Sidebar ADS

BAHAYA DAN HUKUM BERBICARA AGAMA TANPA ILMU


BAHAYA DAN HUKUM BERBICARA AGAMA TANPA ILMU 

Terkadang kita melihat seorang pimpinan grup rebana beraliran musik padang pasir, yang tidak memiliki ilmu agama berani berbicara tentang hukum Islam di sela-sela jeda konsernya.

Anehnya kengawurannya itu di amini oleh para penonton, bagi penggemar fanatik apa yang di katakannya itu adalah suatu kebenaran mutlak, haram untuk diteliti maupun dikritisi. Maka bagi siapapun yang meneliti serta mengkritisi secara ilmu, akan di cap sebagai pembenci.

Dari pengamatan lapangan, fenomena ini kebanyakan dilakukan oleh kaum penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab. Untuk mendoktrin yang hadir agar tunduk dan patuh terhadapnya, dengan berbagai ancaman kualat serta laknat.

Dalam tulisan kali ini, akan membahasa tentang bahaya dan hukum berbicara agama tanpa ilmu. Mari kita kaji bersama-sama.


Ketahuilah bahwa Allah SWT akan menanyai hamba-Nya di hari kiamat tentang segenap perkataan, pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Allah ta’ala berfirman:

 وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا (الإسراء: 36)

Maknanya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. al Isra’: 36)

Ayat tersebut dijadikan salah satu dalil oleh para ulama atas diharamkannya berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu. Bahkan para ulama mengategorikannya sebagai salah satu dosa besar.

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
 

مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (رَوَاهُ ابْنُ عَسَاكِرَ)

Maknanya: “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu ‘Asakir).

Jika demikian halnya, lalu apakah yang dimaksud dengan berfatwa tanpa ilmu? Orang yang berfatwa adakalanya adalah seorang mujtahid atau bertaqlid (mengikuti) seorang mujtahid, dan adakalanya adalah orang yang memaksakan diri untuk berfatwa tanpa ilmu.

Mujtahid ialah orang yang memiliki keahlian untuk menggali hukum-hukum yang tidak terdapat teks Al-Qur’an dan sunnah yang jelas (sharih) tentangnya. Ia adalah seorang yang hafal ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum serta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai seluk-beluk bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa Al-Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini, maka dimungkinkan ia akan menyalahi ijma’ (konsensus) para ulama sebelumnya. 

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat penting lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad, yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah, yaitu tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan, jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah seluruh perbuatan baiknya.  

Seseorang yang memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, jika berfatwa maka ia berfatwa sesuai dengan ijtihadnya. Adakah di masa sekarang ini orang yang memenuhi semua syarat dan kriteria tersebut? 

Sedangkan jika seseorang tidak memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, maka semestinya ia berpedoman kepada fatwa salah seorang mujtahid, yakni mengutip pendapat seorang mujtahid dalam suatu masalah. Sedangkan orang yang menyerobot tingkatan yang tidak ia capai dan merasa telah mencapai derajat mujtahid padahal sejatinya tidak, kemudian ia memberikan fatwa (berbicara tentang agama) tanpa dasar ilmu, maka ia telah melakukan khianat ilmiah dan terjatuh dalam dosa besar.

Allah akan menyingkap kedoknya di dunia sebelum di akhirat sebagaimana ditegaskan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

مَنْ سَامَ بِنَفْسِهِ فَوْقَ مَا يُسَاِوي رَدَّهُ اللهُ تَعَالَى إِِلَى قِيْمَتِهِ (الْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ، 1\13)  

Maknanya: “Barangsiapa yang mengklaim dirinya telah mencapai derajat yang belum ia capai, maka Allah akan membuka kedoknya dan mengembalikannya ke derajat dia yang sesungguhnya” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 1/13).

Marilah kita mewaspadai diri kita. Janganlah kita berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu. Janganlah kita lalai, gengsi, dan malu untuk mengatakan “saya tidak tahu” ketika kita ditanya tentang permasalahan agama dan kita memang tidak mengetahui jawabannya.

Sungguh telah terdapat teladan yang baik pada diri Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi tentang bagian bumi yang paling baik dan bagian bumi yang paling buruk.

Nabi lalu mengatakan:

 لَا أَدْرِي (رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي السُّنَنِ الْكُبْرَى)

Maknanya: “Aku tidak tahu jawabannya.” (Diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra).

Kemudian turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW bahwa bagian bumi yang paling mulia adalah masjid dan bagian bumi yang paling buruk adalah pasar.  Salah satu sebab menyebarnya kebodohan dalam ilmu agama dan beredarnya pemahaman-pemahaman yang keliru tentang agama di tengah-tengah masyarakat adalah banyaknya orang yang berbicara agama tanpa dasar ilmu, dan permintaan fatwa dari masyarakat kepada orang-orang yang tidak berilmu.

Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِـزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يـُبْقِ عَالِمًا اِتَّـخَذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالًا فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)​​​​​​​

Maknanya: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya begitu saja dari para hamba, melainkan Allah mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, maka orang-orang akan mengangkat orang-orang yang bodoh (tidak berilmu) sebagai pemimpin dan panutan mereka. Lalu mereka ditanya (tentang hukum agama), maka mereka menjawab tanpa dasar ilmu sehingga diri mereka sendiri tersesat dan mereka menyesatkan orang-orang selain mereka.” (H.R. al Bukhari)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menyatakan bahwa orang yang berfatwa tanpa ilmu terjerumus dalam kesesatan dan menjerumuskan orang yang meminta fatwa kepadanya ke dalam jurang kesesatan. Keduanya sama-sama tersesat. Hal ini dikarenakan orang yang berfatwa, dengan kebodohannya, telah berfatwa tanpa dasar ilmu. Sedangkan orang yang meminta fatwa telah meminta fatwa atau bertanya tentang hukum agama kepada orang yang tidak berhak dan tidak layak untuk dimintai fatwa.

Imam an-Nawawi rahimahullah menegaskan:

لَا يَـجُوْزُ اسْتِفْتَاءُ غَيْرِ الْعَالِمِ الثِّقَةِ (مُقَدِّمَةُ الْمَجْمُوْعِ)

“Tidak boleh meminta fatwa kepada selain orang yang berilmu (ulama) dan terpercaya (tsiqah).”

Salam sebuah hadits menyebut Sayyidina Ali sebagai sahabat yang paling banyak ilmunya. Jika beliau yang ilmunya bagaikan samudra saja tidak gengsi dan malu untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’.

Ketika tidak mengetahui jawaban atas sebuah pertanyaan, maka bagaimana dengan orang-orang yang sangat terbatas ilmunya seperti kita?

❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS