NASAB BAALAWI BANYAK CELAH YANG DIPERMASALAHKAN
Kita telah membicarakan tentang klaim nasab Baalawi sebagai yang paling shahih. Klaim itu jelas tidak benar berdasarkan fakta-fakta sejarah yang saya sampaikan. Nah fakta-fakta yang saya sampaikan itu pun hanya terkait dengan nama Abdullah atau Ubaidillah saja, belum fakta-fakta terkait nasab ke bawah Sayyid Ubaidillah, dimana mereka menganggap Abdullah sebagai orang yang sama dengan Ubaidillah.
Bahwa nama Abdullah sebagai putra Sayyid Ahmad tidak seshahih tiga nama putra beliau yang lain, yaitu Husain, Muhammad dan Ali. Dengan kata lain, tingkat keshahihan riwayat nama Abdullah berada di bawah tiga nama yang lain itu, sehingga klaim bahwa nasab Baalawi adalah yang paling shahih tentu saja akan ditertawakan oleh keturunan tiga putra Sayyid Ahmad yang lain itu.
Ketika ada ulama besar --sebesar apapun ia-- mengatakan bahwa nasab Baalawi adalah yang paling shahih, pasti mereka hanya menukil dari tokoh Baalawi dan menerima itu berdasarkan husnudzon saja, bukan berdasarkan penelitian.
Meneliti nasab orang apalagi dengan mengesankan adanya kecurigaan itu tidak boleh, hal ini dapat menyinggung perasaan orang dan bisa membuat fitnah, kecuali ada indikasi yang memang patut dicurigai.
Dari itu, saya tidak setuju dengan publikasi penelitian nasab Baalawi oleh KH. Imaduddin. Namun saya juga tidak menyalahkan tujuan beliau, karena beliau beralasan melihat adanya hal mencurigakan pada diri banyak Baalawi Indonesia. Misalnya keterlibatan sebagian Baalawi dalam salah satu gerakan kudeta Kesultanan Banten; juga keterlibatan Habib Utsman Bin Yahya mufti Betawi dalam penggembosan perjuangan ulama Banten yang merupakan dzurriyat dan keluarga Sultan Banten (peristiwa Cilegon).
Begitu pula akhlaq dan mental banyak Baalawi yang suka "dawir" atau mencari uang dengan menjual nasab, baik di kalangan ajengan (kiai Sunda) maupun di masyarakat perkampungan Sunda. Itu kata KH. Imaduddin dan itulah alasan beliau mencurigai nasab Baalawi, ditambah lagi Rabithah Alawiyah terkesan membenci keturunan Walisongo, seperti ketakutan kalau keturunan Walisongo muncul.
Ditambah lagi dengan sikap banyak Baalawi yang terkesan memaksa orang untuk sependapat dengan mereka dengan alasan habib harus lebih diutamakan dari yang lain; ditambah lagi dengan seringnya terjadi keributan besar gara-gara hal sepele yang dibuat oleh Rabithah Alawiyah, misalnya dengan Al-Irsyad pada zaman kolonial Belanda.
Ditambah lagi dengan adanya penceramah kondang dari kalangan Baalawi yang bahasanya penuh dengan caci maki dan kalimat kotor dan dibiarkan saja oleh Rabithah Alawiyah. Kata KH. Imamuddin, semua itu membuat beliau curiga dengan nasab Baalawi yang sejak awal memang diragukan oleh sebagian asyraf di Arab.
Kata KH. Imamuddin juga, seandainya sejarah masa lalu Baalawi Indonesia tidak sekelam itu, kemudian Baalawi yang sekarang santun dan tidak mentang-mentang dengan nasab mereka, tentu beliau tidak akan pernah berpikir untuk mencurigai nasab Baalawi. Itu kata KH. Imaduddin. Itulah alasan kenapa beliau membuat penelitian tentang nasab Baalawi. Saya pun tidak bisa menyalahkan alasan beliau itu.
Saya rasa habaib atau Rabithah Alawiyah juga tidak boleh marah. Justru mereka harus mencari siapa yang telah membuat gara-gara dan memancing kemarahan kiai-kiai Banten itu, khususnya dzurriyat Sultan Maulana Hasanuddin. Mestinya Rabithah Alawiyah justru meminta maaf pada rakyat Indonesia karena telah membuat sejarah kelam di masa penjajahan.
Demi Allah, seadainya anak saya berlaku tidak sopan kemudian orang-orang mengumpat saya, niscaya saya akan menampar anak saya itu, bukan malah memarahi orang yang mengumpat saya. Orang-orang yang mengumpat saya itu tidak salah, sayalah yang salah karena tidak becus mendidik anak saya sehingga dia menyakiti hati banyak orang dan membuat mereka marah.
Maka, sebaiknya Rabithah Alawiyah atau habaib tidak marah dalam menyikapi keraguan orang-orang terhadap nasab mereka itu. Kalau marah dan semakin marah maka semakin gencar pula mereka mengorek sejarah kelam Ba'alawi indonesia, bahkan berusaha melemahkan nasab Ba'alawi termasuk dengan tantangan tes DNA.
Dan ingat, kalau sampai kebanyakan ummat Islam Indonesia setuju dengan tuntutan tes DNA, itu artinya Baalawi kehilangan kepercayaan mayoritas umat Islam Indonesia.
Untuk nasab Sayyid Ubaidillah, dari awal hingga saat ini saya menerimanya berdasarkan husnudzon. Saya percaya dengan pengakuan Habib Ali As-Sakran, bahwa nasab beliau bersambung pada Sayyid Ali Al-Uraidhi, saya hanya mengkoreksi klaim bahwa nasab Ba'alawi adalah yang paling sahih.
Adapun soal kajian KH. Imaduddin dan tantangan tes DNA silakan Rabithah Alawiyah menghadapinya sendiri, sebaiknya Baalawi saja yang membantah, jangan muhibibbin mereka, supaya tidak ada benturan yang melebar. Saya pun hanya mau menyimak saja, saya tidak terlibat dengan kajian KH. Imaduddin dan tidak pula menuntut Baalawi untuk tes DNA.
Selain itu, ketika dulu saya membuat lembaga peneliti nasab keluarga Walisongo, banyak habaib anggota Rabithah Alawiyah yang mengatakan bahwa keturunan Walisongo sudah tidak bisa disahkan, karena zaman Walisongo sudah berlalu 500 tahun lebih. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa banyak manuskrip nasab yang disimpan oleh keluarga Walisongo.
Bahkan sebagian mereka menambah syarat dengan mengharuskan ada saksi untuk setiap nama dalam nasab keturunan Walisongo. Nah, sekarang mereka kena batunya, persyaratan ketat yang dulu mereka ajukan pada nasab keturunan Walisongo kini diajukan pada nasab mereka sendiri, yaitu kajian KH. Imaduddin itu.
Dulu kami tidak marah-marah ketika mereka mengajukan syarat ketat itu. Kami hanya menjawab dengan kajian ilmiah dan tidak kami publikasikan di media. Namun ketika sekarang syarat ketat itu diajukan pada mereka maka mereka pun marah-marah di media. Sungguh tidak dewasa.
Tadi saya katakan bahwa kasus nama Ubaidillah hanya salah satu fakta yang menunjukkan bahwa nasab Baalawi bukan nasab yang paling shahih, artinya ada lagi fakta lain yang tidak dibahas oleh kajian KH. Imaduddin, yaitu terkait nasab Baalawi dari Sayyid Ubaidillah ke bawah hingga Baalawi sekarang.
Yang dibahas oleh KH. Imaduddin adalah nasab Sayyid Ubadillah ke atas yang katanya terputus riwayat 500 tahun lebih, sekali lagi itu kata KH. Imaduddin. Nah, sekarang kita akan bicarakan nasab Baalawi mulai Sayyid Ubaidillah hingga Baalawi sekarang.
Ketika pada tahun 2005 saya mendata keturunan Walisongo dan mencatatnya dalam database kami, sebagian Baalawi menghina kami dengan berkata "sudah 500 tahun lebih baru bikin perhimpunan dan mendata, itu tidak benar. Kalau memang benar kenapa tidak dari dulu. Ini hanya kerjaan Ali Badri yang gila nasab". Memangnya saya pernah mengaku habib?
Saya sudah sering menjelaskan, bahwa ketika dulu orang tua kami menyembunyikan nasab itu karena suatu alasan yang sesuai dengan kondisi saat itu, kami pun punya alasan yang sesuai ketika kini membuka nasab kepada anak-anak kami.
Baiklah, ketika Baalawi Indonesia menganggap kami sudah terlambat untuk berhimpun dan mendata nasab karena sudah 500 tahun lebih, apakah Baalawi yang di Yaman sudah berhimpun sejak zaman Sayyid Ubadillah? Ayo sekarang buka-bukaan, perhatikan rekaman sejarah berikut ini.
Sejarah Baalawi mencatat bahwa penulisan marga-marga pecahan Baalawi baru muncul setelah tahun 895 H. Sebelum itu, setiap nama hanya dicatat fulan bin fulan saja tanpa semisal "Assegaf" dan sebagainya. (Al-Istizadah, hlm. 141).
Sejarah Baalawi juga mencatat bahwa di Hadhramaut baru ada Naqabah Baalawi pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yaitu pada tahun 833 H. Naqabah ini berakhir pada kepemimpinan Habib Zainal Abidin bin Abdullah Al-Idrus yang wafat pada tahun 1.041 (Al-Istizadah, hlm. 125-26).
Artinya, sebelum itu, nasab keluarga Baalawi dipegang sendiri-sendiri dan mereka berhimpun dengan dipimpin masing-masing munshib. Kemudian, mereka berhimpun pada tahun 833 dan perhimpunan mereka hanya bertahan hingga tahun 1.041, yakni hanya 208 tahun saja.
Naqabah ini pernah akan dihidupkan lagi pada tahun 1.316 H. namun gagal. (Al-Istizadah, hlm. 26-127). Hingga sekarang tidak ada lagi Naqabah atau perhimpunan Baalawi di Hadhramaut.
Jadi, sekitar lima ratus tahun sejak Sayyid Ubaidillah, catatan nasab Baalawi di Yaman itu dipegang oleh masing-masing keluarga yang diketuai oleh semacam kepala suku yang mereka sebut munshib. Tidak beda dengan nasab keturunan Walisongo yang selama ini dipegang oleh masing-masing keluarga.
Walaupun banyak keturunan Walisongo yang tidak tahu atau tidak peduli dengan nasabnya, namun banyak juga dari mereka yang memang suka dengan ilmu nasab, sehingga setiap generasi ada saja yang fokus mempelajari dan menyimpan catatan nasab mereka.
Jadi, selama tidak ada Naqabah, keabsahan nasab Baalawi ditentukan oleh munshib, sebagaimana keabsahan nasab keluarga Walisongo ditentukan oleh para ahli nasab di keluarga masing-masing. Sekarang kita cari tahu tentang siapa dan bagaimana munshib-munshib Baalawi di Hadhramaut itu.
Pada zaman Habib Abdullah Al-Haddad, beliau menilai para munshib yang ada ketika itu sebagai orang-orang yang tidak baik. Beliau pun memarahi mereka dengan berkata: "Mereka (para munshib itu) adalah orang-orang yang hanya mengandalkan nama leluhur mereka saja, tanpa berbekal ilmu dan istiqamah seperti leluhur mereka." (Al-Istizadah, hlm. 79).
Artinya, ada suatu masa dimana sudah jelas keluarga-keluarga Baalawi di Yaman itu dipimpin oleh munshib-munshib yang tidak berilmu dan tidak istiqamah, dan munshib-munshib itulah yang memegang catatan nasab mereka.
Sekarang, bandingkan dengan nasab sebagian keluaraga keturunan Walisongo yang sejak awal dipegang oleh para kiai. Baalawi Indonesia bisa saja mengklaim nasab mereka yang paling shahih di hadapan pribumi yang tidak tahu sejarahnya.
Sekarang, coba umat Islam Indonesia berpikir jernih, mana yang lebih layak dipercaya antara catatan nasab yang dipegang oleh para kiai dan yang dipegang oleh para munshib yang --kata Imam Haddad-- tidak berilmu dan tidak istiqomah itu? Artinya, kalau mau nurutin suudzon, nasab Baalawi juga banyak celah untuk dipermasalahkan.
Waallahu Aklamu bissowab..................
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri