Sidebar ADS

PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU

💐🌹 𝐊𝙧𝙖𝙢𝙖𝙩 𝐆𝙖𝙣𝙙𝙪𝙡 🌹💐
      ﷻبسم الله الرحمن الرحيمﷻ


Perlu diketahui, jika persentuhan dimaksud terjadi antara dua orang yang memiliki hubungan "mahram" maka ulama sepakat bahwa persentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu, Sebagaimana mereka sepakat bahwa persentuhan kulit jika terjadi secara tidak langsung ada ha’il ( penghalang ), tidak membatalkan wudhu, baik keduanya memiliki hubungan mahram atau tidak.

Perbedaan berawal dari perbedaan dalam memahami makna. "laamastum nisa" dalam ayat :
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang suci.”
(An Nisa: 43).

Dalam bahasa Arab, kata “laamastum"
di merupakan lafadh musytarak, yaitu lafadh yang memiliki makna bermacam-macam. "Al-laamastum" dapat diartikan "menyentuh, dan dapat diartikan berhubungan badan".

Dikalangan sahabat senior, sayyidina Ali, Ibnu Abbas, dan Hasan bin Ali memilih makna pertama, sementara Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Sya’bi memilih makna kedua.

Ulama yang mengartikan al-laamastum dengan “menyentuh”, menyatakan bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu, sedangkan ulama yang mengartikannya dengan “berhubungan badan”, menyatakan bahwa persentuhan saja tidak membatalkan wudhu, sebab yang membatalkan adalah berhubungan badan. 

Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perbedaan pendapat imam mazhab dan pengikutnya dalam menghukumi persentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, termasuk istri.

Imam Abu Hanifah, Ahmad dan para pengikutnya menyebutkan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpegangan pada hadits riwayat Aisyah :
"Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah dari kasurku. Maka aku pun mencarinya, lalu tanganku mendapati bagian telapak kakinya yang sedang berada di dalam masjid, dan kedua telapak kaki beliau dalam posisi tegak lurus (dalam posisi sujud).”   (Hr Muslim).

Hadits di atas secara jelas menyatakan ketidak-batalan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, Aisyah menyentuh tlapak kaki Nabi, tetapi beliau melanjutkan shalatnya, Jika persentuhan kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu maka Nabi akan membatalkan shalatnya lalu mengulangi wudhunya.

Di lain sisi, Oleh Imam Syafi’i dan para pengikutnya (ulama) menegaskan bahwa persentuhan kulit tersebut dapat membatalkan wudhu, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada makna dzahir Surat an-Nisa ayat 43 di atas, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.” Mereka mengatakan, makna "hakiki" dari kata “al-laamastum" adalah menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazi-nya adalah berhubungan badan. Selama perkataan bisa diartikan dengan makna hakiki, maka tidak boleh diartikan dengan makna majazi, kecuali jika tidak mungkin menggunakan makna hakiki.

Kaitanya "Muhrim & Mahram" , kedua istilah ini yang berbeda definisi secara hukum fiqih. Pembahasan ini akan bermuara terhadap ijtihadi imam Safe'i menyentuh istri menyebabkan batal wudhu.

👉Muhrim adalah keadaan orang yang sedang berihrom ketika haji dan umroh setelah seseorang mengambil miqot dan mengucapkan niat umroh/haji.
👉Sedangkan Mahram adalah orang yang haram dinikahi.

Banyak salah kaprah dalam penggunaan istilah mahram terhadap istri...,,
👉Apa alasannya kalau megang istri kok batal wudhu? Wong istrinya digauli saja boleh kenapa megang itu batal wudhunya?

Sekali lagi definisi Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam
👉 “Yang haram dinikahi itu namanya mahram, jadi justru istri itu namanya ajnabiyah (orang lain) makanya boleh dinikah".
👉“Kalau mahram malah tidak boleh dinikah maka "membahasakan" istri (sebagai) mahram itu keliru".

Karena istri itu "ajnabiyah" maka konsekwensinya membatalkan wudhu jika bersentuhan dengan suami pun sebaliknya.

Syech Imam Syafi'i dan ulama dari kalangannya berpendapat, bahwa siapa yg menyentuh lawan jenisnya tanpa alat (penghalang, sarung tangan) maka batal wudhunya. Di sisi lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu, Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan ajnabi (orang lain), sudah kita bahas diatas. Dasarnya tafsir ayat 43 surat an-Nisa... Perhatikan tanda petik (" ").
وإِن كنتم مرضى أوْ على سفر أَو جآء حد منكم من الغآئط أو " لَٰمَسْتُم ٱلنِّسَآءَ"  فلمْ تجدوا۟ مآء فتيمموا۟...
"Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh "perempuan" , kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah.... "
Kata laamastum dalam " aulaamastum nisaa" ditafsirkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai menyentuh perempuan, secara dzahir.

 Berbeda dari kedua pendapat diatas, "Imam Malik dan para pengikutnya (ulama malikiyah)" memberikan rincian; jika persentuhan itu diikuti dengan syahwat maka membatalkan wudhu, tetapi jika "tanpa syahwat, tidak membatalkan".

Mereka (para ulama) mencoba menggabungkan dan mencari titik
temu antara hadits-hadist yang di jadikan sandaran oleh kelompok pertama, dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kelompok kedua. 

Kemudian mereka menyimpulkan
bahwa persentuhan kulit yang disertai syahwat dapat membatalkan wudhu, berdasarkan ayat tersebut, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat, berdasarkan nash dalil yang dimaksud.

Demikian pendapat para ulama
tentang hukum persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Setelah mencermatinya, dapat disimpulkan bahwa semua pendapat memiliki argumentasinya masing-masing. 

Hanya saja, untuk kehati-hatian dalam masalah ibadah, pendapat Imam Syafi’i dan para pengikutnya yang menyatakan batalnya wudhu karena persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, layak untuk dipegang bagi kita yang melimpah ruah air di negeri ini. 

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa perbedaan semacam ini merupakan bukti kekayaan khazanah keilmuan umat Islam, dan bukan merupakan ajang perselisihan & perpecahan.

Khilafiah (perbedaan pendapat ahli fikih) diatas alias masalah furu'iyah adalah masalah klasik yang tidak relevan lagi untuk kita pertentangkan. Biasanya persoalan ini muncul dan sengaja dimunculkan karena adanya ambisi kelompok dan klaim kebenaran dari pihak yang berkepentingan. 

Jika benar semata-mata untuk mencari kebenaran ilmiah, sesungguhnya harus didasari pemahaman yang memadai tentang agama;  bahwa masalah furu'iyah ini adalah persoalan alternatif yg masing-masing pihak tentunya punya argumentasi untuk menjadi pegangan.Karenanya, prinsip saling tolong-menolong dalam mengamalkan hal-hal yang disepakati, dan saling toleransi dalam menjalankan hal-hal yang diperselisihkan patut dikedepankan

*Keterangan kitab Fathul Mu'in*


Wallohu aklamu bimurodih.....

Setajam2nya pisau lebih tajam perkataan
dan umpatan yang sangat menyayat hati      *اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد*             ━━❖✨www.qsantri.com✨❖━━
*┏━━❖•ஜ°🕌﷽🕌°ஜ•❖━━┓*
    *💚NAHDLATUL 'ULAMA💚*   
 *┗━━❖•ஜ°🇮🇩NU🇮🇩°ஜ•❖━━┛*

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS