Sidebar ADS

DIMENSI ANTARA NASIB DAN NASAB ‼️

DIMENSI ANTARA NASIB DAN NASAB

Kebanyakan dari kita sering menempatkan Tuhan hanya pada saat keadaan kritis atau ketika kita berduka. Misal, ketika menemui kegagalan atau kesusahan dalam mencapai sesuatu. Saat pekerjaan kita yang menghasilkan rupiah pas-pasan saja dan mungkin mendekati kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kita menggumam “Ya Allah, kok nasibku ngenes tho?”. Sapaan ke Tuhan sering kali berbentuk renungan atas nasib.

Kita sering berandai-andai ketika merenungi nasib yang berujung dengan menyalahkan Tuhan. “Mengapa nasibku jadi orang miskin ya Tuhan? Seandainya aku jadi orang kayakan aku bisa naik haji tiap tahun. Kita tidak berkaca pada apa saja yang telah kita lakukan selama ini sehingga kita mengalami nasib seperti itu. Padahal untuk apa nasib kita renungi?

Membandingkan adalah awal dari sebuah keluhan, tidak jadi masalah kalau kemudian membuat kita termotivasi untuk melakukan perubahan. Menjadi lebih rumit ketika keluhan malah membuat kita apriori kepada Tuhan.

Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja keras kita, ketekunan atau kemalasan kita, ketangguhan atau kerapuhan mental kita, ketenangan atau kegalauan hati kita, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiran kita.

Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaran kita selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwa kita menjalani jarak dari awal hingga akhir tugas kita yang ini, supaya kualitas penugasan atas kita meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.

Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusan kita sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.

Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Jadi masihkah kita akan terus meratapi nasib yang kita terima atau merenungi proses apa sajakah yang telah kita lakukan sehingga kita mendapatkan hasil seperti ini?

Kalau ternyata usaha kita melakukan perubahan nasib tidak kunjung berhasil, apa ada kemungkinan bahwa anak-cucu kita lah yang akan menikmatinya? Bukankah anak-cucu kita adalah kita juga, episode selanjutnya dari kita?

Nasib dan nasab bila diperhatikan, sebenarnya, keduanya mempunyai kesamaan kalau mau dipaksa-paksakan. Nasib itu garis hidup sedang nasab adalah garis keturunan.

Tidak sampai di sana, nasib konon bisa diketahui untuk rentang waktu tertentu, entah itu 1 jam, 1 minggu, bahkan dalam hitungan bulan. Pernah mendengar pernyataan seperti ini dari para ahli, "...nasib perusahaan itu akan gulung tikar dalam hitungan bulan," nah itu! Apakah ini ramalan? Bukan! Inilah apa yang disebut analisa.

Ramalan, itu hanya kata yang dipakai paranormal buat mengibuli si dungu. Padahal kalau dicermati kata si paranormal, itu semua hanya analisa semata. Namun, jauh dari itu sejatinya akal dan kehebatan analisa seseorang tak mampu menjangkau 'cara main' dari nasib, bahkan untuk 1 jam kemudian sekali pun.

Kemudian nasab, bermanfaat sekali sekiranya seorang dari sebuah klan keluarga mengetahui muasal garis keturunannya sejauh-jauhnya. Namun, sukar memang untuk mengetahui sampai 7 keturunan muasal dari sebuah garis keturunan. Kecuali jika terdokumentasi dengan baik. Rara-rata kita tahu muasal nasab hanya sampai ayah-ibunya kakek-nenek saja.

Bahwa bangsa yang baik dalam mendalami ilmu nasab adalah bangsa Arab. Nabi Muhammad SAW bahkan diketahui nasabnya sampai Nabi Ibrahim as, meski ini masih diperdebatkan kalangan ulama. Yang umum, moyang Nabi Muhammad SAW diketahui sampai Adnan, moyangnya yang ke-20.

Nasib dan nasab sama-sama memiliki dimensi waktu yang sama, waktu lampau (past time), sekarang (present) dan yang akan datang (future). Waktu lampau nasib, yakni apa yang sudah diperbuat. Waktu sekarangnya, apa yang sedang kita alami. Dan waktu akan datangnya, yakni apa yang belum kita alami. Sedang nasab, Past time-nya adalah moyang kita, present time-nya, adalah kita sendiri, dan future-nya adalah anak cucu kita kelak. Dahsyat, ternyata runtutan akan nasib-nasab memang ada kesamaan.

Pengetahuan tentang nasab membantu manusia untuk punya posisi yang tepat dalam mengambil keputusan hidup. Secara biologis, orang tua menurunkan nasab kepada anak-anaknya. Dari mereka sifat-sifat dan keahlian juga ada kemungkinan diwariskan ke generasi berikutnya.

Nenek moyang kita memberi perhatian lebih atas pertimbangan bibit-bebet-bobot. Hal ini karena mereka menginginkan kebaikan nilai-nilai terjaga sepanjang keturunannya nanti di masa depan. Ibarat menanam padi, harus tahu bibit yang bagus, ladang yang subur, dan perlakuan khusus semasa tandur agar menghasilkan tanaman terbaik.

❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
     web.facebook.com/qsantri.eu.org

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS