Sidebar ADS

WARISAN ILMU DARI SANG MAHA GURU

    Warisan Ilmu Dari Sang Maha Guru

Perhatian Imam Abu Hanifah kepada muridnya, ketika murid memerlukan harta ia infakkan hartanya. ketika murid memerlukan ilmu, ia wasiatkan ilmunya.

Imam Abu Hanifah, ia dilahirkan tahun 80 H di Kufah,  pada masa bani Umayyah dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang mengendalikan pemerintahan di Damaskus.

Kebiasaan Imam abu Hanifah setiap tahun menunaikan Haji, ia sempatkan untuk bertemu dengan sahabat Nabi s.a.w. yang diberi umur panjang seperti Malik bin Anas, Abdullah bin Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Ma'qil bin Yasar, r.hum. 
Abdullah bin Anis, Abu Thufail dan belajar kepada para sahabat Nabi tersebut.

Abu Hanifah belajar 18 tahun kepada pamanya Hammad yang mana pamannya tersebut murid dari imam Nafi’ (murid Ibnu Umar).

Hammad juga belajar kepada  imam Qatadah yang merupakan murid Said bin Musayyib (menantu Abu Hurairah). 

Dari Imam Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dengan sanad keilmuan yang sampai pada Rasulullah.

Sebab, gurunya itu juga merupakan murid dari Ibrahim Nakha’i dan al-Sya’bi, yang mana keduanya adalah murid tiga ulama besar al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Talib.

Imam Abu Hanifah hidup di dalam keluarga saudagar kaya raya, beliau meneruskan usaha keluarganya jual beli barang-barang keperluan pokok seperti makanan dan pakaian, sangat kayanya hingga murid-murid yang belajar kepadanya dari kalangan yang tidak mampu untuk bekal beliau "gaji" infak.

Paras Imam Abu Hanifah tampan mencerminkan ketampanan orang-orang Persia, ucapannya fasih, santun, argumentasinya kuat, sangat cerdas, berwibawa, pendiam, selalu berpikir dan kata-katanya bagaikan mutiara. Demikian gambaran para ulama sezamannya tentang beliau.

Abu Hanifah adalah salah satu ulama yang memiliki ramai sekali murid.

Ramai dari murid-murid beliau yang menjadi ulama besar pada zamannya.
Di antara jajaran murid-murid beliau adalah Abu Yusuf bin Ibrahim.

Abu Yusuf, kelak dikemudian hari menjadi salah satu guru imam Shafei Muhammad bin idris di Kuffah.

Abu Yusuf ketika kecil bukanlah dari keluarga berada. Ketika disuruh bapaknya bekerja, dia malah mampir ke majelis Abu Hanifah, untuk mendengar Imam Abu Hanifah mengajar.

Hal ini tidak luput dari pengamatan Abu Hanifah. Bahkan tak jarang untuk menyambung hidup sehari-harinya Abu Yusuf sampai memungut kulit semangka yang berserakan, sekadar mengganjal perutnya yang belum terisi.

Suatu ketika setelah selesai majelis Abu Hanifah, ayahnya bertanya: "Kamu dari mana?".

Abu Yusuf menjawab:

"Dari majelis Abu Hanifah" 

"Kamu jangan lagi ke sana, Abu Hanifah kaya, berkecukupan, sedangkan kita makan saja susah, kamu harus kerja." 
 Kata si Ayah.

Abu Yusuf pun mulai jarang ke majelis Abu Hanifah.
Hal itu ternyata diperhatikan oleh Imam Abu Hanifah, ketika bertemu Abu Yusuf, beliau bertanya, "Kamu kenapa tidak kelihatan lagi di majelis?"

"Saya harus kerja, Syekh,” jawab Abu Yusuf, “Keadaan saya tidak memungkinkan hadir majelis."

"Berapa pendapatanmu sehari? Saya akan memberimu lebih besar, hadirlah di majelis ilmu”

Lalu Imam Abu Hanifah memberinya 100 dirham.

Setiap Abu Yusuf kehabisan wang belanja, beliau selalu memberikan 100 dirham, tanpa bertanya apakah wang Abu Yusuf sudah habis.

Ketika ayahnya meninggal, ibunya meminta Abu Yusuf untuk bekerja, lalu Abu Hanifah berkata :

“Jangan halangi Abu Yusuf dari majelis, nanti aku yang menanggung keperluannya.

"Aku melihat Abu Yusuf makan Falujaj bil fustuq" (sejenis kueh paling mewah zaman itu yang merupakan hidangan di istana)

Ketika Imam Abu Hanifah berfirasat mendekati ajalnya, beliau memanggil seluruh murid-muridnya, beliau membagikan seluruh harta yang beliau miliki tanpa meninggalkan suatu pun kecuali selembar baju yang beliau kenakan.

Di antaranya ada yang mendapatkan kitab, beberapa harta, dan lainnya.

Namun, salah satu dari murid Imam Abu Hanifah, yakni Imam Abu Yusuf tidak mendengar khabar tentang kejadian tersebut, kerana beliau sedang berada di luar Majelis.

Ketika sudah pulang, ia pun kaget melihat para murid Imam Abu Hanifah  yang sedang bubar dari kediaman beliau. Imam Abu Yusuf pun bertanya pada salah satu temannya yang dia temui. 

“Apa yang telah aku lewatkan?”

“Tadi, Guru telah membagikan seluruh hartanya pada murid-muridnya.” Kata temannya tersebut.

Abu Yusuf tercengang dengan apa yang telah dikatakan oleh murid tersebut. Lalu, dia pun berinisiatif untuk pergi mengunjungi gurunya.

Ketika sudah berada dihadapan Imam Abu Hanifah, Abu yusuf berakata:
“Wahai Syeikh, engkau telah memberikan seluruh harta peninggalanmu kepada murid-muridmu. Maka dari itu, saya meminta nasihat yang akan selalu saya bawa sampai akhir hayat saya.”

Imam Abi Hanifah tertegun sesaat. Melihat wajah sedih Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah memanggil dan berbisik lirih :

إن للخفاش مني كمني الرجل

“Kelelawar punya mani sebagaimana maninya laki-laki.”

Dalam riwayat lain dengan redaksi kalimat :
 “Al-wad wadul manniyyi kal maniyyi rojuli.”
Sperma kelelawar seperti halnya sperma seorang lelaki.

Abu Yusuf pun tercekat dengan wasiat yang diberikan kepadanya. Lama ia memikirkan apa maksud Imam Abu Hanifah berkata demikian. Namun semakin lama dipikirkan, Abu Yusuf semakin tak mengerti.

Akhirnya beliau berbaik sangka saja dan tetap mengingat-ngingat pesan yang disampaikan oleh guru mulia.

Sepeninggal Imam Abu Hanifah, murid-murid beliau ramai yang menjadi ulama besar berpengeruh di zamannya. Namun tidak dengan  Abu Yusuf.

Abu Yusuf menjadi ulama di sebuah desa terpencil yang jauh dari perkotaan. Sehingga nama beliau pada waktu itu belum begitu masyhur halnya murid Imam Abu Hanifah yang lain seperti Al Waqi, Hasan Syaibani.

Waktu berganti, dinasti Umayyah tumbang beralih ke Dinasti Abbasiyah dan harun ar Rasyid khalifah ke 5 dari Bani Abbasiyah.

Berbeda halnya dengan Dinasti Umayyah yang menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan, maka Dinasti Abbasiyah menjadikan Baghdad (Irak) menjadi pusat pemerintahan.

Harun ar Rasyid memiliki seorang permaisuri yang terkenal sangat cantik pada zaman-nya yang bernama Zubaidah.

Suatu hari, Harun ar-Rasyid melakukan sebuah perjalanan jauh yang memakan waktu cukup lama, sehingga terpaksa beliau meninggalkan istana, lamanya perjalanan beliau kerana suatu tugas sebagai khalifah.

Sehingga beliau pun merasakan kerinduan dan kekhawatiran terhadap permaisuri tercintanya.

Kekhawatiran pun menjelma menjadi kenyataan. Ketika telah pulang, beliau tercengang ketika melihat kasur yang ditempati permaisuri tercintanya terdapat noda seperti sperma.

Seketika seluruh istana gempar dengan kasus tersebut. Lalu didatangkanlah seluruh ulama dari seluruh negeri. Segala pendapat telah diutarakan. Namun, tidak ada satupun jawaban yang berhasil memuaskan.

Khalifah Harun ar Rasyid pun semakin gelisah.

Sampai salah seorang dari ulama yang telah dipanggil mengutarakan pendapatnya :
 “Wahai Khalifah! Jikalau engkau ingin menyelesaikan permasalahan ini, maka panggillah Imam Abu Yusuf. Beliau adalah salah satu dari murid Imam Abu Hanifah.”

Imam Abu Yusuf pun dipanggil menghadap, beliau pun dipaparkan tentang duduk masalah yang sedang terjadi.

Ketika sudah memahami akar dari permasalahannya, beliau pun meminta izin untuk melihat kamar permaisuri.

Imam Abu Yusuf mengedarkan padangan kesekitar kamar, dan pandangan beliau terfokuskan pada atap ruangan kamar yang ber-rongga. 

Abu Yusuf teringat "wasiat"  gurunya, ketika teman-temannya dapat harta dan ia hanya dapat 'wasiat' kelelawar.

Apa perlunya kelelawar?.

Tapi karena adab dengan guru beliau ridha terhadap bagiannya kala itu.

Dan ketika beliau melihat bagian dalam dari atap tersebut, beliau mendapati seekor kelelawar yang berukuran besar yang mana air spermanya menetes dan membasahi sekitarnya.

Abu Yusuf pun turun dan berkata pada  Khalifah:

“Wahai Khalifah, haiwan inilah yang membasahi kasur permaisuri. Dan cairan yang menempel pada kasur tersebut dapat dipastikan bukan milik seorang lelaki.”

Harun ar Rasyid pun takjub dengan ilmu yang dimiliki oleh Imam Abu Yusuf, atas kejadian tersebut Khalifah mengangkat beliau sebagai Qadhi.

Imam Abu Yusuf semakin terkenal dengan menjadi Qadhi (hakim negara).

Suatu ketika ia diundang khalifah untuk makan, di-hidangkanlah kueh dan manis-manisan.

Abu Yusuf bertanya kepada khalifah: "Apa nama makanan ini?"

"Falujaj bil Fustuq"
Ujar Khalifah.

"Abu Yusuf pun tertawa"

Khalifah bertanya: "Kenapa engkau tertawa Syeikh?"
Khalifah mendesak apa gerangan yang membuatnya tertawa.

Akhirnya Abu Yusuf bercerita.

Abu Yusuf berkata bahwa ia tertawa, terngiang perkataan gurunya Imam Abu Hanifah kepada ibunya ketika kecil : 

"Aku melihat Abu Yusuf makan Falujaj bil Fustuq".

Setelah Abu Yusuf menjelaskan kisah tersebut, 
Khalifah Harun ar Rasyid berkata: "sesunggunya ilmu akan mengangkat derajat dan memberi manfaat di dunia dan akhirat." Khalifah juga berkata, "semoga Allah merahmati Abu Hanifah.

Beliau melihat dengan pandangan akal nuraninya sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan pandangan mata kepalanya."

(Falujaj bil fustuq, kueh yang terbuat dari tepung, air, dan madu. Ini adalah makanan yang tidak dimakan kecuali oleh para khalifah di masa itu)

Nama lengkapnya Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al Ansari al Jalbi al Kufi al Baghdadi, lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H, wafat Baghdad 182 H.

Dari nasab ibunya, beliau masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah, Sa’ad al Anshari r.a.

Dinukil dari kitab Warasatul Anbiya, karya Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim

بسم الله الله الله الله الحق
لا إله إلا الله محمد رسول الله في كل لمحة ونفس عدد ما وسعه علم الله  
صلوا على حبيب الله! ﷺ ❕
جَزَىٰ ٱللَّهُ عَنَّا سَيِّدَنَا مُحَمَّدَاً ﷺ مَا هُوَ أَهْلُهُ. يارب صل علی محمد، وافتح من الخير کل مغلق 
‏الجمال في الكمال

Wallohu aklamu bissowab...........

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS