Sidebar ADS

MENSANADKAN KLAIM DAN ILMU THORIQOH KLAN BAALAWI DI INDOMESIA

Menyoal Klaim Sanad dan Ilmu Thariqah Ba'alawi

Banyak keluarga Baalawi yang mengatakan bahwa leluhur mereka mulai Faqih Muqaddam hingga Sayyid Ahmad Al-Muhajir semuanya adalah ulama' besar dengan level Mujtahid Muthlaq, namun mereka tawadhu' sehingga tetap bermadzhab dengan Madzhab Syafi'i.

Cerita itu bertentangan dengan beberapa fakta sejarah, bahkan bisa jadi bumerang bagi status keabsahan nasab mereka sendiri. Berikut fakta-fakta itu:

Fakta Pertama, tentang keilmuan leluhur Baalawi dalam sejarah. Dalam Kitab Al-Istizadah Min Akhbaris Sadah (halaman 62), Habib Ali bin Muhsin Assegaf mengutip pernyataan kekek beliau, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, mufti Hadramaut yang wafat tahun 1375 H: 

"Sedikit saja dari leluhur Baalawi yang berintisab pada ilmu, mereka (ulama' ahli sejarah) tidak memuji keilmuan kecuali pada Faqih Mudaddam dan Shahib Mirbath. Mereka tidak menyebut ayah Faqih Muqaddam selain dengan sebutan "alim shufi". Juga tidak ada data yang menunjukkan bahwa Al-Muhajir luas ilmunya. Mereka juga tidak menyebut Ubaidillah, Muhammad (bin Ubaidillah), Ali Al-'Uraidhi dan Ali Khali' Qasam sebagai ahli ilmu sama sekali". 

Maksud Habib Abdurrahman, masing-masing leluhur Baalawi itu tidak dikenal sebagai ulama' besar di zamannya, apalagi sampai derajat Imam, lebih-lebih Mujtahid Muthlaq. 

Setiap zaman ada ulama' yang menulis biografi ulama' besar di zamannya, apalagi sekelas ulama' Mujtahid Muthlaq, apalagi ahlulbait. Sepertinya Habib Abdurrahman tidak menemukan kitab sezaman yang mencatat semua leluhur Baalawi sebagai ulama' besar dengan level Mujtahid Muthlaq. 

Dalam hal ini beliau berusaha obyektif menilai berita terkait leluhur Baalawi yang merupakan leluhur beliau sendiri. Beliau berbicara apa adanya sesuai kajian ilmiah beliau, itu bukan berarti kurang menghormati leluhur beliau sendiri. 

Artinya, beliau tidak fanatik dan tidak mudah menerima berita pujian walaupun untuk leluhur sendiri. Bahkan beliau tidak mau cerita yang tidak jelas sumbernya itu dibiarkan saja, khawatir dianggap mengarang cerita untuk mengunggulkan leluhurnya sendiri. 

Menurut Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, orang pertama di Hadhramaut yang alim adalah Syaikh Salim bin Abdul Karim Bafadhal. Beliau pergi ke Iraq untuk belajar dan menetap di sana selama empat puluh tahun sehingga orang-orang mengira beliau telah meninggal dunia. Setelah pulang ke Hadhramaut beliau pun mengajar, dan diantara murid beliau adalah Sayyid Alwi Ammil Faqih (Adwar At-Tarikh Al-Hadrami halaman 193-199 yang dinukil Kitab Al-Istizadah halaman 622). 

Keterangan ini menunjukkan bahwa keluasan ilmu Ammil Faqih yang merupakan salah satu guru Faqih Muqaddam didapat dari Syaikh Salim yang belajar ke Iraq, bukan dari ayah beliau sendiri.

Lebih lengkapnya berikut beberapa kutipan dari pernyataan-pernyataan Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf tentang keilmuan leluhur Baalawi:

Keilmuan keluarga Baalawi itu lemah sejak generasi awal di Hadhramaut, kebanyakan guru-guru Faqih Muqaddam itu bukan dari kalangan Baalawi (Al-Istizadah halaman 67).

Lemahnya keilmuan leluhur Baalawi mungkin dikarenakan mereka terlalu gengsi sebagai keluarga Quraisy, sehingga tidak mau mengalami kehinaan di jalan menuntut ilmu. Makanya sedikit dari mereka yang alim dan mengajar (Al-Istizadah halaman 68).

Sepertinya ini mirip dengan yang ada di Indonesia. Kami melihat kebanyakan Baalawi gengsi untuk belajar kepada ulama' pribumi. Sebelum Syaikh Abdullah Awadh Abun (Malang) mendirikan Pesantren Darut Tauhid dan Habib Hasan Baharun (Pasuruan) mendirikan pesantren Dalwa, sedikit sekali anak-anak Baalawi yang belajar di pesantren, karena hampir semua pesantren di Indonesia diasuh oleh ulama' pribumi.  Di Hadhramaut, orang pertama yang meniti jalan tasawwuf adalah Syaikh Sa'id bin Isa Al-Amudi dan Faqih Muqaddam (Al-Istizadah halaman 972).

Banyak juga literatur yang menyebutkan bahwa Faqih Muqaddam bertashawwuf sejak ditegur oleh Abu Madyan, hingga kemudian berbai'at thariqah pada Abu Madyan melalui murid Abu Madyan. Nah, kalau tashawwufnya saja dimulai dari Faqih Muqaddam, lalu dari mana sanad Thariqah Alawiyah yang katanya turun temurun dari luluhur Baalawi itu?

Dalam sejarah thariqah, setiap mursyid dalam silsilah sanadnya memiliki banyak murid dan menunjuk salah satu muridnya sebagai khalifah yang akan melanjutkan kemursyidan. Kalau Faqih Muqaddam adalah orang pertama di Hadhramaut yang meniti jalan tashawwuf dan berthariqah, bagaimana bisa Habaib sekarang mengklaim bahwa sanad thariqah Faqih Muqaddam didapat turun temurun dari leluhur beliau?

Maka, menurut saya, akan lebih aman kalau sanad Thariqah Alawiyah itu menggunakan sanad Abu Madyan, yang berarti Thariqah Alawiyah adalah cabang dari Thariqah Madyaniyah. 

Sebagian orang menyebut madzhab leluhur Baalawi adalah Syi'ah dan ditentang oleh Habaib. Namun ada yang aneh. Generasi awal leluhur Baalawi di Hadhramaut tidak ada yang menamakan anaknya dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Orang pertama yang menamakan anaknya dengan Abu Bakar dan Umar adalah Habib Ahmad, putra Faqih Muqaddam yang wafat pada tahun 706 H. (Al-Istizadah halaman 111).

Kesimpulannya, berdasarkan pernyataan-pernyataan Habib Muhammad Asy-Syathiri dan Habib Abdurrahman Assegaf di atas, klaim bahwa sanad ilmu dan thariqah Baalawi itu dari leluhur secara turun temurun hingga Sayyidina Ali adalah tidak ada dasar yang valid. 

Tentu kita tidak boleh menganggap mereka mengarang atau berbohong, tapi mereka hanya mengira saja; mereka mendapat sanad hingga Faqih Muqaddam, kemudian mereka mengira bahwa beliau mendapat sanad dari ayah atau paman beliau dan seterusnya. Makanya di awal saya hanya sebut mereka suka tasahul (menyepelekan) dalam hal riwayat, bukan suka berdusta. 

Fakta Kedua, tentang pernah diragukannya nasab Al-Muhajir oleh sebagian penduduk Yaman. Cerita ini cukup masyhur dan dikutip oleh Habib Abu Bakar Al-Adani bin Ali Al-Masyhur dalam kitab beliau yang berjudul "Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir wa Abna'uhu Ats-Tsalatsah" di halaman 30-31. 

Ketika di Yaman tersebar isu meragukan nasab Sayyid Ahmad Al-Muhajir, maka berangkatlah Sayyid Ali bin Muhammad bin Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir ke Makkah untuk berhaji. Beliau membawa rombongan 100 orang jamaah haji. Mereka mampir di Iraq dan Sayyid Ali meminta itsbat nasab pada asyraf di Iraq. Beliau pun mendapat istbat disasksikan oleh 100 orang itu. Kemudian kembali mendapat itsbat di Makkah Al-Mukarramah. Setelah pulang ke Yaman, maka 100 orang saksi itu menceritakan semuanya pada penduduk Yaman.

Fakta ini kontradiktif dengan klaim bahwa leluhur Baalawi mulai Faqih Muqaddam hingga Sayyid Ahmad Al-Muhajir semuanya ulama' besar dengan level Mujtahid Muthlaq. Kalau semua mereka Mujtahid Muthlaq, apalagi mereka ahlulbait yang masih dekat dengan zaman Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq, pasti nama dan nasab mereka bukan hanya dikenal dan dicatat oleh ulama sejarah, tapi pasti juga dikenal dan dicatat oleh ulama ahli hadits dan fiqih pada zaman masing-masing. Dengan kata lain, mana mungkin seorang Mujtahid Mutlaq diragukan nasabnya sampai segitunya.

Fakta Ketiga, tentang pilihan Al-Janadi ketika menulis biografi ulama dan raja-raja dalam kitab As-Suluk. Al-Janadi mengangkat sejarah salah satu ulama' keluarga Jadid keturunan Sayyid Ahmad yang bernama Syarif Ali Al-Jadidi Abul Hasan. Al-Janadi menulis nasab beliau begini: Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bi Jadid bin Abdullah bin Isa. 

Seandainya semua leluhur Baalawi --yang katanya satu rumpun dengan keluarga Jadid-- adalah ulama berkaliber Mujtahid Muthlaq, niscaya Al-Janadi akan lebih memilih mengangkat nama keluarga Baalawi daripada nama Syarif Ali Al-Jadidi yang hanya ulama biasa, atau minimal akan menyebutkan bahwa Syarif Ali masih famili dengan Sayyid Ali ayah Faqih Muqaddam misalnya, karena Syarif Ali sezaman dengan beliau.

Alih-alih, Al-Janadi justru hanya menyebut bahwa Syarif Ali memiliki famili di Hadramaut yang dikenal dengan keluarga Abi Alawi. Hal ini mengisyaratkan bahwa dari keluarga Abi Alawi saat itu tidak ada ulama' yang terkenal sampai mancanegara, apalagi sebagai Mujtahid Muthlaq.

Fakta Keempat, tentang kitab-kitab nasab primer yang tidak mencatat nama Abdullah atau kitab-kitab sekunder yang mencatat nama Abdullah sebagai nama yang tidak disepakati. Yang disepakati hanya tiga saja, yaitu Muhammad, Husain dan Ali, sedangkan nama Abdullah hanya disbut dengan kalimat "qila" atau "konon katanya".

Baiklah, seperti yang saya katakan sebelumnya. Kita terima nasab Adullah walaupun tidak seshahih tiga nama anak Sayyid Ahmad yang lain, bahkan kita terima bahwa Ubaidillah itu adalah orang yang sama dengan Abdullah yang ditulis oleh Al-Janadi. Anggap saja ulama ahli nasab saat itu memang tidak tahu saja bahwa Sayyid Ahmad juga memiliki anak bernama Abdullah. Jadi, nasab Sayyid Abdullah bisa diterima. 

Hanya saja, mana mungkin anak Sayyid Ahmad yang menjadi Mujtahid Muthlaq tidak diketahui oleh ahli nasab dan ahli sejarah, sedangkan anak-anak Sayyid Ahmad lainya yang bukan ulama' besar saja diketahui dan dicatat oleh semua kitab nasab. 

Fakta ini menunjukkan bahwa nama Sayyid Abdullah tidak sebesar yang diceritakan oleh keluarga Baalwi. Justru beliau adalah ulama biasa atau tidak terkenal sekali. Atau sebaliknya, Sayyid Abdullah adalah Mujtahid Muthlaq yang tentu terkenal di mancanegara, berarti dikenal juga oleh ahli nasab dan ahli sejarah di zamannya. 

Maka ketika nama beliau yang sangat terkenal itu tidak dimasukkan dalam kitab nasab ahlulbait, berarti para ulama ahli nasab tidak mengakui nasab beliau. Hanya dua inilah pilihannya; 1). Sayyid Abdullah bukan Mujtahid Mutlaq bahkan bukan orang terkenal sehingga tidak dikenal oleh semua ahli nasab, atau, 2). Beliau terkenal tapi tidak diakui nasabnya oleh para ulama ahli nasab. 

Baalawi mau ambil yang mana dari kedua pilihan ini? Inilah yang saya maksud bahwa klaim mereka soal ini bisa jadi bumerang bagi status keabsahan nasab mereka.

Saya ingin menjelaskan satu hal pada saudara-saudara sekalian, bahwa tidak semua yang masyhur tentang masa lalu itu berarti pasti benar. Kita harus tahu sejak kapan masyhurnya? Misalnya saja saat ini ada seorang ulama terkenal dan diikuti oleh semua ummat Islam Indonesia, beliau menyampaikan sebuah cerita yang beliau kira benar, padahal sebenarnya salah, maka sejak saat ini cerita itu akan masyhur hingga beberapa abad yang akan datang, semua ulama' dari zaman ke zaman menukil cerita beliau itu karena husnudzon saja. 

Contoh real saja, kitab nasab yang menyebut bahwa Walisongo itu Azmatkhan adalah kitab nasab Baalawi terakhir, yaitu Ta'liq Syamsu Zhahirah yang belum sampai satu abad. Sebelum itu, habaib Yaman tidak tahu. Maka sejak itulah di Yaman Masyhur bahwa Walisongo itu Azmatkhan. 

Sekarang ini, semua habaib di Yaman menganggap Walisongo itu Azmatkhan, bahkan ada yang bilang bahwa jelasnya nasab Walisongo sebagai Azmatkhan seperti matahari di siang hari. Kalau sekarang ditemukan nasab Walisongo dengan versi lain kemudian ada yang meneliti dan lebih condong pada versi lain itu, apakah berarti dia salah karena menyalahi yang sudah masyhur? Sedangkan masyhurnya hanya dalam kurun 100 tahun terakhir ini saja! 

Apakah berarti juga dia merasa lebih pandai dari Habib Dhiya' Syahab (penta'liq Syamsu Zharirah), Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abu Bakar Al-Adani bin Ali Al-Masyhur dan lain-lain yang menerima nasab Walisongo versi Azmatkhan? Tentu tidak! Para habaib dan ulama besar itu menerima versi Azmatkhan karena husnudzon saja. Mereka hanya cukup percaya pada orang yang meriwayatkan. Mereka tidak meneliti sendiri.

Waallahu Aklamu bissowab ........... 
Pengembang qsantri.com 

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS