Sidebar ADS

HUKUMNYA RISYWAH/JUAL BELI JABATAN

         
              ❁ بِسْـــــــمِ اللَٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيـمِ ❁
              
         السَّــــلَامُ عَلَيْـــكُمْ وَرَحْمَـــةُ اللّٰهِ وَبَــــرَكَاتُــــهُ
         الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ، 
              وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ 

"Hukum Jual-Beli Jabatan Termasuk Risywah, Berikut Penjelasan Dari Mimbakdil Ulama"

Praktik jual-beli jabatan (risywah) telah menjadi rahasia umum. Setiap jenjang jabatan bila ingin naik tingkat dalam suatu pemerintahan, akan dikenakan "mahar". Demikian pula dalam dunia politik, "mahar" itu harus dibayar agar meloloskan keinginan si calon untuk tampil menjadi pejabat, dalam suatu pemilihan kepala daerah.

Praktik jual-beli jabatan menjadi hangat, ketika seorang kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Nganjuk. Kasus ini, seolah menambah deretan panjang kepala daerah yang dijerak KPK karena kasus jual-beli jabatan, suap, dll.

Bagaimana sesungguhnya, praktik jual beli jabatan dan praktik rasuwah (risywah/tindak korupsi) dalam pandangan hukum Islam? Berikut penjelasan ulama:

"Islam Mengecam Praktik Suap"

Ulama sepakat atas keharaman praktik suap atau uang sogok alias rasuwah (risywah) dalam bentuk apapun. Sejumlah dalil agama jelas mengecam praktik suap sebagaimana Al-Baqarah ayat 188 berikut ini:

Al-Quran Surat al-Baqarah-ayat-188
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
 “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui,” (Al-Baqarah ayat 188).

Selain Al-Quran, Rosululloh SAW juga mengecam keras tindakan tercela ini. Kecaman atas praktik suap ini dimaknai oleh para ulama sebagai sebuah larangan sebagaimana riwayat sejumlah perawi berikut ini:

عن عبد الله بن عمرو قال لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

 “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rosululloh SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap,” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Praktik suap ini tidak hanya melibatkan penerima dan pemberi suap. Praktik ini juga memasukkan di dalamnya pihak perantara keduanya. Artinya, pihak ketiga yang menjadi perantara juga termasuk orang yang mendapat kecaman Rosululloh SAW sebagai keterangan Mimbakdil Ulama:

وقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ والرَّائِشَ وهو السَاعِي بَيْنَهُمَا

“Rosululloh SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan, yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara antara keduanya,” (Rujukan dari kitab: Is‘adur Rafiq wa Bughyatus Shadiq, Surabaya, Al-Hidayah, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 100).

"Perbuatan Tercela dalam Islam Tapi kok marak Dilakukan?

Sampai di sini jelas bahwa praktik suap adalah dosa besar dan perbuatan tercela dalam syariat Islam. Dengan keterangan ini jelaslah bahwa tidak ada istilah suap syari atau uang sogok syari karena pada prinsipnya risywah itu adalah haram sebagaimana tidak ada zina, judi, pembunuhan, dan kezaliman syari.

Tetapi ada kondisi di mana sistem lembaga atau sistem sosial yang memaksa anggota masyarakat untuk melakukan praktik suap atas sebuah layanan atau imbalan tertentu yang sebenarnya tidak dibenarkan juga dalam hukum positif yang berlaku.

Masalah ini juga yang salah satunya diangkat dalam Muktamar Ke-31 NU di Asrama Haji Donohudan Kabupaten Boyolali pada 29 November-1 Desember 2004 pada Sidang Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Waqi’iyyah, yaitu perihal penyuapan dalam penerimaan PNS.

Para muktamirin ketika itu dihadapkan pada pertanyaan bagaimana hukum memberi dan menerima sesuatu agar diterima sebagai PNS dan semacamnya?

Para kiai peserta muktamar ketika itu menjawab bahwa pemberian sesuatu untuk menjadi PNS dan semacamnya adalah risywah (suap).

Pada dasarnya risywah itu hukumnya haram, kecuali untuk menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka tidak haram bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima.

أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطي لاضطراره للتوصل لحق بأي طريق كان

“Atau (ia memberikan suap) dimaksudkan agar hakim memberikan putusan hukum yang menguntungkannya secara benar, atau dimaksudkan untuk mencegah kedzoliman, atau dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, maka yang fasik hanya yang mengambil (suapnya) saja.

Sedangkan yang memberi tidak berdosa karena terpaksa agar bisa mendapat haknya dengan jalan apapun,” (Rujukan dari kitab 👉"Is‘adur Rafiq wa Bughyatus Shadiq, Surabaya, Al-Hidayah, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 100).

"Praktik Risywah dalam Penerimaan CPNS"

Dari sejumlah keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik suap untuk penerimaan CPNS, lembaga negara, atau lembaga swasta tidak dibenarkan menurut Islam. Hanya saja, ketika sebuah sistem memaksa individu masyarakat untuk melakukan praktik suap, maka masyarakat dibolehkan dengan terpaksa (darurat) melakukan suap untuk mendapatkan hanya berupa layanan dan lain sebagainya yang merupakan haknya.

Dalam konteks ini adalah bahwa yang memberikan suap telah memenuhi kriteria dan formasi yang ditetapkan oleh panitia penerimaan CPNS, karyawan baru pada lembaga negara atau lembaga swasta.

Yang perlu dilakukan dalam kondisi ini, menurut hemat kami, adalah reformasi birokrasi, perbaikan administrasi yang terbuka dan transparan, mengubah mental korup yang bobrok, dan tentu saja menguatkan sistem administrasi dengan kontrol dan evaluasi berkala. Ini membutuhkan kerja sama semua pihak untuk mewujudkan sistem birokrasi yang bersih dan terbuka, bebas pungli dan suap. Demikian jawaban singkat kami dalam pandangan hukum Islam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya, kalian akan berusaha untuk memperoleh kepemimpinan (jabatan) padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat.” (HR. al-Bukhari)

Derajat Hadits: Shahih
HR. al-Bukhari: 6615  -  an-Nasa’i: 4140 dan 5290  -  Ahmad: 9415 dan 9774
Kitab Riyadh Al-Salihin: 676

Dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu berkata: Aku masuk ke tempat Nabi Shalallahu'alaihi wa Sallam bersama dua orang dari keponakanku/kaumku, salah seorang dari dua orang ini berkata: "Ya Rasulullah, berikanlah kepada kami jabatan sebagai amir (penguasa negara) untuk memerintah 
sebagian daerah yang dikuasakan oleh Allah 'Azza wa Jalla pada Tuan."  

Orang yang satunya pun berkata demikian, lalu Beliau Shalallahu'alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya demi Allah, kami tidak akan menyerahkan pekerjaan/jabatan ini bagi siapapun yang memintanya atau siapapun yang tamak/berambisi untuk mendapatkannya.” (Muttafaq 'alaih)

Derajat Hadits: Shahih
HR. al-Bukhari: 6616  -  Muslim: 3402
Kitab Riyadhu Al-Salihin: 679

Wallohu aklamu bimurodih...

Setajam2nya pisau lebih tajamperkataan
dan umpatan yang sangat menyayat hati
*اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد*             ━━━━❖✨www.qsantri.com✨❖━━━━

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS