MENYELEKSI KEASLIAN DZURIYYAH NABI
Ketika ditarik ke belakang pada masa awal mula islamisasi di Nusantara oleh para Dzuriyah Nabi yang asli yaitu Walisongo mereka semua menanggalkan gelar kesyarifannya maupun kesayyidannya dan berbaur, bercampur dengan masyarakat Nusantara yang beragam. Akulturasi perkawinan pun terjadi dengan pribumi setempat tanpa adanya sekat rasis dalam perkawinan.
Mereka tidak merasa bangga dan memamerkan gelar kedzurriyahan mereka, justru ditutup-tutupi bahkan ditinggalkan. Bahkan panggilan dan sandangan mereka menjadi sunan, wali, sultan, ajengan, lora, mbah dan lain sebagainya sesuai dengan kebudayaan di daerah masing-masing. Mereka inilah yang pantas disebut sebagai generasi awal Sayyid Nusantara.
Baru belakang ini ada gelar baru khas negri Yaman yang semakin melonjak dengan sangat tajam, hampir semua yang dikatakan keturunan Arab atau mereka yang berasal dari Hadramaut maupun Tarim mengaku dirinya sebagai Dzuriyah Nabi walaupun tidak memiliki landasan yang kuat dan memiliki kewenangan penuh atas trah kanjeng Nabi Muhammad Saw yang harus disanjung tinggi dan mengelompok sendiri sesama trah secara ekslusif.
Mereka tidak lagi mau berbaur dengan masyarakat lokal yang terlebih dahulu tinggal bahkan lahir di tanah Nusantara, hingga sebagian dari mereka menerapkan rasisme dalam perkawinan dengan dalih kafaah (kesetaraan). Jelas, ini tidak diajarkan oleh Sayyid Nusantara generasi awal sebelumnya, bahkan Nabi Muhammad Saw tidak mengajarkan hal semacam demikian.
Maka, lebih tepatnya fenomena ini lebih menyeruak pada abad ke-19 dan tidak terjadi pada generasi awal penyebar Islam di Nusantara. Berbeda dengan Syarif Sayyid generasi dahulu, para pemain baru dari Yaman di sini lebih mudah dikenal dari sisi penampilan luarnya baik cara berpakaian, corak kebudayaan, kuliner, bahasa keseharian, komunitas, dan tempat tinggal.
Bahkan dalam hal corak pemikiran keagamaan mudah sekali ditebak dan diamati, mereka lebih cenderung kepada salah satunya tipologi beragama, yaitu ajaran Islam khas Ba'alwi. Justru ketika menggunakan corak demikian mereka lebih pada mengikat dan menggenggam suatu hal yang sifatnya kecil dan meninggalkan suatu yang bernilai besar.
Bahkan, yang lebih parah dalam diaspora ini, penyelewengan gelar bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka yang bukan keturunan Dzuriyah Nabi kemudian banyak mengemuka di permukaan mengaku dirinya sebagai salah satu darinya untuk mengunggulkan dirinya dan mencari keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya.
Walaupun masyarakat sekarang sudah melek ilmu nasab (di pelopori oleh KH Imaduddin Utsman Al Bantani) yang dapat secara alami untuk menyeleksi keaslian keturunan Nabi Muhammad Saw, tetap saja masih banyak masyarakat di luar sana yang mengkultuskan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhamamd Saw, hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Justru ini suatu fenomena yang memprihatinkan di balik pemaknaan gelar yang sakral dan dipetuahkan.
Dengan begitu nilai dan kehormatan dalam gelar menjadi merosot tajam, terperosok jauh menjadi perbincangan yang kurang mengenakan baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari umat yang lain. Hal ini tentu diakibatkan adanya kelonggaran gelar, yakni Dzurriyah Nabi secara umum atau tidak, baik ulama ataupun tidak, punya dzauq atau tidak, dan akhlaqnya baik ataupun tidak.
Gelar yang dulu dikenal dengan kualitas akhlak yang tinggi, ilmu yang mendalam, dan kualitas ruhani yang tidak ada tandingannya, sekarang terpental sudah, ketika melihat fenomena di lapangan dan banyaknyak Dzuriyah Nabi palsu yang berseliweran di sana sini.
Anehnya umat cenderung lebih ke yang palsu-palsu itu, walaupun sejuta hujah kebenaran telah di tampakan secara landasan ilmiah yang kuat, dari uji pustaka dan manuskrip hingga ke wilayah kode DNA. Betapa hebat sihir mereka untuk meluluhkan hati umat.
Waallahu Aklamu bissowab.................