Sidebar ADS

ANTARA AGAMA DAN NEGARA ITU SATU

   ANTARA AGAMA DAN NEGARA ITU SATU

Relasi Agama dan Negara merupakan isu besar dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia. Isu ini mendapat perhatian para pemikir politik, agama dan kebudayaan secara sangat serius dari zaman ke zaman. Persoalan utamanya adalah siapakah yang harus berkuasa untuk mengatur kehidupan masyarakat/rakyat: Institusi Agama atau atau ideology Negara?. Di Eropa, sekitar tiga abad yang lalu, perdebatan mengenai ini berlangsung sangat keras dan menimbulkan malapetaka kemanusiaan untuk masa yang cukup panjang. Bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya memilih untuk membagi kerja keduanya : Agama untuk urusan individu, dan Negara untuk urusan publik. Di dunia muslim, perdebatan isu ini terjadi pasca keruntuhan system Khilafah (1923). 

Di Indonesia, menjelang kemerdekaan tahun 1945, isu relasi Agama dan Negara ini diperdebatkan para pendiri bangsa dalam suasana yang acapkali mencekam. Perdebatan berlangsung panjang, berlarut-larut dan melelahkan. Masing-masing wakil kelompok masyarakat yang terlibat dalam perdebatan itu mengerahkan segenap argumentasinya. Sebuah kompromi akhirnya dicapai. Pancasila sebagai ideology Negara dan UUD 1945 sebagai landasan Konstitusionalnya. 

Pancasila sebagai dasar negara dipandang telah merepresentasikan bentuk hubungan paling ideal antara Agama dan Negara. Dengan begitu sebuah consensus nasional telah tercapai bahwa Indonesia bukanlah Negara Agama, bukan Negara teokrasi, tetapi juga bukan Negara sekular. Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Agama menjadi landasan etis, moral dan spiritual bagi bangunan social, ekonomi, kebudayaan dan politik Negara bangsa dalam rangka mewujudkan kadilan social bagi seluruh warga negaranya, tanpa diskriminasi atas dasar apapun juga.

Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut agama-agama dan kepercayaan yang telah lama hadir di wilayah Negara Republik ini, sebelum menjadi merdeka, bahkan secara bersama-sama kemudian memperjuangkan kemerdekaannya dengan segenap miliknya dan mempertaruhkan hidupnya. Seluruh sila dan pasal-pasal dalam Konstitusi ini bukan hanya tidak bertentangan melainkan juga sesuai dan seiring sejalan dengan visi dan misi agama. Para pemeluk agama meyakini bahwa Agama sejak awal dihadirkan untuk misi pembebasan manusia dari segala bentuk system sosial yang diskriminatif, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan kedamaian, persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Ini semua merupakan nilai-nilai agung, fundamental dan universal. Ia adalah dambaan semua orang di muka bumi ini dengan latarbelakang sosial dan keyakinan apapun. 

Prinsi-prinsip kemanusiaan di atas merupakan norma-norma yang diajarkan oleh seluruh agama dan etika kemanusiaan. Agama adalah ruh dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bagian yang inherent dari ajaran teologis itu, maka tidak seorangpun secara prinsip baik keseluruhan maupun sebagiannya patut menolak, mengingkari atau bahkan merusaknya. Pengabaian atau bahkan menentangnya adalah merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip agama. Oleh karena itu, setiap orang bertanggungjawab atasnya dan umat (bangsa) berkewajiban melindunginya. 

KHILAFAH AJARAN ASWAJA, VALID-KAH?

Aksi Tolak Perppu Ormas dan Paradoks HTI, saat HTI f p i mengadakan serangkaian aksi menolak Perppu Ormas, saya mengatakan bahwa sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa HTI lahir dari gerakan klandestein di masa Orde Baru. Mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana bawah tanah tanpa legalitas. Sistem organisasi HTI yang sangat rahasia bukti mereka sejak awal beradaptasi dengan aktivitas tanpa legalitas. Bagi internal organisasi, pencabutan badan hukum tidak banyak berpengaruh. Bagi HTI menggugat Perppu Ormas belum darurat. HTI menikmati legalitas mereka selama 10 tahun (2006 -  2017) dengan terdaftar di Kesbangpol Kemendagri sebagai bonus. 

Tanpa legalitas, HTI tetap gigih berjuang mewujudkan mimpinya. HTI menginisiasi 3 lembaga mantel baru: LBH Pelita Umat, Komunitas Royatul Islam (Karim) dan Multaqa Ulama Aswaja. Multaqa Ulama Aswaja adalah forum yang dibuat oleh Lajnah Khas Ulama (LKU) HTI. LKU HTI terbentuk sekitar tahun 2006 dengan ketua Ust. Musthafa Ali Murthado seorang anggota senior HTI yang lumayan menguasai kitab kuning. Dia yang pertama kali menyusun kutaib berisi maqalah ulama tentang Khilafah yaitu kutipan-kutipan perkataan para ulama tentang Imamah/Khilafah. Dibantu oleh Yasih Muthohhar (Serang Banten), Ahmad Junaidi alias Gus Juned (Jakarta), Hisyam Hidayat (Jombang), Abdul Karim (Nganjuk), Nurhilal Ahmad (Majalengka) dan anggota HTI yang berlatar belakang santri lainnya, LKU HTI melakukan penetrasi ke pesantren-pesantren. 

Penetrasi LKU HTI cukup berhasil di Priangan Timur. HTI berhasil masuk ke pesantren-pesantren di Majalengka, Kuningan, Ciamis, Banjar, Tasikmalaya dan Garut. Keberhasilan LKU HTI di Priangan Timur sangat menggembirakan DPP HTI. Priangan Timur menjadi pilot project bagi dakwah HTI di kalangan santri. Fakta ini mengingatkan kita kembali akan sejarah gerakan DI/TII dimana Priangan Timur menjadi basis. Masuk akal jika kalangan pesantren di sana mudah terkoneksi dengan ide-ide radikal yang dibawa HTI. Harapan HTI, mereka bisa merekrut para ajengan untuk menjadi anggota HTI. Memang sulit karena bagaimanapun akar sejarah keradikalan HTI dengan DI/TII berbeda. Mereka punya kesamaan emosi, punya musuh bersama, NKRI. Bagi DI/TII Priangan Timur rumah mereka tidak mungkin diberikan begitu saja kepada HTI secara cuma-cuma. Tapi setidaknya HTI mempunyai teman seperjuangan untuk melawan Indonesia. 

LKU HTI memanen hasil dakwah pertamanya waktu HTI mengadakan Konferensi Khilafah Internasional 2007 di Gelora Bung Karno. Beberapa Kiai tampak hadir di acara tersebut. Dua tahun kemudian HTI menyelenggarakan Muktamar Ulama Nasional (MUN) 21 Juli 2009 di Istora Senayan Jakarta. Acara ini khusus untuk ulama, ajengan, kiai dan ustadz seluruh Indonesia. Panitia membuat barcode dan name tag khusus kepada setiap peserta untuk menghindari peserta yang tidak diundang (terdata). Dalam majalah mereka Al-Wa’ie no. 108, Agustus 2009 hal, 63 disebutkan MUN dihadiri oleh 7.000 ulama termasuk dari luar negeri seperti India, Bangladesh, Pakistan, Turki, Mesir, Yaman, Lebanon, Palestina Suriah, Sudan dan Inggris. Yang perlu diketahu ulama-ulama dari luar negeri tersebut adalah anggota Hizbut Tahrir. Mereka diperintahkan Amir Hizbut Tahrir untuk datang ke Jakarta agar terkesan di mata ulama Indonesia bahwa perjuangan HTI diakui ulama dunia. 

HTI menutupi acara tersebut dengan nama peringatan Isra’ Mi’raj. Amir Hizbut Tahrir memberi sambutan melalui rekaman suara yang kemudian diterjemahkan. Yang menarik Amir Hizbut Tahrir dalam sambutannya mengatakan (mengancam) bahwa Hizbut Tahrir akan menghukum pihak-pihak yang mengabaikan dan menghambat pendirian khilafah di Indonesia. Artinya seandainya HTI berhasil mendirikan khilafah, maka pihak-pihak dalam pemerintah Indonesia serta pihak-pihak keagamaan yang menentang pendirian khilafah akan mendapat hukuman oleh pemerintah khilafah. (Al-Wa’ie no. 108, Agustus 2009). Acara ini menjadi bukti keberhasilan HTI mengumpul ulama seluruh Indonesia dalam satu agenda politik yang para ulama itu sendiri tidak mengetahuinya secara detail. 

HTI semakin percaya diri. Mereka terus menerus mengunjungi pesantren-pesantren. Akan tetapi para kiai dan santri lama kelamaan semakin mengenal apa, siapa dan bagaimana HTI. DPP HTI melalui tangan LKU menjadikan kiai pesantren sebagai saluran penggalangan opini dan dukungan kepada pendirian khilafah. Mayoritas pesantren berpaham Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Mereka berafiliasi ke NU. HTI sadar mereka berbeda bahkan berlawanan secara diametral dengan Aswaja NU. 

Aswaja NU menganut paham aqidah Asy’ariyah sedangkan HTI mencelanya. Aswaja NU mengadopsi fiqih 4 madhzab terutama Syafi’iyah, adapun HTI membentuk madzhab sendiri (madzhab tahririyah). Madzhab fiqih HTI menolak ijma ulama, adat, mashlahah mursalah, istihsan dan istishab. Mereka mengambil qaul Amir Hizbut Tahrir apabila tidak ditemukan hukum dalam al-Qur’an, Hadits, Ijma Sahabat dan Qiyas. menghindari. Dalam tasawuf Aswaja NU mengadopsi pemikiran Al-Ghazali dan Al-Junaidi. Aswaja NU menerima tarekat sebagai jalan ruhani menuju Allah swt. Sebaliknya HTI menolak tasawuf dan tarekat. Menurut HTI, tasawuf dan tarekat biang kemunduran umat Islam. 

Saat yang sama HTI mengakui tanpa dukungan ulama pesantren, khilafah mereka selamanya menjadi mimpi di siang bolong. Sebab itu HTI menunda membahas masalah perincian aqidah, fiqih dan tasawuf ketika berkunjung ke pesantren-pesantren. Mereka mengalihkan perhatian kiai dengan membicarakan masalah-masalah umat Islam seperti masalah kemiskinan, kriminalisasi, seks bebas, kenaikan harga BBM, BPJS, dan sebagainya. Sampai pada puncak pertama pembicaraan yaitu penting khilafah sebagai solusi problematika umat. Lagi-lagi HTI terbentur dengan makna khilafah yang mereka perjuangkan. HTI sadar khilafah yang mereka perjuangkan sangat spesifik dimana khalifahnya dari kalangan kader terbaik Hizbut Tahrir (Amir Hizbut Tahrir), khilafah yang menerapkan konstitusi (dustur) hasil susunan Amir Hizbut Tahrir, khilafah yang berdiri dengan kudeta tanpa pemilihan secara bebas dan sukarela oleh umat. 

LKU HTI menutup rapat spesifikasi khilafah yang diinginkan HTI karena pasti ditolak para kiai. Para kiai Aswaja NU memahani khilafah/imamah dengan makna general sebagaimana yang tercantum di kitab-kitab kuning. Pembahasan pokok dari bab Khilafah/Imamah dalam kitab-kitab turats adalah nashbul imam (mengangkat pemimpin). Bisa dilihat di kitab-kitab turats sbb: Tafsir Imam Qurthubi: Al-Jaami’ li Ahkamil Qur’an jiz 1 hal 264-265;  Imam Nawawi: Syarah Shahih Muslim juz 6, hal 291; Raudhatul Thalibin wa Umdatul Muftin, juz 3, hal 433; Imam ‘Alauddin al-Kasaniy: Bada’iush Shanai’ fi Tartibis Syarai, jiz 14 hal 406; Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbaliy: Tafsirul Lubab fi ‘Ulumil Kitab, juz 1, hal 204; Ibnu Hajar al-Haitamiy: Ash- Shawaa’iqul Muhriqah, juz 1, hal 25; Imam al-Hafidz Zakaria al-Anshari: Fathul Wahhab bi Syarhi Minhajith Thalibin, juz 2, hal 268; Imam Fakhruddin ar-Razi: Mafatihul Ghaib fi at-Tafsir, juz 6, hal 57 dan 233; 

Imam Abul Qasim an-Naisaburi, Tafsir an-Naisaburi, juz 5, hal 465; Asy-Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani: Hawasyi asy-Syarwani, juz 9, hal 74; Syaikh Sulaiman bin Umar al-Bajairimi: Hasyiyah al-Bajayrimi  ala al-Khatib, juz 12, hal 393; Ibnu Hazm: Maratibul Ijma, juz 1 hal 124; Ibnu Katsir: Tafsirul Qur’anil ‘Azhim jiz 1 hal 221; Imam Umar bin Ali al-Hanbali ad-Dimasyqi: Tafsirul Lubab fi ‘Ulumil Kitab, juz 1 hal 204; Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi: Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf ‘ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hanbal. Juz 16, hal 60 dan 459; Al-Allamah Asy-Syaikh Musthafa bin Sa’ad as-Suyuti ad-Dimasyqiy al-Hanbali: Mathalibu Ulin Nuha fil Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18, hal 381; Sayyid Husein Afandi: al-Husun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, hal 189. 

Dan masih banyak lagi kitab kuning lainnya yang bermaknai khilafah/imamah dengan nashbul imam secara umum, tidak spesifik seperti khilafah yang diperjuangkan oleh HTI. Makna khilafah/imamah yang termaktub dalam kitab-kitab kuning itulah makna yang diadopsi oleh Aswaja NU. Para kiai pesantren memahani khilafah juga demikian sehingga mereka tidak mempermasalahkan bentuk negara dan sistem pemerintahan karena apapun bentuk negara dan sistem pemerintahan asal ada aktivitas nashbul imam maka ia termasuk khilafah. NKRI tentu saja khilafah karena di NKRI ada kegiatan nashbul imam yang dikenal dengan pemilihan Presiden. Pemilihan Presiden tercakup dalam keumuman makna khilafah/imamah. 

Justru khilafah dengan makna spesifik yang dibuat HTI tidak ada dalam kitab-kitab para ulama Aswaja. Dapat dipastikan khilafah dengan spesifikasi yang diinginkan HTI tidak ada di al-Qur’an dan hadits. Coba HTI tunjukkan ayat al-Qur’an dan hadits yang mensyaratkan khilafah harus berdiri dengan metode kudeta (thalabun nushrah)! Coba HTI tunjukkan ayat al-Qur’an dan hadits yang mensyaratkan khalifah harus dari kader terbaik Hizbut Tahrir! Coba HTI tunjukkan ayat al-Qur’an dan hadits yang mensyaratkan khilafah wajib mengambil konstitusi susunan Amir Hizbut Tahrir. Spesifikasi khilafah HTI menunjukkan syahwat politik kelompok mereka. Dan itu bukan ajaran Aswaja. Jadi khilafah HTI bukan ajaran Aswaja. 

Melalui Multaqa Ulama Aswaja yang diselenggarakan LKU HTI serentak di beberapa daerah dengan mengusung tema besar Khilafah Ajaran Aswaja, HTI melakukan penyesatan opini serta mengaburkan makna khilafah menurut ulama Aswaja yang terdapati dalam kitab-kitab mereka. Langkah HTI ini termasuk kejahatan intelektual karena mereka tidak amanah/tidak jujur membawa ilmu para ulama. HTI agaknya mengalami simalakama, kalau mau jujur membawa amanah ilmiah para ulama Aswaja, maka gerakan politik HTI kehilangan makna karena NKRI sendiri sudah sesuai dengan ajaran Aswaja, sebaliknya kalau HTI berbohong dengan menyembunyikan makna khilafah yang sebenarnya seperti yang dimaksud para ulama Aswaja, maka dakwah mereka hanya tipu daya yang cepat atau lambat akan terbongkar selain akan mendapat murka Allah swt. Na’udzubillahi min dzalik. 

Allohumma hadza Indonesia baladan Aminan makmuron Kamilan Alassunah Wal jamaah ...Aamiinn..🤲🤲🤲

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS