Sidebar ADS

KERAGUAN TERHADAP ISI DARI MAKNA KITAB

  Kitab Nasab Abnau Al-Imam fi Al-Mishri       wa Al-Syam Al-Hasan wa Al-Husaein            Masih Diragukan

Awalnya kitab ini Abnau al-Imam fi al-Mishri wa al-Syam al-Hasan wa al-Husein pernah didiskusikan dengan KH. Imaduddin Usman, awal tulisan tentang penelitian ilmiah nasab habib di Indonesia, dan sebelum jadi diskursus hangat sekarang ini. Sebab berkali-kalinya menegaskan bahwa tidak ada yang lebih kuat soal kitab nasab kecuali kitab yang ditulis abad 5, abad 6 dan abad 7 Hijriah.

Memang betul muallif kitab Abnau al-Imam itu Ibnu Thobathoba hidup hampir sezaman dengan Ubaidillah yang diduga putera Sayyid Ahmad al-Muhajir yaitu tahun 400 an hijriah, dan ini awal keyakinan kita untuk membantah penelitian KH. Imaduddin Usman soal terputusnya nasab Habaib Indonesia karena penelitiannya menjelaskan bahwa Sayyid Ubaidillah atau Abdullah tidak pernah tercatat di kitab nasab abad 5, 6 dan 7 hijriah. Kita didiskusikan secara detil fokus kitab Abnau al-Imam tersebut. Hasilnya KH. Imaduddin Usman telah mengecek validitas kitab tersebut secara detil, lalu beberapa hari berselang kitab Abnau al-Imam itu dinyatakan masih diragukan validitasnya, sebab tertolak secara fakta sejarah, bahkan ada kesan terjadi pencantolan nama Ubaidillah di putera puteranya Sayyid Ahmad Muhajir tersebut, itu dilakukan oleh orang yang menulis kitab nasab di abad 11 dan abad 12 Hijriah.

Alasan kuatnya ada keterputusan antara kitabnya Ibnu Thobathoba dengan kitab yang ditulis abad 11 dan 12 Hijriah, karena ada indikasi pencantuman nama Ubaidillah di anaknya Ahmad Muhajir, padahal Ibnu Thobathoba tidak sama sekali menulis bahwa Ubaidillah putera Sayyid Ahmad Muhajir.

Tiba-tiba muncul tulisan dari Pengasuh Pondok Pesantren Al Anshory Purworejo, saudara Muhammad Luthfi Rahman, bahwa Kitab Abnau al-Imam fi al-Mishri wa al-Syam al-Hasan wa al-Husein adalah kitab yang diinginkan oleh KH. Imaduddin Usman, padahal kitab itu sudah di tangannya serta dibahasnya bersama sama dengan saya pada bulan lalu di tahun 2022. Muhammad Luthfi Rahman ini saya anggap sudah ” ketinggalan kereta “. Karena ulama Banten sudah bahas kitab itu jauh-jauh.

KH. Imaduddin Utsman, dalam waktu 
yang terpisah menjelaskan bahwa kitab 
ini judulnya palsu karena kitab ini tertulis dengan judul “Abnau’ al- Imam” namun isinya bukan semata kitab tersebut namun telah ditambahi kalimat para penyalin dan pentahqiq. Yusuf jamalulail, sang pentahqiq, memberi judul kitab ini adalah “Al-Aqdul Masi Fi Ansabi Ali Baitinnabawi (2)”.

Pengarangnya palsu karena seakan-akan seluruhnya karangan Ibnu Thobathoba, padahal, di dalamnya ditambahkan oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180), Abul Aon As-sifarini (1188 h.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H) dan Yusuf jamalullail (L.1938-?) yang kemudian mencetaknya dan memberi judul baru dengan nama ” al-Aqdu al-Masi fi Ansabi Ali Baiti al-Nabawi (2)”. Mereka berempat menambahkan didalamnya sesuai nama-nama yang ada pada zamannya.

Tahunnya palsu karena kitab ini ditulis ulama yang wafat tahun 199 H. sebagaimana disebut dalam kitab ini pada halaman 17 namun kemudian dijudul ditulis wafat 478 H.

Isinya palsu karena isinya tidak sesuai judulnya. Judulnya kitab “ Abnau al-Imam” tapi isinya penuh tambahan dari penyalin dan muhaqiq. Termasuk yang disebut Muhammad Lutfi Rahman bahwa dalam kitab tersebut ditulis Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah, itu adalah palsu bukan tulisan Ibnu Thobathoba pengarang kitab Abnau al-Imam, tetapi tulisan penyalin atau pentahqiq yaitu Yusuf Jamalullail, seorang habib turunan Ba’Aalawi yang lahir tahun 1938 M.

Jadi kitab yang disebut Muhammad Lutfi Rahman, pengasuh Pesantren di Purworejo menjadi syahid bagi nasab Ba’Alawi itu tertolak secara ilmiyah. Sampai saat ini Muhammad Lutfi Rahman harus lebih gigih lagi untuk mencari kitab nasab primer yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah.

Ilmu nasab termasuk ke dalam ilmu sejarah, dalam merekonstruksi suatu peristiwa masa lalu, dan membuktikan nama nama tokoh apakah ia historis atau ahistoris seorang sejarawan perlu menerapkan metode sejarah.

Terdapat empat tahap dalam metode sejarah, yaitu heuristik (pencarian sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah).

Mencermati diskursus soal nasab Habaib di Indonesia, tidak perlu dengan cara emosional, atau dengan kekerasan. Ini murni pembahasan ilmiah. Jangan lalu ditarik-tarik ke ranah lainnya hingga ini jadinya bias bukan ilmiah lagi. Jika ada hujjah atau rujukan kitab nasab yang menguatkan Sayyid Ubaidillah sebagai putera Ahmad al-Muhajir dijelaskan secara ilmiah dan harus dipertanggungjawabkan, saya kira ada thesa pasti ada anti-Thesa begitu kira-kira konsep dialektika Georg Willem Frederick Hegel, pemikir yang jujur adalah pemikir yang mempertahankan kebenaran dengan landasan ilmu. Karena apapun itu masih harus tunduk pada kebenaran yang berlandaskan ilmu.

Penulis Oleh : Kyai Hamdan Suhaemi
Pengembang ( qsantri.com )

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS