Sidebar ADS

POLITIK IDENTITAS YANG ADA DI INDONESIA TERLAHIR DARI JANIN YANG EMBRIONYA ASAL IMIGRAN YAMAN ( HADRAMAUT )

POLITIK IDENTITAS YANG ADA DI INDONESIA TERLAHIR DARI JANIN YANG EMBRIONYA ASAL IMIGRAN YAMAN ( HADRAMAUT )  

Perjalanan dimulai dari Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi (disingkat Usman) menulis Kitab Minhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah (1889/1890)

Isinya :

1. 22 praktik bidah yang terlarang
2. Kritik terhadap perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial (1888)
3. Jihad rakyat Banten dianggap delusi dan ulama yang mendukungnya disebut pengikut setan
4. Doa khusus untuk Ratu Belanda Wilhelmina (1898)
5. Pujian terhadap pemerintah kolonial

Pertanyaan:

Bagaimana seorang ba’alwi ( pengaku keturunan Nabi ) bisa bekerja dan memuji penjajah Kristen?

Jawaban:

Kenyataan: beberapa ulama kooperatif dengan pemerintah kolonial.

Pergumulan dengan kekuasaan selalu ada dinamika.

Pandangan esensialis (etnis X bejat, ras Y mulia) tidak tepat.
 
Orang-orang Arab di Hindia Belanda ( di Indonesia masa penjajahan )

Berasal dari berbagai kawasan, termasuk Hadramaut

Semakin menonjol pada abad ke-19 dan 20

Membentuk koloni ( kelompok pengaku Dzuriyyah Rosul Habaib ) di berbagai kota mulai dari Batavia, Cirebon , Semarang sampai Surabaya ( pembentukan koloni Pengaku Dzuriyyah Rosul Habaib) diprakarsai oleh Mufti Batavia Ustman Bin Yahya dan  mendapat  rekomendasi dari  pemerintah kolonial Belanda ( Laporan sezaman yang cukup rinci tentang koloni-koloni Arab ini bisa dibaca dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Indonesia karya L.W.C van Den Berg, khususnya halaman 67-78 )

Pada waktu itu karena di Indonesia juga sudah datang pendatang dari China dan  karena terpengaruh oleh gagasan- gasan  modern dari orang-orang China maka lahirlah organisasi Hadramaut dengan nama,

Jamiat al-Khair:

Didirikan pada 1901

Dipimpin oleh kelompok Bin Shahab dan al-Mashur ( Habaib )

Membuka sekolah modern di Pekojan, Krukut, Tanah Abang, dan Bogor

Mengajarkan Alquran, agama Islam, dan pelajaran “sekuler”

Ahmad Surkati:

Diundang pada 1911 untuk menjadi inspektur pendidikan Jamiat al-Khair

Karena perkembangan sekolah Jamiat al-Khair makin pesat, dibutuhkan keseriusan dan perhatian yang lebih besar untuk terus mengembangkan mutu pengajaran. Pada 1911, diundanglah Syekh Ahmad Surkati, kelahiran Sudan ( bukan Habaib ) yang menerima pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah. Ia diangkat sebagai inspektur pendidikan di sekolah-sekolah Jamiat al-Khair.

Memiliki pandangan reformis yang memicu polemik

Memperbolehkan pernikahan habibah dengan  (non Habaib)

Menolak keharusan non-habib mencium tangan (habaib)

Salah satu pengikut anjuran Surkati adalah Omar Manqush, seorang Hadrami non-sayid yang aktif dalam pendirian Jamiat al-Khair. Surkati bahkan mengatakan panggilan sebagai gelar kehormatan tidaklah tepat karena baginya itu setara panggilan “Mijnheer” dalam Belanda atau “Monsieur” dalam Perancis (Huub de Jonge, Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, 2000, hlm. 153).

Keluar dari Jamiat al-Khair dan mendirikan al-Irsyad

Para simpatisan Surkati itu mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah yang pengelolaannya diserahkan kepada Surkati. Sekolah itu berada di Jati Petamburan dan dari sanalah cikal bakal berdirinya al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-Arabiyah. Organisasi ini mendapatkan pengesahan dari pemerintah kolonial pada 11 Agustus 1915, meski klaim resmi al-Irsyad menyatakan berdiri pada 6 September 1914, bertepatan dengan pembukaan sekolah di Jati Petamburan (Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, 2006: hlm. 4).

Perbedaan Pandangan:

Surkati vs kelompok ( habaib )

Perdebatan tentang adat-istiadat dan keistimewaan ( habaib )

Pernyataan itu diungkapkan di Solo pada 1913 dan itulah mengapa kadang disebut sebagai “Fatwa Solo” (Taufik Abdullah, dkk., Muncul dan Berkembangnya Faham-Faham Keagamaan Islam di Indonesia, 2008: hlm. 71)

Puncaknya: insiden kekerasan di kediaman Syekh Isa bin Badr

Kedatangan Ahmad Surkati memicu perpecahan di komunitas Arab di Hindia Belanda ( Hadramaut vs Non Hadramaut )  Perbedaan pandangan tentang adat-istiadat dan keistimewaan ( Habaib ) menjadi pemicu utama polemik.

Konflik Alawi-Irsyadi ( Habaib – Non Habaib )

Konflik kepentingan antara ba’alwi vs non-ba’alwi

Para sayid diizinkan dan dimungkinkan bergabung dan bahkan ada yang menjadi penyumbang dana, terutama Habib Abdullah bin Alwi Al-Attas, yang juga kecewa kepada Jamiat al-Khair. Ia menyumbangkan uang 60 ribu gulden (Deliar Noer, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, hlm. 64). Bahkan ada yang menempati posisi penting di al-Irsyad yaitu Abdullah bin Abu Bakar al-Habshi, yang menjadi presiden komite sekolah al-Irsyad yang pertama (Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942, 1999: hlm. 63).

Terjadi di antara kaum modernis Hadrami

Bermula dari perbedaan pandangan tentang privilese habib

Al-Irsyad tidak melarang habib bergabung

Munculnya ar-Rabithah al-Alawiyah memperuncing konflik

Kelompok habib menuduh al-Irsyad anti-pemerintah, Wahabi, Komunis

Konflik ini disebut “konflik Alawi-Irsyadi”

Ba Alawi merujuk pada pengaku keturunan Nabi dari Hadramaut

Kesimpulan:

Konflik Ba Alawi-Irsyadi lebih kompleks daripada sekadar perselisihan antara habib dan non-habib. Konflik ini dipicu oleh perbedaan pandangan tentang modernitas dan privilese habib.

Konflik Ba’alwi-Irsyadi di Indonesia:

Konflik meluas hingga ke isu Arab totok vs peranakan

bahwa pertentangan orang-orang Arab: di Indonesia berkaitan erat dengan semua kekacauan-kekacau­ an yang berada di Hadramaut. perbedaan­ perbedaan antara Arab peranakan dan ·Arab totok. Di antara dua golongan ini memang ada nuansa (perbedaan-perbedaan) tingkah laku, adat-istiadat dan lain-lainnya, sehingga Arab per­ anakan itu sadar atau tidak sadar bahwa dalam kehidupannya sangat berpengaruh dari keluarganya atau dari mana suku itu berasal. Mereka semua adalah bangsa Arab yang orientasinya ke Negeri Arab, menjun­ jung tinggi bangsa Arab dan melakukan tradisi-tradisi yang di­ warnai dari orang tuanya.

Muncul usaha mempersatukan keturunan Arab, seperti Indo Arabische Verbond dan Persatoean Arab Indonesia (PAI)

A.R. Baswedan, peranakan Hadrami non-habib, mendirikan PAI dan menyatakan Indonesia sebagai Tanah Air

AR. Baswedan bersama-sama bekerja di Sin Tit Po ·dengan Liem Koen Hian pendiri partai PTI, tetapi pada dirinya belum timbul ide untulG mendirikan partai seperti partainya Liem Koen Hian. Pada waktu itu pemikiran AR. Bas­ wedan tentang nasionalisme Indonesia belum matang. Bahkan AR. Baswedan sebagai pembela Al Irsyad segera gunakan harian beritanya di mana ia bekerja untuk membela Al Irsyad dan menyerang Ar Rabitah.( Suratmin, Abdul Rahman Baswedan “ Karya Dan Pengabdianya. 1989.Hlm: 50 )

Ketegangan antara kesetiaan pada Hadramaut atau Indonesia masih berlangsung

Hadramautisme’ dan Politik Identitas

“Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini,” kata Megawati Sukarnoputri pada 10 Januari 2017 dalam perayaan ulang tahun PDI Perjuangan.

“Betapakah si Dulah dan Amat dan Minah dan Maryam itu, kalau mereka malahan lagi hari-hari dan tahun-tahun dice­koki faham-faham kuno dan kolot, takhayul dan mesum, anti-kemajuan dan anti-kemoderenan, hadramautisme yang jumud-maha-jumud?” tulis Sukarno dalam surat bertanggal 18 Augustus 1936. ( Dalam Surat-Surat Islam dari Ende, himpunan korespondensi selama Sukarno dalam pembuangan di Ende )

Politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta

Anies: Dulu orangtua kami itu dulu pendiri Partai Arab Indonesia, yang Partai Arab Indonesia itu mendeklarasikan; satu, tanah airnya Indonesia. Dan mengatakan tanah air Indonesia di tahun ’34. Bapak-bapak ibu sekalian, orang Arab mengatakan tanah airnya Indonesia tahunnya ’34.

Anies benar bahwa pada 1934 (tepatnya 4 Oktober 1934) memang ada semacam pertemuan keturunan Arab, didominasi anak muda, yang menyatakan tanah airnya adalah Indonesia, bukan lagi Arab (lebih tepatnya: Hadramaut). Namun pada 1934 tidak ada yang namanya Partai Arab Indonesia (PAI). Yang ada adalah Persatoean Arab Indonesia. PAI sebagai partai baru muncul dalam Kongres PAI IV yang berlangsung pada 18-25 April 1940.

Kelupaan tentu dapat dimaklumi. Ini hal biasa. Namun agar tidak menyepelekan perbedaan antara “Persatuan” atau “Partai”, perlu diterangkan bahwa perubahan dari “Persatuan” menjadi “Partai” memuat cerita yang tidak sepele. Banyak hal terjadi dari 1934 sampai 1940, baik di luar masyarakat keturunan Arab maupun di dalam masyarakat keturunan Arab. Di antara sesama keturunan Arab sendiri berlangsung dinamika yang tidak ringan.

Dinamika ini terkait banyak isu, namun salah satunya adalah perdebatan alot yang tidak tuntas pada 4 Oktober 1934: orientasi keturunan Arab itu harus diarahkan pada tanah asal, homeland, yaitu Hadramaut ataukah kepada Indonesia?

Kearaban, atau kehabiban tidaklah berwajah tunggal

Bahaya politik identitas yang dimanfaatkan oleh “proficient artisans of terror”

Kesimpulan:

Konflik Ba Alawi-Irsyadi di Indonesia merupakan bagian dari pergulatan identitas dan politik yang lebih kompleks. Politik identitas yang dikipasi oleh polarisasi politik dapat membahayakan persatuan bangsa.

~~بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب~~  web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS