MAMPUKAH MENGAHIRI POLEMIK NASAB BAALAWI ??
Artikel yang beliau tulis sebenarnya cukum lama, di bulan Juli lalu. Sayangnya saya mendapatkan artikel itu baru-baru ini. Sehingga baru saya telaah argumentasiargumentasi yang beliau suguhkan dalam menguatkan nasab Baalawi. Saya memandang bahwa polemik nasab Baalawi saat ini merupakan masa “Kebangkitan Pengetahuan”, khususnya dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab. Dulunya para santri, para ustadz dan para kyai sama sekali tidak perduli, bahkan terkasan acuh terhadap ilmu nasab.
Tapi sekarang sudah berubah 180 derajat. Sekarang mereka mulai membuka-buka kitab-kitab nasab, kitab-kitab sejarah, kitab sanad dan biografi para ulama-ulama terdahulu. Bahkan kitab sejarah/tarikh yang penulisnya adalah ulama-ulama di abad-abad antara 4-9 H. Sebuah kebangkitan yang luar biasa yang patut disyukuri oleh seluruh ummat Islam, khususnya di Indonesia. Saya termasuk di antara santri-santri yang tergugah untuk kembali membuka-buka dan menelaah kitab nasab serta kitab sejarah.
Kembali lagi ke tulisan Kyai Fahrur yang berjudul “Mengakhiri Polemik Nasab Ba’alawi”, saya tertarik untuk menelaah argumen-argumen yang beliau gunakan untuk mempertahankan nasab Ba’alawi. Apakah benar tulisan beliau mampu mengakhiri polemik nasab Baalawi? Ya meskipun -menurut saya- mayoritas hujjahnya berkutat kepada “syuhroh dan istifadhoh”, “Tidak disyaratkannya kitab sezaman”, “tidak disebutkan bukan berarti tidak ada”, dan lain sebagainya yang akan saya ulas di bawah ini.
Langsung saja dengan tidak berlama-lama, mari kita kaji bagaimana argumentasiyang digunakan dalam penetapan nasab Baalawi !!
Apakah Setiap Orang Dipercaya Dalam Pengkuan Nasabnya ?
Kyai Fahrur Rozi menggunakan statemen Imam Malik sprt ketrangan dibawah ini
👇
“manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”. Kemudian beliau menggunakan riwayat imam Bukhori bahwa Rasulullah saw tidak pernah mempertanyakan dalil atau saksi di dalam nasab".
👉 Naah..Mari kita renungi bersama-sama bagaimana pandangan dari para pakar nasab dalam mengomentari stetmen imam Malik di atas. Tentu lebih faham pengaplikasiannya di dalam ilmu nasab, terlebih lagi jika nasab yang diklaim adalah nasab keturunan Rasulullah saw, maka tentu akan memiliki nilai yang berbeda dengan nasab-nasab yang Abdurrahman Al Qoroja mengomentari statemen imam Malik bahwa ungkapan
tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak, dan sbagian ulama memberikan tambahan kriteria: “selagi tidak mengaku syarif/sayyid”
[al Kafil Muntakhob, hal61]
Bahkan Abdurrahman At Taujini juga memberikan komentar yang berdekatan dengan sebelumnya bahwa itu berlaku dengan syarat: orang yang mengaku-ngaku nasab mengetahui nasabnya, dan meraih nasab tersebut (hiyazah) sebagaimana ia meraih harta benda sampai di tangannya dan jika tidak mencapainya, maka ia harus mendatangkan bukti akan nasabnya, dan menekan dirinya untuk mendatangkannya. [Kholil al Zulai’i, Muqoddimat fi Ilmil Ansab, hal 56].
Maka jelaslah bahwa tidak semua orang dapat dipercaya dalam pengakuan nasab, terlebih lagi ketika dirinya mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw. Karena jika pintu ini dibuka, maka siapapun bisa mangaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw, meskipun tanpa bukti dan dalil. Apalagi hanya sekedar berargumendengan syuhroh dan istifadhoh yang cacat itu.
SYUHROH DAN ISTIFADHOH
Kyai Fahrur Rozi menuliskan:
👇
“Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhroh dan istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah”
👉 Di sini saya dapat memahami bahwa beliau tidak terlalu mendalami istilah yang digunakan di dalam kitab-kitab nasab, dan beliau hanya mengacu kepada kitab-kitab fiqih seperti Muhgnil Muhtaj, Nihayatul Mathlab, al Hawil Kabir, dsb. Sehingga di dalam mendefinisikan dan menggambarkan syuhroh dan istifadhoh tidak seperti yang digambarkan di dalam kitab-kitab nasab. Husain Haidar al Hasyimi menyebutkan kriteria syuhroh dan istifadhoh yang diterima di dalam pengitsbatan nasab sebagaimana berikut:
“Kesimpulan kaidah-kaidah (dalam) cara ini (syuhroh dan istifadhoh) ialah:
1. tersebarnya kemasyhuran yang membuahkan keyakinan atau sangkaan yang kuat.
2. tidak adanya penentangan secara umum dan khusus, atau di dalam catatan-catatan yang jelas
3. tuanya nasab dan kemasyhuran.
4. syuhrohnya berada di kabilah (asalnya), atau daerah asalnya, bukan di daerah hijrahnya. [Husain Haidar, Rosail fi Ilmil Ansab, Jika saya diperkenankan bertanya: Apakah nasab baalawi sudah memenuhi syarat syuhroh dan istifadhoh ??
Padahal kemasyhuran nasab Baalawi baru mulai dikenal semenjak masa Ali bin Abu Bakar As Sakron (w. 895 H) sebagaimana penuturan Ahmad bin Abdul Karim al Hasawi (murid Habib Abdullah al Haddad). Bahkan lebih dari itu, silahkan anda buka di dalam kitab "al Masyrour" Rowi bahwa pengitsbatan nasab Baalawi sebanyak dua kali:
pertama di masa Ubaidillah dengan 300 saksi dari penduduk Iraq, dan 300 saksi dari penduduk Hadramaut ketika melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dan kali yang kedua adalah di masa Ali bin Muhammad Jadid
(w. 620 H) yang biografinya disebutkan di kitab-kitab Baalawi, ia juga yang melakukan pengitsbatan nasab Baalawi dengan saksi ratusan orang baik dari penduduk Iraq atau para Jamaah haji yang hadir di saat itu.
Informasi ini hanya dapat ditemukan di kitab-kitab internal Baalawi dan tidak saya temukan sama sekali di kitab-kitab eksternal Baalawi. Dari ratusan orang ini, bahkan bisa jadi lebih dari seribu orang, siapa saja yang menyaksikan pengitsbatan nasab baalawi ini ??
Apakah logis jika satu kejadian yang disaksikan oleh ratusan orang bahkan ribuan orang tapi tak satupun dari mereka –khususnya kalangan ulama yang hadir di dalam kejadian itu- yang menyebutkan dan menjadi saksi atas kebenaran pengitsbatan nasab itu ??.
Maka jika tidak bisa dibuktikan dengan data, maka kuatlah indikasi bahwa kedua kisah tersebut adalah kisah yang fiktif; karena tidak dikuatkan dengan data.
FAKTA SEJARAH KITAB KHADIST
Kyai Fahrur Rozi menyatakan bahwa;
👇
"tidak ada catatan hadist pada masa Rasulullah saw. Pencatatan hadist mulai dilakukan seabad setelahnya".
👉 Saya tidak setuju dengan statemen ini; karena di dalam riwayat imam Bukhori di dalam Jami’ Shohihnya, imam Ahmad di dalam Musnadnya:
"Dari Abu Hurairah ra berkata: “Tidaklah ada seseorang yang lebih mengetahui tentang hadist Rasulullah saw dari pada diriku, kecuali dari Abdullah bin Amr; karena dia menulis dengan tangannya dan memahaminya dengan hatinya. Sementara aku tidak menulis dengan tanganku. Dia meminta izin kepada Rasulullah saw dalam menulis dari Rasulullah saw darinya, maka Rasulullah saw memberinya izin”. HR Bukhori, Ahmad, Ad Darimi, dll.
Atsar ini sangat jelas bahwa di masa Rasulullah saw sudah terdapat catatan
hadist. Dan tidak perlu menunggu sampai ke abad berikutnya untuk mendapatkan catatan hadist. Tentu kyai Fahrur tau bahwa di dalam ilmu mustholahul hadist dalam pembahasan hadist shohih bahwa seorang rowi harus memiliki sifat “dhobth” (tepatnya riwayat), dan dhobth ada dua macam: dhobtus shodr (tepatnya riwayat dalam hafalan) dan dhobtul kitabah (tepatnya riwayat dalam tulisan). Jadi, tidak semua riwayat hadist berdasarkan hafalan, bahkan banyak perowi yang kuat hafalannya di akhir umurnya malah mengalami ikhtilat.
Berbeda dengan periwayatan hadist melalui kitab/tulisan, ia lebih terjaga dari pada hafalan, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam ilmu hadist agar dapat diterima. Meskipun kodifikasi hadist di dalam sebuah kitab atau karya yang menghimpun hadist-hadist Rasulullah baru dapat dijumpai di abad ke 2 H.
Jika di masa Rasulullah saw saja terdapat tulisan hadist apalagi al Qur’an, maka di masa-masa berikutnya tentu lebih berkembang lagi. Apalagi hanya sekedar mencari nama “Ubaidillah” yang dikatakan sebagai “imam”, “dzuriyah rasul”, “ilmunya tersebar ke segala penjuru”, “banyak murid-muridnya”, dan ungkapan-ungkapan “wah” lainnya yang
menunjukkan akan kebesaran nama tokoh ini !!.
NASAB BAALAWI
Kyai Fahrur Rozi berkata:
👇
“Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah....:”
👉 Statemen ini betul, tapi sejak abad berapa ulama-ulama dan sejawan yang menetapkan nasab Baalawi ?? Apakah Jadid terkonfirmasi sebagai saudara dari Alwi bin Ubaidillah ?? dan bagaimana dengan penafsiran Ali bin Abi Bakar As Sakron bahwa Ubaid adalah tokoh yang sama dengan Abdullah ?? semuanya disebutkan di dalam kitab al Burqoh al Musyiqoh tanpa mendatangkan sedikitpun hujjah dan dalil yang memperkuatnya, hanya sekedar mengutip dari kitab As Suluk dan Mukhtashornya.
Lalu menafsirkan bahwa Ubaid adalah Ubaidillah, dan Ubaidillah adalah Abdullah. Itu adalah nama-nama yang berbeda dari satu tokoh, meski tanpa dalil. Kitab As Suluk karya imam Baha’uddin al Janadi memang menyebutkan nasab Ali bin Muhammad bin Jadid secara lengkap sampai kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa.
Tetapi perlu dikaji ulang. Karena jika melihat jumlah nama dalam ‘amudun nasab pada Ali bin Muhammad bin Jadid kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa ditemukan nasabnya berbeda-beda. Dalam sebagian naskah ada menyebut 5 nama, sebagian lagi ada 6 nama, sebagian lagi ada 7 nama.
Bahkan penyebutan “bin” pada Ali bin jadid di dalam kitab al ‘Iqduts Tsamin fi Tarikh al Baladil Amin (6/249) karya Taqiyyuddin al Fasi (w. 832 H) sedikit berbeda dengan versi yang biasanya, Ali bin Jadid disebutkan: “Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Jadid”. Padahal dalam versi yang lain disebut: “Ali bin Muhammad bin Ahmad”, bukan Muhammad bin Ahmad. Ditambah lagi dengan beberapa tokoh-tokoh Baalawi yang disebutkan di dalam kitab as Suluk tidak terkonfirmasi sebagai keluarga Baalawi yang tercantum di dalam kitab-kitab Baalawi. Misalnya Bamarwan yang sangat jelas disebutkan oleh Al Janadi sebagai bagian dari keluarga Baalawi.
Tetapi oleh kitab-kitab Baalawi malah disebut sebagai guru Faqih Muqoddam, padahal hal itu tercantum secara jelas di dalam as Suluk yang versi cetak bahkan di versimanuskrip -manuskripnya. Hal yang patut disayangkan adalah kitab Tuhfatus Zaman karya Husain al Ahdal yang merupakan ikhtisar atau ringkasan dari kitab As Suluk, ketika menyebutkan
Ba Marwan, di sana malah disebut sebagai guru dari Faqih Muqoddam.
Saya tidak tahu, apakah itu merupakan interpolasi dari pentahqiqnya: (Abdullah Muhammad al Habsyi Baalawi) atau redaksi kitabnya memang seperti itu ?? Allahu A’lam; karena saya belum mendapatkan manuskrip "Tuhfatuz Zaman". Maka kehujjahan as Suluk dalam penetapan nasab Baalawi menjadi mauquf, sampai adanya bukti yang memperkuatnya atau membatalkannya.
Wallohu aklamu bissowaab...........
Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.