SEMOGA SAJA PARA MUHIBBIN BISA SADAR ‼️
Mengapa di Indonesia, kalau ada yang keturunan ke Arab-araban terus dipanggil Habib. Yang belum tentu kita cintai itu mencintai kita. Istilah Habib berarti yang dicintai sedangkan Muhibbin (yang mencintai).
Kalau dari segi arti bahasa, mengapa kita panggil orang Habib sementara belum tahu nasabnya dari mana? Kan lucu mencintai seseorang tapi belum tahu asal usulnya.
Apakah orang tua kita, guru-guru kita tak lebih dari seorang Habib? Karena begitu cintanya kita pada mereka. Apakah karena cuma orang tua dan guru-guru serta kiai kita bukan dari keturunan dzuriyah kanjeng Nabi SAW. Kalau kita tidak mencintai orang tua kita, guru-guru kita, kiai kita, bisa-bisa kita didera dengan kualat. Merekalah yang seharusnya wajib kita cintai dan kita muliakan.
Mengapa setiap orang kearab-araban yang belum faham benar asal usulnya, belum jelas nasabnya, apakah ada keturunan Nabi SAW atau bukan, lalu kita langsung gandrungi sampai cinta mati? Kita cium tangannya berkali-kali. Kita dengarkan petuahnya yang meleceng jauh dari ajaran Islam, kita laksanakan perintahnya yang bertentangan dengan syari'at. Kita manjakan dia, diidolakan, seakan-akan kita bertemu Kanjeng Nabi SAW, cinta mati kelewat batas.
Cuci otak ini yang perlu kita perhatikan. Masak kita harus patuh dan hormat kepada mereka yang belum jelas nasab dan keturunannya.
Sebelum adanya tesis KH Imaduddin Utsman Al Bantani di pondok-pondok pesantren kebiasaan memuliakan Habib itu seakan-akan hukumnya wajib. Sampai segitunya kalau ketemu orang yang bergelar Habib, dielu-elukan dan digandrungi. Coba orang tua kita, apakah pernah kita perlakukan layaknya seorang Habib? Orang tua apabila kita mencintainya, pasti orang tua akan membalas dengan cinta lebih dari yang kita berikan.
Bahkan ada yang beranggapan seorang yang bergelar Habib sebagai Al-quran berjalan. Kita uji dahulu ia benar-benar ada Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) atau keturunan genetik dari Kanjeng Nabi SAW, kalau tidak ada keturunan sama sekali, berarti kita selama ini salah orang. Kita bisa-bisa salah menilai orang.
Bahwa ahlul bait Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang yang membersamai Nabi SAW. Diantaranya adalah istri-istri beliau. Putra-putri beliau, dua cucu Nabi SAW (Hasan dan Husain), satu menantu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian mereka yang membersamai beliau sebagai sanak kerabat Nabi SAW. Atau orang-orang yang berada di lingkungan terdekat dan tentu sezaman dengan Nabi SAW. Para mufassir tak menyebut anak keturunan Nabi SAW yang hidup belakangan ini sebagai ahlul bait Nabi SAW. Zaman serba modern saat ini, siapa saja yang mengaku keturunan Nabi SAW bisa melakukan tes DNA, sebelum koar-koar di atas mimbar dakwah sebagai cucu Nabi SAW.
Setelah tes DNA hasilnya diumumkan di kalayak ramai, apakah yang bersangkutan keturunan Nabi SAW, atau bukan. Jangan terus membodohi masyarakat dengan menjual nasab untuk memperbaiki nasib. Untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan kaya raya.
Ya bolehlah seorang Habib kita hormati, asalkan semua yang mengaku sebagai Habib mau tes DNA. Berani tidak? Hasilnya diumumkan di masyarakat, itu baru adil.
Kita kadang cinta mati sama Habib, dan mengucilkan orang tua dan guru-guru kita. Padahal merekalah yang mengukir jiwa raga, mendidik dan merawat ketika sakit dan saat butuh pertolongan.
Kalau para Habib tidak berani tes DNA, jangan disanjung-sanjung, apalagi ajaran Islam yang disampaikannya, penuh dengan kata-kata kotor dan sebagai ujaran kebencian. Bisa di pastika cucu Nabi palsu.
Jangan sampai kita mencintai Habib melebihi cinta kita kepada bapak ibu, saudara dan guru-guru kita.
Mengapa sampai sekarang masih banyak orang mencintai Habib tanpa melihat asal usulnya. Padahal keturunan Arab tidak hanya berprofesi sebagai ulama. Banyak diantara para pendatang ini jadi pedagang, Guru, TNI, Polisi, pejabat di pemeritahan atau bahkan ada yang jadi penganguran.
Kita amati di lapangan pecinta Habib itu sudah tidak bisa berfikir rasional. Mosok orang yang mengaku sebagai Habib ketika menjadi gila, pezina, tetap kita ciumi tangannya sebagai bukti kecintaannya pada dzuriyah Nabi Muhammad SAW.
Perlu diluruskan lagi, Aswaja NU sepakat mencintai dzuriyat Rasullullah SAW itu wajib dan sama wajibnya membenci atau memerangi orang-orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi SAW tapi palsu.
Sering kita mengamati, kalau ada orang berbau Arab yang mengaku sebagai dzuriyah Nabi SAW tanpa jelas nasabnya. Terus langsung dipuja dan dimanja. Apa yang menjadi keinginannya dituruti. Dari sini kita mengambil sikap jangan berlebihan dalam memuja mereka. Maka jangan lah terlalu menyanjung seorang Habib melebihi sanjungan kita ke orang tua dan guru-guru kita serta kiai kita.
Siapapun orangnya, setinggi apapun gelar serta jabatannya, kok ngajari untuk merendahkan orang dengan alasan nasab, jangan diikuti. Kenapa, karena rasisme bukan ajaran dari Rosulullah SAW.
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁