Sidebar ADS

MINHUM SOK PEDULI MASALAH REMPANG

Kadrun Sok-sokan Peduli Kasus Rempang

Konflik antar warga dan pemerintah kembali terjadi. Kali ini berlokasi di pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau. Lantas, apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik tersebut?

Awalnya pulang Rempang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Pada 2001 silam pemerintah membuat pengumuman membuka peluang bagi investor untuk berinvestasi di pulau-pulau terluar. Salah satunya di Rempang.

Pertanyaannya, kenapa pengumuman itu dibuat? Karena masih banyak pulau-pulau terluar yang potensial namun tidak digarap secara maksimal.

Awalnya tidak ada investor yang tertarik dengan penawaran pemerintah itu. Hingga pada 2004 PT Makmur Elok Graha menyatakan minatnya untuk berinvestasi di sana. Tidak tanggung-taunggung, PT Makmur Elok Graha siap mengeluarkan uang sebesar Rp 381 triliun kala itu.

Di tahun yang sama urusan kontrak dengan pemerintah daerah juga kelar. Namun rencana pembangunan Rempang Eco City tersebut tidak kunjung dikerjakan.

Pemerintah daerah setempat kemudian mempersilahkan investor lain untuk masuk ke Pulai Rempang. Padahal izin pengelolaannya masih milik PT Makmur Elok Graha. Benar-benar pemerintah daerah yang gak ada akhlak. Hehehe..

Ibarat kita punya motor. Motor tersebut sudah dijual sama orang, proses pembayaran sudah dilakukan, tinggal diambil oleh si pembeli. Eh motor itu malah dijual lagi ke orang lain.

Nah, pada 2023 ini PT Makmur Elok Graha sudah mulai mau mengerjakan proyeknya tersebut. Konsekuensinya warga di Rempang harus direlokasi.

Namun proses relokasinya juga gak ngosong. Masyarakat diberi kehidupan yang layak. Seperti mereka diberi rumah berukuran 45 plus tanah seluar 500 meter persegi.

Di samping itu, masyarakat diberi uang saku sebesar Rp 1,2 juta per bulan sampai rumah mereka selesai dibangun dan diberi uang lagi sebesar Rp 1,2 juta untuk sewa rumah, sementara rumah masih dikerjakan.

Awalnya masyarakat yang tinggal di pulau Rempang setuju akan hal ini. Namun ada provokator dari luar yang turut campur sehingga memicu terjadinya konflik.

Hal ini terungkap dari 43 perusuh yang ditangkap. Sebagian besarnya bukan penduduk pulau Rempang asli tapi ada yang berasal dari Padang, Riau dan Palembang.

Mirisnya, setelah dilakukan tes urin terhadap para perusuh tersebut, 5 orang dinyatakan positif Narkoba. Tiga positif mengonsumsi ganja dan 2 orang positif mengonsumsi sabu. Ngeri...

Wajar bila kemudian mereka brutal banget menyerang aparat keamanan yang berjaga. Ternyata pikirannya sudah gak sehat lagi efek dipengarui oleh Narkoba.

Nah, tanpa mengerti persoalan yang sebenarnya, banyak juga orang yang sok-sokan peduli terhadap kasus Rempang ini. Di antaranya adalah PA 212.

Organisasi tidak resmi yang terdiri dari para Kadrun tersebut baru-baru ini (20/9) menggelar demo bertajuk 'Aksi 209 Bela Rempang' di Patung Kuda Jakarta Pusat.

Ada pun tuntutan dari para pendemo itu adalah hentikan pembangunan kawasan Rempang Eco City. Hahaha.... Enak banget kalau ngomong.

Nanti kalau investor tidak mau masuk ke Indonesia, menyalahkan pemerintah lagi dengan mengatakan pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja.

PA 212 pun mengatakan, ada pelanggaran HAM di kasus konflik Rempang tersebut.

Kadrun sok-sokan ngomongin HAM. Padahal dulu doyang banget mempersekusi orang lain. Sampai-sampai warga Ahmadiyah beserta masjidnya diserang berkali-kali oleh FPI.

Lagian juga, yang punya kewenangan untuk mengatakan ada pelanggaran HAM atau tidak adalah Komnas HAM. Bukan Komnas Kadrun. Sekarang Komnas HAM sama sekali belum mengatakan peristiwa di Rempang ada unsur pelanggaran HAM-nya.

Lalu, yang jadi pertanyaan di sini, apakah benar PA 212 serius membela warga Rempang?

Tidak ferguso. Orang-orang ini mana peduli dengan nasib saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air. Terbukti mereka pernah secara terang-terangan menghalangi kebaktian, memaksa para suster menutup gereja dan sekolah Sang Timur, hingga menyerang jemaat gereja HKBP.

Lantas, apa tujuan sebenarnya mereka kembali demo? Menaikkan posisi tawar.

Ingat, Pemilu sudah dekat. Siapa tahu ada yang mau menampung mereka untuk dijadikan timses. Lumayan jadi timses, minimal dapat jatah nasi bungkus. Hehehe.....

Karena semua sudah tahu kok bagaimana rekam jejak PA 212 ini. Nuansa politiknya lebih kental dibandingkan yang lainnya. Termasuk mereka lebih kenceng main politik daripada membela agama dan ulama.

Mau bukti?

Pada Pilgub DKI 2017, PA 212 menjadi timses tidak resmi Anies. Pada Pilpres 2019, PA 212 menjadi pendukung Prabowo.

Bahkan ada beberapa pentolannya menempati posisi strategis di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi kala itu. Seperti Slamet Maarif yang ditunjuk sebagai Wakil Ketua BPN dan Yusuf Martak didaulat sebagai Dewan Pengarah BPN.

Dan Pada Pilgub Jabar 2018, PA 212 mendukung pasangan Sudrajat-Syaikhu.

Sementara, Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin pernah dengan tegas mengatakan, dirinya bersedia jadi Cawapres Anies. Novel menjamin Anies akan didukung oleh 130 juta rakyat Indonesia jika dia berpasangan dengan mantan Gubernur DKI tersebut.

Jadi sekental-kentalnya susu kental manis masih lebih kental lagi nuansa politik PA 212.

Nah untuk Pilpres 2024 mendatang memang belum ada satu pun Capres yang mau menampung kelompok ini sebagai tim pemenangan. Padahal mereka butuh tunggangan.

Sekarang ini PA 212 ibarat 'mancing di air keruh' saja yakni memanfaatkan kekisruhan di Rempang untuk mencari panggung. Siapa tahu Novel Bamukmin dkk suatu saat nanti dilirik oleh Anies, Cak Imin dan Surya Paloh untuk jadi timses di Koalisi Perubahan.

Pengembang ( qsantri.com )

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS