KRT SUMODINIGRAT BUKAN HABIB HASAN BIN TOHA BIN YAHYA SEMARANG
KRT Sumadiningrat adalah menantu Sultan Hamengkubuwana II. Ayahnya, Ia merupakan anak tertua KRT Jayaningrat I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat binti Sultan HB I. Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di dalam sebuah cungkup di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Di dalam tatanan pemerintahan Sultan HB II, KRT Sumadiningrat menjabat sebagai bupati jaba kedua pada 1794, wedana jero pertama pada 1797 (P. Carey 2008, 188; P. B. R. Carey 1980, 191).
Belakangan, muncul opini dan penetapan KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya (Syekh Kramat Jati) oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi. Disebut pula bahwa makam tokoh ini berada di Lamper Kidul, Semarang Selatan, Semarang, Jawa Tengah. Opini ini cukup menjadi pertanyaan besar di kalangan para pengkaji sejarah dan anak-turun serta kerabat KRT Sumadiningrat, Sultan HB II serta anak-turun KRT Jayaningrat. Sebab selama 200 tahun lebih sejak kematiannya pada 1812 pada tragedi Geger Sepehi, KRT Sumadiningrat tercatat dalam seluruh catatan nasab induk di Yogyakarta sebagai anak KRT Jayaningrat I, seorang Bupati Remame, Kedu, bukan seorang habib atau sayyid.
Tulisan ini akan melakukan kajian atas opini serta penyebutan KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Ada dua sumber utama yang sudah dipublikasikan secara luas yang dijadikan sasaran kajian di sini.
Pertama, tesis Magister Siti Fatimah di Prodi Interdiciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2019), yang berjudul “Peran Habib Hasan Bin Thoha (KRT. Sumodiningrat) dalam Melestarikan Tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Pada Masa Sultan Hamengkubuwono II, 1792-1819 M”. Tesis ini diujikan pada Jumat, 21 Juni 2019. Ketua Sidang sekaligus Penguji I adalah Dr. Sunarwoto, S.Ag., M.A., Penguji II Jazilus Sakhok, M.A., Ph.D., dan Penguji III Dr. Hj. Siti Maryam, M.Ag. Sedangkan nomor pengesahan tesis ini adalah: B-172/Un.02/DPPs/PP.00.9/07/2019.
Kedua, Manaqib Habib Hasan bin Thoha bin Yahya yang dibacakan oleh Sulistyo Eko Cahyono pada acara ” Peringatan Maulid Nabi dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) bersama Habib Luthfi bin Yahya”, 18 Desember 2021 yang ditayangkan secara langsung di tautan:
https://www.youtube.com/live/2BodybreA_Q?feature=share oleh akun MT Darul Hasyimi Jogja mulai 2:29:00 sampai 2:57:20.
Dua sumber ini sangat otoritatif untuk dijadikan sasaran kajian. Sumber pertama merupakan karya ilmiah tingkat Magister (S2) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rujukan dan narasumber karya itu adalah tokoh-tokoh yang menjadi bagian penting dari penarasian KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
Sumber kedua adalah sejarah resmi tentang Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang disampaikan oleh penyelenggara haul tokoh tersebut di Semarang. Ada acara pembacaan sejarah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya di acara itu yang dibacakan oleh Sulistyo Eko Cahyono, Ketua Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta.
Berikut beberapa hal yang menjadi hasil kajian atas dua sumber tersebut. Tanggapan akan dikemukakan di bawah setiap kutipan dari sumber yang dijadikan kajian.
A. Pemaparan Siti Fatimah
1. Di halaman 33-34, terdapat silsilah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya berdasarkan data wawancara dengan Habib Luthfi Bin Yahya. Silsilahnya adalah sebagai berikut:
Al-Habib Hasan bin Al-Habib Thoha (Sayid Thohir) bin Al-Habib Muhammad al-Qodhi bin Al-Habib Thoha bin Al-Habib Muhammad bin Al-Habib Syekh bin AlHabib Ahmad bin Al-Habib Yahya Ba’alawy bin Al-Habib Hasan bin Al-Habib Ali bin Imam Alwi an-Nasiq bin Imam Muhammad Maulad Dawileh bin Imam ALi Maula Darrak bin Imam Alwy al Ghuyur bin Imam Al Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba’alawy bin Imam Ali bin Imam Muhammad Shahib Marbath bin Imam Ali Khali Qasam bin Imam Alwy bin Imam Muhammag bin Alwy Ba’alawy bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad al Muhajir bin Imam Isa an-Naqib ar-Rumi bin Imam Muhammad an-Naqib bin Imam Ali Al Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As Sibthi bin Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib dengan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Tanggapan:
a. Silsilah KRT Sumadiningrat bin KRT Jayaningrat I yang merupakan menantu Sultan HB II berbeda dengan silsilah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya di atas. Di bawah akan dipaparkan silsilahnya.
b. Tidak ada data tentang silsilah KRT Sumadiningrat berdasarkan catatan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat maupun sumber-sumber otoritatif yang lain yang dijadikan sebagai buku induk pernasaban keluarga besar Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
c. Jadi, silsilah KRT Sumadiningrat di sini hanya bersumber dari satu pihak, yaitu pihak Habib Luthfi Bin Yahya.
2. Disebut di halaman 55-56 bahwa Habib Hasan bin Yahya menikah dengan Bendara Mas Ayu Rantamsari. Berikut kutipan langsungnya:
Perkawinan antara Habib hasan bin Thoha dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari dilatarbelakangi oleh kekaguman Sultan Hamengku Buwono II terhadap kiprah politik Habib Hasan. Habib Hasan sebelumnya telah berhasil berjuang melawan kolonial di beberapa tempat seperti di Cirebon, Pekalongan dan sekitarnya. Melihat kondisi Keraton Yogyakarta yang dikuasai oleh kolonial, Sultan Hamengkubuwono II memilihnya menjadi kepala prajurit pengawal keraton. Pilihannya tersebut karena Habib Hasan mempunyai pengalaman dan pandangan politik yang luas. Kiprah Habib Hasan dalam melawan penjajah menjadikannya dipilih menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono II. Ia dinikahkan dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari, putri sulung Sultan Hamengku Buwono II dari istri resminya asal Madura, yakni Ratu Kedaton.
Tanggapan:
a. Dalam Serat Raja Putra, sebuah naskah yang menghimpun seluruh istri dan anak Sultan HB I – HB IX karya KPH Mandoyokusumo, nama yang ada “Rantamsari” nya justru adalah garwa ampeyan (istri selir) Sultan HB II, bukan anak Sultan HB II. Tertulis di sana Mas Ajeng Rantamsari (Mandoyokusumo 1988, 24).
b. Di Serat Radja Poetra sebuah naskah yang menghimpun seluruh istri dan anak Sultan HB I – HB VIII, tertulis Bandara Mas Ajoe Rantamsari adalah salah satu istri selir Sultan HB II, bukan anak Sultan HB II (Dajapertama & Dirdjasoebrata n.d., 20).
c. Jadi, “Bendara Mas Ayu Rantamsari” bukan putri Sultan HB II, melainkan salah-satu istri selir Sultan HB II.
3. Tertulis di halaman 56, sebagaimana dikutip di atas, bahwa Habib Hasan dinikahkan dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari, putri sulung Sultan Hamengku Buwono II dari istri resminya asal Madura, yakni Ratu Kedaton.
Tanggapan:
a. Telah disebutkan di atas bahwa Mas Ayu Rantamsari bukan anak Sultan HB II (Dajapertama & Dirdjasoebrata n.d., 17; Mandoyokusumo 1988).
b. Ada lima orang anak yang dilahirkan di dalam pernikahan Sultan HB II dengan GKR Kedhaton, yaitu: (1) Sultan HB III; (2) GKR Bendara; (3) GKR Hangger; (5) GPH Mangkubumi (Panembahan Mangkurat); (5) GKR Maduretna (Emas).
c. Tidak ada nama Mas Ayu Rantamsari di sana.
d. Jadi, Mas Ayu Rantamsari bukan anak Sultan HB II.
B. Pemaparan Sulistyo Eko Cahyono
1. Dalam manaqib Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang dibacakan oleh Sulistyo Eko Cahyono pada acara sebagaimana disebut di atas dari hitungan 2:37:19 sampai 2:38:07, terkutip sebagai berikut:
…dan karena kekagumannya tersebut akhirnya Habib Hasan diangkat menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono kaping kalih dan daerah yang ditempati beliau mendapatkan perlindungan utama dari Kraton Ngayogyakarta. Istri Habib Hasan bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau yang lebih dikenal dengan nama Fatimah juga sering disebut dengan Kanjeng Ratu Kedaton. Beliau putri dari garwo padmi Hamengkubuwana kaping kalih bernama bendoro Mas Ayu Rantamsari
Tanggapan:
a. Data tentang istri Habib Hasan yang disampaikan oleh Sulistyo Eko Cahyono berseberangan atau bertentangan dengan data tentang istri Habib Hasan yang disampaikan oleh Siti Fatimah di dalam tesisnya.
b. Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa istri Habib Hasan adalah Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau yang lebih dikenal dengan nama Fatimah juga sering disebut dengan Kanjeng Ratu Kedaton. Beliau putri dari garwo padmi Hamengkubuwana kaping kalih bernama bendoro Mas Ayu Rantamsari.
c. Sedangkan Siti Fatimah menulis bahwa Habib Hasan dinikahkan dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari, putri sulung Sultan Hamengku Buwono II dari istri resminya asal Madura, yakni Ratu Kedaton.
d. Aneh sekali bagian ini. Mengapa ada dua keterangan yang berbeda? Padahal, Sulistyo Eko Cahyono adalah satu di antara narasumber utama yang sering dikutip oleh Siti Fatimah (Fatimah 2019, 56). Dalam menerangkan bagian ini, Siti Fatimah menulis catatan kaki nomor 3 di halaman 56 yang berbunyi: Wawancara dengan Sulistyo Eko Cahyono yang merupakan pakar Sejarah Keraton Yogyakarta. Pada hari kamis, tanggal 24 Juni 2019, pukul 12.30 WIB.
2. Sulistyo Eko Cahyono mengatakan: Istri Habib Hasan bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau yang lebih dikenal dengan nama Fatimah juga sering disebut dengan Kanjeng Ratu Kedaton. Beliau putri dari garwo padmi Hamengkubuwana kaping kalih bernama bendoro Mas Ayu Rantamsari.
Tanggapan:
a. Dalam Serat Raja Putra dan Serat Radja-Poetra tidak ada nama putri Sultan HB II yang bernama Fatimah. Tapi tentu boleh diperiksa lebih jauh tentang nama ini.
b. Namun, masalahnya bukan pada atau tidak ada nama Fatimah. Masalahnya adalah bahwa memang tidak ada keterangan bahwa GKR Bendoro disebut juga sebagai GKR Kedaton. Mengapa?
c. Sebab GKR Kedaton adalah garwa padmi atau salah-satu permaisuri Sultan HB II, bukan anak Sultan HB II.
d. Sedangkan Mas Ayu Rantamsari adalah istri selir Sultan HB II, bukan permaisuri (garwa padmi). Di atas telah dijelaskan tentang hal ini.
e. Bila dikatakan bahwa GKR Bendoro adalah anak Sultan HB II dari hasil pernikahan dengan Mas Ayu Rantamsari, jelas itu bertentangan dengan data dan fakta sejarah. Sebab GKR Bendoro adalah anak Sultan HB II dari hasil pernikahan dengan GKR Kedaton binti KRT Purwadiningrat, Bupati Magetan (Mandoyokusumo 1988, 15).
f. Perkawinan Sultan HB II dengan Mas Ayu Rantamsari melahirkan hanya satu anak, yaitu BPH Tejokusumo [BPH Hadinegoro], bukan GKR Bendara (Dajapertama & Dirdjasoebrata n.d., 20; Mandoyokusumo 1988, 24).
g. Jadi, sekali lagi, GKR Kedaton ataupun GKR Bendara bukan anak Sultan HB II dari hasil pernikahan dengan Mas Ayu Rantamsari.
h. Dengan demikian keterangan bahwa Habib Hasan adalah menantu Sultan HB II sungguh meragukan -untuk tidak mengatakan keliru.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan beberapa hal.
KRT Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
KRT Sumadiningrat yang tercatat sebagai menantu Sultan Hamengkubuwana II adalah tokoh yang juga sekaligus cucu Sultan Hamengkubuwana I. Tokoh ini pula yang dalam berita kolonial dan babad tradisional di Jawa disebut singo barong, bukan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
Ayah KRT Sumadiningrat adalah KRT Jayaningrat I. Siapa KRT Jayaningrat I?
KRT Jayaningrat I adalah menantu Sultan Hamengkubuwana I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat (Mandoyokusumo 1988, 10). Raden Ayu Jayaningrat adalah anak keempat Sulan HB I (Dajapertama and Dirdjasoebrata n.d., 13).
Urutan nasab KRT Sumadiningrat dari atas sebagai berikut (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 163–64 & 201–8): Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat I → KRT Sumadiningrat [Jejeran].
KRT Sumadiningrat memiliki 4 orang adik, yaitu; RT Wiryawinata [Jejeran]; RT Janingrat [Jejeran]; Raden Ayu Rangga Madiun; RT Wiryadiningrat (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 207).
KRT Sumadiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwana II dari hasil pernikahannya dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; Sejarah Ratu n.d., 80 & 123; Agustriyanto 2018; Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
KRT Sumadiningrat gugur akibat keganasan serangan Inggris ke Yogyakarta pada peristiwa Geger Sepehi. Peristiwa ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Pada I-VII. Babad Sepehi bercerita tentang peristiwa Geger Sepehi. Karya ini ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan HB II, yang memang langsung berada di tengahtengah pertempuran (Irawan 2018, 65–66).
Setelah gugur dalam Geger Sepehi, jenazah KRT Sumadiningrat dibawa untuk dimakamkan di Jejeran pada jam sepuluh malam. Makam KRT Sumadiningrat berada di tanah pamutihan yang memang merupakan haknya di Pasarean Astana Gedong, Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepat di sisi barat Masjid Kagungan Dalem Mi’rajul Muttaqinallah. Dulu masjid ini disebut Masjid Sumadiningratan (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
Makam KRT Sumadiningrat berada di dalam sebuah cungkup khusus di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo), seorang ulama besar Mataram Islam pada zaman Sultan Agung hingga Amangkurat I yang tiada lain merupakan leluhurnya sendiri.
Menjadi maklum bila KRT Sumadiningrat dimakamkan tepat di bawah atau di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan yang merupakan punjer atau leluhurnya. Memang beginilah adat atau budaya pemakaman di Jawa. Tokoh tertentu akan dikuburkan di sebuah lahan yang sama dengan para leluhurnya.
Sedangkan makam KRT Jayaningrat I juga berada di pasarean ini. Tepatnya di dalam cungkup khusus di sisi selatan pengimaman masjid.
Perkawinan KRT Sumadiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan.
Hanya saja, di luar cungkup makam KRT Sumadiningrat ada makam KRT Sumanegara. Tokoh ini adalah anak KRT Sumadiningrat dari istri lain. Sayangnya Serat Salasilah hanya menyebutkan nama sang anak, bukan nama sang ibu atau sang istri lain itu.
KRT Sumanegara adalah bupati wedana distrik maosan dalem Pengasih hingga Nanggulan. Selain itu ada pula makam keponakannya, KRT Tirtanegara bin KRT Janingrat. KRT Tirtanegara merupakan bupati maosan Kalibawang (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
Belakangan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran, oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta, juga disebut sebagai sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha bin Yahya. Silahkan dicek narasi Sulistyo Eko Cahyono di dalam link YouTube di atas. Cek juga tautan ini: https://fb.watch/l1x33-0pBM/?mibextid=5Ufylb.
Narasi penyebutan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya adalah sebagai berikut:
a. Dalam narasi Sulistyo Eko Cahyono disebutkan di menit ke 2:42:13 bahwa ketika terjadi penyerangan oleh Legiun Inggris yang bertujuan untuk mencari Habib Hasan, kediaman Habib Hasan di Jejeran, Bantul, didatangi. Pada saat itu Habib Hasan melakukan koordinasi di ndalem Keraton Ngayogyakarta.
b. Di menit ke 2:43:20, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa Habib Ahmad yang tinggal di Suronatan sedang ada di Jejeran ketika legiun Inggris datang. Pasukan Inggris mengepung rumah Habib Hasan. Habib Ahmad lalu mengaku sebagai Habib Hasan kepada Inggris. Alasannya karena Habib Hasan diperlukan strategi dan kesatriaanya oleh keraton. Atas alasan itu Habib Ahmad mengaku menjadi Habib Hasan.
c. Di menit ke 2:45:00, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa keluarga Habib Hasan (termasuk Habib Ahmad dan putra puterinya) ditahan dan meninggal. Ini terjadi pada 1812 M. Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan dikenal dengan nama KRT Sumodiningrat. Sebagai pengalihan agar pencarian Habib Hasan mengendor. Makam Jejeran dimitoskan angker. Sehingga Inggris tidak tertarik untuk mencari tahu siapa yang dimakamkan.
Berdasarkan analisis atas data istri Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang bertentangan dengan data historis di atas, cerita tentang Habib Ahmad yang dikatakan mengaku sebagai KRT Sumadiningrat yang disebut dimakamkan di Jejeran ini meragukan. Babad Sepehi menceritakan secara rinci di mana posisi KRT Sumadiningrat saat itu hingga ia dibunuh. Diceritakan juga di sana bagaimana KRT Sumadiningrat menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan KRT Wiryawinata, adiknya sendiri.
Makam Jejeran di barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah adalah pemakaman anak-turun Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo). KRT Sumadiningrat adalah cucu-buyut Kyai Kriyan. Sekali lagi, menjadi maklum bila jenazahnya dimakamkan di sana. Sebab memang itu pemakaman leluhurnya. Sangat ganjil jika dikatakan bahwa makam KRT Sumadiningrat di Jejeran merupakan makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
Berdasarkan semua analisis di atas, jelas sekali bahwa KRT Sumadiningrat yang disebut menantu Sultan HB II dan menjabat sejumlah jabatan penting di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga meninggal pada 1812 bukanlah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya dan bukan pula Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, tepat di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Bukan di Semarang.
Makam KRT Sumadiningrat dan seluruh leluhur hingga anak-keturunannya di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta harus dijaga dan dirawat oleh terutama anak-turun Kyai Kriyan, Sultan HB I, Sultan HB II, dan seluruh kawula Mataram.
Catatan tambahan
Sampai di sini, menjadi jelas bahwa KRT Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Bila “ingin melihat lebih jauh peluang” hubungan antara Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya dengan Sultan HB II, maka ada beberapa asumsi yang bisa ditelusuri.
Mungkin saja Sultan HB II menikahkan garwa selirnya, Mas Ayu Rantamsari dengan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Hanya saja perlu diperiksa apakah ada data yang bercerita tentang itu atau paling tidak catatan dan ingatan anak-keturunan HB II.
Bila ternyata Sultan HB II memberikan garwa selirnya pada Habib Hasan, itu masih mungkin. Sebab memang para Sultan terkadang menghadiahkan salah-satu istrinya untuk “bawahannya” atau orang yang ia kehendaki.
Sayangnya, ternyata di dalam catatan manaqib Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang dibacakan oleh Sulistyo Eko Cahyono dan kajian ilmiah Siti Fatimah tidak ada keterangan tentang istri Habib Hasan yang merupakan mantan selir raja.
Semoga risalah singkat ini bermanfaat. Terutama untuk para pengkaji sejarah, pecinta sejarah perjuangan para kesatria Mataram Islam, anak-turun Kyai Kriyan, anak-turun para Sultan HB, dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.
Silsilah Nasab KRT Sumadiningrat (Sumber: Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 163–164 & 201–208)
Kyai Ageng Ngerang I
↓
Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang)
↓
Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati)
↓
Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati)
↓
Adipati Pragolapati I
↓
Adipati Pragolapati II
↓
Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan)
↓
Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede
↓
Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik
↓
Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena
↓
Tumenggung Jayaningrat Manten (KRT Jayaningrat I)
↓
KRT Sumadiningrat
Lampiran Foto
1.Makam KRT Sumadiningrat (kiri)
2. Cungkup Makam KRT Sumadiningrat
3. Makam KRT Tirtanegara
4. Makam KRT Wiryawinata (adik KRT Sumadiningrat), kanan. Cungkup makam ini berada tepat berdampingan di sisi barat cungkup makam KRT Sumadiningrat
Rujukan:
Agustriyanto, R. Sunu. 2018. Sarasilah Trah Kraton Ngayogyakarto Ingkang Sumare Ing Makam Gunung Tambal Bantul, Jejeran Bantul (Versi II).
Carey, Peter. 2008. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Brill.
Carey, Peter B R. 1980. The Archive of Yogyakarta: Documents Relating to Politics and Internal Court Affairs. British Academy.
Dajapertama, R.M.Ng.;, and R.M.B. Dirdjasoebrata. Serat “Radja-Poetra” (Babon Saking Swargi R.M. Toemenggung Sasrakoesoema Ing Kalasan-Ngajogyakarta. Solo: Drukkerij “Melati” Keprabon.
Fatimah, Siti. 2019. “Peran Habib Hasan Bin Thoha (KRT. Sumodiningrat) dalam Melestarikan Tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Pada Masa Sultan Hamengku Buwono II, 1792-1819 M.” Tesis Magister Interdiciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Irawan, Yudhi. 2018. Babad Sepehi Suntingan Teks dan Aspek Kesejarahan. Jakarta: Perpustakaan Nasiional RI.
Mandoyokusumo, KPH. 1988. “Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat.” Musium Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta.
Sejarah Ratu. Yogyakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan. 1899.
Tags: ba alawiba alawi rungkadBa Alwibahar bin smithbin yahyabudaya nusantraDzuriyyahDzuriyyah Nabihabaibhabibhaluhanif alatasHRSisnad palsuKeturunan Nabiketurunan palsuKeturunan Rasulullahmakammakam palsumanuskripNasabnasab palsunasab rungkadpemalsuan nasabpemalsuan silsilahpembelokan sejarahpembongkaran makamRasulRasulullah SAWrekomendasi kepada negararungkadsanad ilmusejarah keratonSilsilah Habibsilsilah nasabsitus budayasumodiningrattest DNAthoha bin yahyaUbaidUbaidillahulamautsman bin yahya
Wallohu aklamu bissowab.......
[1] Penulis adalah peneliti makam-makam kuna dan kebudayaan Jawa, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Oleh: M. Yaser Arafat[1]
Editor: Didin Syahbudin