orang Hadramaut ini, hampir bersamaan dengan modernisasi kehidupan orang Cina di Hindia Belanda. Salah satu indikasinya adalah kemunculan Jamiat al-Khair pada 1901 yang baru disahkan pemerintah kolonial pada 1905.

Kepemimpinan awal organisasi ini didominasi kelompok dari marga Bin Shahab dan al-Mashur, walau kelompok non-Ba'alwi juga mungkin dan telah diakomodasi hingga level tertinggi. Seorang non-Ba'alwi, Salim bin Awad Balwail, bahkan menjadi wakil ketua organisasi itu pada 1906.

Pada 1906 mereka mendirikan sekolah modern di Pekojan, yang segera diikuti pendirian sekolah-sekolah serupa di Krukut, Tanah Abang, dan di Bogor. Selain mempelajari Alquran dan agama Islam, sekolah-sekolah ini juga memuat pelajaran "sekuler" seperti matematika, geografi, dan bahasa Inggris.

Dari sinilah bermunculan sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh orang-orang Hadramaut, baik Ba'alwi maupun non-Ba'alwi, di pelbagai kota (Pekalongan, Solo, dan Surabaya).

Karena perkembangan sekolah Jamiat al-Khair makin pesat, dibutuhkan keseriusan dan perhatian yang lebih besar untuk terus mengembangkan mutu pengajaran. Pada 1911, diundanglah Syekh Ahmad Surkati, kelahiran Sudan yang menerima pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah. Ia diangkat sebagai inspektur pendidikan di sekolah-sekolah Jamiat al-Khair.

Namun keberadaan Surkati di Jamiat al-Khair hanya sebentar. Ia segera memercikkan polemik karena pandangan-pandangannya yang reformis, terutama dalam soal adat-istiadat terkait posisi dan segala keistimewaan Klan Ba'alwi (klaimnya sebagai dzuriyah Nabi SAW, setelah diteliti ternyata bukan). Salah satu titik didih saat ia membolehkan pernikahan seorang syarifah, perempuan keturunan sayid, dengan non-sayid. Pernyataan itu diungkapkan di Solo pada 1913 dan itulah mengapa kadang disebut sebagai "Fatwa Solo" (Taufik Abdullah, dkk., Muncul dan Berkembangnya Faham-Faham Keagamaan Islam di Indonesia, 2008: hlm. 71).

Fatwa itu muncul karena si gadis Ba'alwi tinggal serumah dengan seorang Cina yang belum menjadi muslim. Ia menyarankan agar orang-orang Hadramaut mengumpulkan uang untuk membantu keperluan si gadis agar bisa meninggalkan pasangannya.

Akan tetapi tak ada yang menyumbangkan uang. Karena itulah Surkati menawarkan solusi praktis: gadis itu dikawinkan saja dengan laki-laki muslim. Usulan ini ditolak karena seorang perempuan Ba'alwi hanya boleh menikah dengan lelaki yang setara nasabnya.

Tak hanya itu, Surkati menampik keharusan orang-orang non-Ba'alwi untuk mencium tangan para Ba'alwi. Salah satu pengikut anjuran Surkati adalah Omar Manqush, seorang Hadrami non-Ba'alwi yang aktif dalam pendirian Jamiat al-Khair. Surkati bahkan mengatakan panggilan sebagai gelar kehormatan tidaklah tepat karena baginya itu setara panggilan "Mijnheer" dalam Belanda atau "Monsieur" dalam Perancis (Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000, hlm. 153).

Surkati memutuskan keluar dari Jamiat al-Khair karena merasa dieksklusi. Ia sempat ingin kembali ke Mekkah, tapi ditahan oleh kolega-kolega Arab-nya yang bersimpati pada pandangan-pandangan dan dedikasinya pada pendidikan Islam. Ia ditampung sementara oleh Umar Manqush, pemuka Arab non-Ba'alwi, seorang Kapiten Arab.

Lalu para simpatisan Surkati itu mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah yang pengelolaannya diserahkan kepada Surkati. Sekolah itu berada di Jati Petamburan dan dari sanalah cikal bakal berdirinya al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-Arabiyah. Organisasi ini mendapatkan pengesahan dari pemerintah kolonial pada 11 Agustus 1915, meski klaim resmi al-Irsyad menyatakan berdiri pada 6 September 1914, bertepatan dengan pembukaan sekolah di Jati Petamburan (Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, 2006: hlm. 4).

Namun, para Ba'alwi masih menolak pandangan-pandangan Surkati. Sebuah pertemuan al-Irsyad di kediaman Syekh Isa bin Badr diganggu sampai terjadi insiden kekerasan. Aparat keamanan sampai turun tangan. Tiga orang pengikut Surkati dikabarkan terluka (lihat: Huub de Jonge).

 ❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
     web.facebook.com/qsantri.eu.org

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS