Sidebar ADS

JARINGAN PESANTREN DI PULAU JAWA PASCA TERJADI PERANG DIPONEGORO

JARINGAN PESANTREN DI PULAU JAWA 
PASCA TERJADI PERANG DIPONEGORO 

Berbeda dengan perlawanan-perlawanan lainnya, perlawanan Diponegoro didukung oleh masyarakat Islam Jawa dari tingkat akar rumput sampai tingkat bangsawan keraton terkhusus para ulama tanah Jawa sehingga disebut perang Jawa. 

Luasnya dukungan terhadap Sang Pangeran memaksa Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng-benteng kecil di setiap jengkal wilayah pulau Jawa untuk menutup gerak langkah Sang Pangeran dan pengikutnya yang dikenal dengan Benteng Stelsel sejak dari Banyumas di barat, Madiun fi timur, Semarang di utara dan Bantul di selatan.

Tetapi kontur perbukitan yang membelah pulau Jawa sejak dari Selarong-Bantul Perbukitan Menoreh-Kulun Progo, Perbukitan Bagelen-Wonosobo dan Perbukitan Serayu Selatan di Kebumen Utara masih menyediakan ruanh bagi Sang Pangeran utk terus bergerak sampai akhirnya terjadilah perjanjian lucik yang menyebabkan ditangkapnya Sang Pangeran di kediaman Letjen De Cock Magelang pada 28 Maret 1830.

Pasca ditangkapnya Sang Pangeran  perlawanan secara sporadis masih dilakukan oleh para pengikutnya du beberapa daerah dan yang tak terduga dari kalangan ulama terjadi persebaran sporadis di pelosok pulau Jawa dengan membentuk pesantren-pesantren sebagai bentuk perlawan kultural kaum ulama thd kolonialisme Belanda dan secara diam-diam terbentuklah jaringan pesantren sebagai gerakan underguond yang tak terduga. 

Diantara pesantren-pesantren yang dudirikan oleh para punggawa dan pengikut Pangeran Diponegoro adalah:

1. Kyai Idris cucu Kyai Rozi, seorang pembantu Pangeran Diponegoro bersama Kyai Mojo menghidupkan kembali Pondok Jamsaren Solo pd 1878 setelah ditinggal Kyai Jamsari 11 ke Kediri. Di antara santri-santri beliau di Jamsaren adalah 
-Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), 
-Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), 
-Kyai Zarkasyi (pendiri Pondok Gontot Ponorogo) 
-Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), 
-Kyai Arwani Amin (Kudus), 
-Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban)

2. Di Magelang, Ki Kertotaruno salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro mendirikan pondok pesantren Pabelan pada pertengahan 1800-an yang kelak dibangun kembali pada 1965 oleh KH. Hamam Dja’far, alumni Tebuireng dan Gontor. KH Hamam Ja'far mengalir darah ulama yang diturunkan oleh Kiai Haji Muhammad Ali bin Kiai Kertotaruno (salah satu keturunan Dunan Giri).

3. Di Wonosobo, Raden Hadiwijaya putra dari Kiai Nida Muhammad, salah seorang ulama yang ikut mendampingi Diponegoro menyamar menjadi rakyat biasa dan mengubah namanya menjadi Muntaha. Tahun 1832 , dia menyingkir ke Dusun Karangsari Desa Kalibeber Kecamatan Mojotengah Wonosobo. 

Di sini , dengan dibantu oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, salah seorang tokoh lokal yang sangat berpengaruh , Kiai Muntaha merintis sebuah padepokan dan langgar sederhana di Dukuh Karangsari, Sarimulyo, Kalibeber , di pinggir Kali Prupuk. Di langgar sederhana ini Kiai Muntaha mengajar agama sampai wafat pada 1860.

4. Di Temanggung Kiai Subkhi yang terkenal dengan Kyai Bambu Runcing dan menjadi guru spiritual Jendralb Sudirman adalah putra Kyai Harun Rasyid putra Kyai Kyai Abdul Wahab, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang setelah undur diri dari medan tempur memutuskan mendirikan sebuah perguruan agama di sebuah desa bernama Parakan.

Dalam sebuah perbincangan dengan KH. Saifuddin Zuhri , Mbah Subkhi mengenang , di usia kurang lebih 5 tahun ( perkiraan pertengahan 1860-an ) , dia digendong oleh ayahnya dalam pertempuran melawan serdadu Belanda yang berlindung di benteng mereka . Saat itu , ayahnya , bersama sisa - sisa prajurit Diponegoro , melakukan gerakan perlawananan sporadis alias kraman.

Diceritakan bahwa banyak para pejuang kemerdekaan yang datang ke parakan untuk menemui kiai yang sudah sepuh itu , sekedar meminta doa dan berkah dari sang kiai . Di antara mereka misalnya : Panglima Besar Jenderal Sudirman, KH. Wahid Hasyim , KH. Zainul Arifin , KH. Masykur , Mr. Mohammad Roem , Mr. Kasman Singodimejo , dan Anwar Cokroaminoto .

5. Di Magetan, ada Pesantren Takeran, yang didirikan oleh Kiai Kasan Ngulama (Kiai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syattariyah, yang juga merupakan putera Kiai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro. 

Kiai Khalifah alias Pangeran Kertopati usai perang mengungsi ke arah timur Gunung Lawu, Magetan, dan membangun sebuah padepokan agama di Bogem, Sampung, Ponorogo. Sezaman dengan Kiai Khalifah, seorang sahabatnya saat berperang, Kiai Abdurrahman, juga mendirikan sebuah masjid di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. 

Di kemudian hari, salah seorang putera Kiai Khalifah, yaitu Kiai Hasan Ulama, mendirikan pesantren di Takeran Magetan. Di pondok yang merupakan cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM), Kiai Hasan melakukan kaderisasi para santri yang kelak juga banyak mendirikan pesantren lain di berbagai daerah. 

6. Di Trenggalek, trio veteran Perang Jawa: Kiai Nur Qoiman, Kyai Nuriman dan Kyai Ya’qub yang berasal dari Bagelen Purworejo memutuskan mbabat alas di Desa Gondang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek. Di desa ini, tiga bersaudara tersebut mendirikan sebuah masjid. 

Keberadaan masjid sederhana ini kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren salaf di era kepemimpinan Kiai Murdiyah alias Kiai Muhammad Asrori, yang merupakan murid Kiai Kholil Bangkalan. Di era Kiai Asrori, banyak santri yang datang berguru. Kebanyakan berasal dari wilayah Mataraman dan Jawa Tengah. Pesantren berusia tua ini sekarang menggunakan nama PP. Qomarul Hidayah. 

7. Di Kediri, seorang saudara tiri Diponegoro, Sabar Iman alias Kiai Bariman bin Hamengkubowono III, menyingkir dari keratonnya dan memilih tinggal di kota ini. Dari silsilah Kiai Sabar Iman ini lahir Abdul Ghofur. 

Di kemudian hari salah satu putra Abdul Ghofur, Mukhtar Syafa’at, menjadi salah seorang ulama terkemuka di Banyuwangi. Pesantren yang dirintisnyai yaitu Pondok Pesantren Darussalam, berkembang dengan ribuan santri. Saat ini, pesantren yang didirikan oleh Kiai Mukhtar Syafaat diasuh oleh putranya, KH. Ahmad Hisyam Syafaat. 

Di Kediri juga terdapat Pesantren Kapurejo yang didirikan oleh Kiai Hasan Muhyi. Setelah bergerilya di lereng Gunung Lawu, Wilis, dan Kelud, Kiai Hasan Muhyi (Raden Mas Ronowidjoyo), seorang perwira tinggi dalam Detasemen Sentot Alibasah Prawirodirdjo, akhirnya mendirikan Pesantren Kapurejo, di Kecamatan Pagu. 

Pesantren tua ini banyak menelurkan alumni yang kemudian mendirikan pesantren di wilayah Nganjuk dan Kediri. -Kiai Ahmad Sangi mendirikan Pesantren Jarak di Plosoklaten.
-Kiai Nawawi merintis Pesantren Ringinagung, 
-Kiai Sirojuddin merintis pendirian Pesantren Jombangan, dan beberapa kiai lain juga mendirikan masjid di berbagai tempat tinggal masing-masing. 

Selain itu, ada juga Pesantren Miftahul Ulum, Jombangan, Tertek, Pare, Kediri, yang didirikan oleh Kiai Sirojuddin, kurang lebih limabelas tahun setelah penangkapan Pangeran Diponegoro. Kiai Sirojuddin kelahiran Kudus, bergabung dengan pasukan gerilya Diponegoro beberapa saat menjelang Perang Jawa pecah. Hingga saat ini, Pesantren Miftahul Ulum dilanjutkan oleh keturunannya dan fokus pada pengembangan kajian al-Qur’an dan kitab kuning. 

8. Di Nganjuk, terdapat Pesantren Miftahul Ula, Nglawak, Kertosono. Pendirinya adalah Kiai Abdul Fattah Djalalain. Ayahnya, Kiai Arif, adalah cucu Pangeran Diponegoro, karena Kiai Arif adalah putera Kiai Hasan Alwi, yang merupakan putera Diponegoro dari selirnya. Kiai Arif semasa hidupnya diburu serdadu Belanda dan sering berpindah tempat. Terakhir, ia menetap di desa Banyakan, Grogol, Kediri. 

Di kemudian hari, Kiai Arif menikah dengan Sriyatun binti Kiai Hasan Muhyi, pengasuh Pesantren Kapurejo. Dari pasangan ini, Kiai Fattah lahir. Pada era revolusi fisik, Kiai Fattah yang juga santri Kiai Hasyim Asyari ini menjadi magnet para laskar rakyat, termasuk Hizbullah dan Sabilillah. Sebab, beliau banyak memberikan wirid, amalan keselamatan, serta kekebalan bagi para pasukan yang mau terjun ke medan perang. Kiai kelahiran 9 April 1909 ini juga menjadikan pesantren asuhannya sebagai markas Hizbullah dan Sabilillah. 

9. Di Jombang, terdapat nama Kiai Abdussalam, salah seorang pasukan Diponegoro, yang merintis pondok di Desa Tambakberas. Abdus Salam adalah putera dari Abdul Jabar, putera Ahmad, putera Pangeran Sumbu, putera Pangeran Benowo, putera Jaka Tingkir (Mas Karebet), putera Lembu Peteng, putera Brawijaya V.

Nama Kiai Abdus Salam kemudian lebih dikenal dengan nama Shoichah atau Kyai Shoichah. Beliau kemudian menikahi seorang puteri dari kota Demak, yaitu Muslimah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai beberapa putera dan puteri. Mereka antara lain: Layyinah, Fatimah, Abu Bakar, Marfu’ah, Jama’ah, Mustaharoh, Ali Ma’un, Fatawi, dan Abu Syakur.

Ketika mbabat alas, ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya. Kelak, karena jumlah santrinya dibatasi 25 orang, pondok ini dikenal dengan nama pondok selawe alias “pesantren dua puluh lima” atau disebut pondok telu karena hanya ada tiga unit bangunan. 

Di kemudian hari, Bani Abdussalam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para kiai di wilayah ini mengerucut pada namanya. Salah seorang puterinya, Layyinah, dipersunting Kiai Usman yang kemudian menurunkan Kiai Asy’ari, ayah dari KH. M. Hasyim Asy’ari. 

Adik Layyinah yang bernama Fatimah menikah dengan Kiai Said. Pasangan ini dikaruniai putera bernama Chasbullah Said. Nama terakhir ini adalah ayah dari KH. A. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU. Sedangkan adik Kiai Wahab menikah dengan KH. Bisri Syansuri, ulama yang berasal dari Pati. Kiai Bisri kemudian berbesanan dengan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Di kemudian hari, pesantren ini menjadi cikal bakal pesantren besar lain di wilayah Jombang, seperti Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Seblak, dan sebagainya. 

11. Di Pacitan, ada Pondok Tremas yang banyak melahirkan ulama besar , dari Syaikh Mahfudz Attarmasi, Mbah Hamid Pasuruan, Kiai Ali Maksum Krapyak , Kiai Zubair Umar; hingga Menteri Agama era 1970-an , Prof. Mukti Ali . 

Pondok tua ini berdiri tepat ketika Perang Jawa berakhir 1830. Pendirinya Kiai Abdul Manan Dipomenggolo adalah menantu perwira laskar Diponegoro yang bernama Raden Ngabehi Honggo Widjoyo . Kiai Manan ini adalah salah satu perintis hubungan intelektual Nusantara dan Mesir , sebab beliau pernah menunut ilmu di Al-Azhar dan mendirikan sebuah ruwaq Jawi alias semacam asrama tempat tinggal para penuntut ilmu asal Nusantara . 

12. Di Banyuwangi, keberadaan laskar Diponegoro bisa dilacak melalui jaringan intelektual - spiritual yang dibina oleh Kiai Sabar Iman bin Sultan Diponegoro II ( Raden Mas Alip alias Raden Mas Sadewo) yang cucunya Kiai Mukhtar Syafaat , kelak mendirikan pesantren terbesar di Banyuwangi Darussalam , yang terletak di Desa Blokagung . 

Beberapa nama pesantren di atas adalah sebagian kecil dari lembaga pendidikan yang dirintis oleh para veteran Perang Jawa ini, khususnya di Jawa Timur. Selain itu masih ada banyak pesantren di Jawa Tengah yang didirikan oleh mereka. Belum terhitung lagi jumlah masjid kuno lainnya.

Wallohu aklamu bimurodih..............
N/B : Diolah dari beberapa sumber

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS