Mencari Kitab Suci Ke Barat: Antara Integritas Dan Solidaritas
Penulis: KH Imaduddin Utsman Al-Bantani
Sun Go Kong lahir di Gunung Hwakuo: Gunung Bunga-bunga dan Buah-buahan. Dari sebuah batu yang menerima saripati matahari dan bulan selama ribuan tahun. Ia tinggal bersama kawanan monyet kemudian dihormati setelah menemukan Gua Shuilien : Gua Tabir Air. Ia berkelana dengan rakit ke wilayah-wilayah keramat lalu menemui dan menjadi pengikut Bodhi, salah satu guru Budha. Ia mempelajari seni bertutur-kata dan budi pekerti.
Ia mendapat tugas mendampingi Biksu Tong Sam Cong untuk mencari kitab suci ke barat. Ia ditemani oleh siluman babi bernama Chu Pat Kai dan siluman air bernama Wu Ching. Ia mempunyai tongkat sakti yang bernama Ruyi Jingu Bang.
Gus Rumail mirip Sun Go Kong. Lahir di Dekat Gunung Genuk: Gunung Randu dan Pepaya. Ia berjalan mencari kitab sezaman ke Negeri Tihamah. Bedanya, Sun Go Kong berhasil mendapatkan kitab suci itu, Gus Rumail Nampaknya tidak. Tak ada rotan akarpun jadi: Tak mas bungkal diasah: Tak Kayu jenjang dikeping. Tidak ditemukan kitab sezaman tentang Ubaidillah, kitab sezaman lain bisa dibawa. Kitab sezaman dengan Ubaidillah namun tak ada nama Ubaidillah. Atau bisa saja kitab sezaman yang ada nama Ubaidillah, tetapi maksud sezamannya bukan sezaman Ubadillah, tapi sezaman dengan penulisnya, bisa abad 10,11 atau 15 hijriah.
Sun Go Kong memang cerdik. Senang sekali mengangkat tongkat sakti Ruyi Jingu Bang-nya. Ia menguasai ilmu berubah wujud. Ia mahir jurus Jindoyun (bersalto di atas awan). Namun kadang sinerginya berlebih. Untuk itu Biksu Tong memberinya sebuah bandana (cekak rambut) agar ia dapat terkontrol. Jika Sun Go Kong lepas control, maka kepalanya akan tersa sakit.
Walau tanpa terang-terangan, Gus Rumail telah memberikan PHP tentang kitab sezaman. Dengan memperlihatkan beberapa manuskrip dari jarak jauh kepada public, seakan pencariannya ke Barat berhasil. Renda-renda harapan tersulam bagi Ba Alawi dan pendukungnya. Asa yang masih berasap ditiup lagi. Kaum protelariat berkaca-kaca. Kaum capital tersenyum, walau mereka faham. Penulis tidak tega menginsafinya. Perasaan jangan dipermainkan. Kemarin penulis sematkan gelar “historian humanis”. Waktu itu jarak masih terlalu dekat. Persiapan adaptasi jiwa diperlukan. Namun, hari ini, berjalannya waktu telah berhasil memberi pelajaran untuk suatu keadaan. Itulah sunnatullah.
Jika semua benar-benar siap, mintalah secarik daluwang bertanda-tangan, kita duduk menghitung kepastian. Jika menyerah, berhentilah meniupkan angin surga. Ilmu pengetahuan mempunyai teori dan metodologi. Dari sana, siapapun yang memahaminya akan mengetahui muara dari algoritma induktif penelitiannya, walau belum ditelusuri sampai ujungnya. Apalagi pariwisata diskursus ini telah sedayung lagi ke ujung. Semua bintang dilangit telah menunjukan angin akan membawa layar ke mana. Tidaklah adil jika kesimpulan yang telah hadir di kepala lalu diterjemahkan dalam kalimat yang berbeda. Sebaik apapun tujuannya.
Apalagi, jika karena itu, Cu Pat Kay sampai berani membiaskan ilmu pasti menuju kera. Dan Wu Ching membawa-bawa sejarah Musailamah al-Kadzab. Pejamkanlah mata lalu beristigfar. Langkahkan qalbu menuju telaga kebenaran. Lalu, rasakanlah segarnya makrifat dalam keheningan.
Waallahu Aklamu bissowab.....