KARAKTERISTIK MASYARAKAT SUKU JAWA
Sebelum membicarakan karakteristik pemikiran masyarakat Jawa, ada yang menarik ketika melihat kecenderungan pengidolaan masyarakat Jawa terhadap tokoh wayang tertentu. Contohnya seperti di antara pandawa lima itu, yang paling dikagumi dan dihayati karakter pribadinya oleh mayoritas orang Jawa adalah Bima, bukan Yudhistira — si manusia lembut yang dijuluki "satriya ludira seta" (kesatria berdarah putih) karena kesabarannya yang besar dan kehalusan budinya. Menurut saya, dari kecenderungan mayoritas manusia Jawa yang mengidolakan sosok Bima itulah, konsepsi alam berpikir manusia Jawa "yang ideal" akhirnya terbentuk, dan manusia Jawa yang ideal itu semestinya darahnya adalah "merah-putih", bukan putih saja seperti Yudhistira. Harus ada semangat revolusioner yang sekaligus menyatu dengan semangat spiritual, itulah makna darah merah-putih, itulah dialektikanya orang Jawa yang meneladani karakter Bima. Toh menilik dari akar sejarah raja-raja Jawa, bukankah DNA orang Jawa itu adalah gabungan dari DNA Ken Arok dan Ken Dedes, gabungan dari DNA pemuda kritis revolusioner yang jago gelut dengan DNA putri Buddhis yang alim rajin meditasi (olah spiritual)?
Coba sedikit menenggok ajaran Buddha, nafsu-nafsu kemanusiaan seperti lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kegelapan batin) itu dianggap 3 akar kejahatan dan harus dilenyapkan, sementara yang harus dihidupi-hidupi hanyalah upekkha (keseimbangan batin) saja. Tetapi jika kita menenggok dalam alam pikir ajaran kebatinan Jawa (Kejawen), semua nafsu-nafsu kemanusiaan itu dengan istilah dan bahasa yang berbeda justru dianggap sebagai "sedulur papat" alias 4 saudara batin yang harus "diseleraskan dan diharmonikan", bukan untuk dimusuhi apalagi berusaha dilenyapkan.
Dari sinilah pintu untuk memahami kenapa orang Jawa atau Kejawen itu pada umumnya masih memiliki muntab dan amuk jika melihat ada pelecehan atas rasa keadilan atau ketika diinjak-injak martabatnya, ya menurut saya karena mayoritas spiritualitasnya orang Jawa itu tentu saja bukanlah Spiritualitas Yudhistira yang asketis-pasif, melainkan adalah Spiritualitas Bima yang asketis-revolusioner. Jadi darahnya orang Jawa yang ideal itu bukanlah darah putih yang gemarnya hanya berdiam diri ber samadhi saja, tetapi darahnya adalah darah merah-putih yang melahirkan "nasionalisme-revolusioner bercorak spiritualistik"
Dan sebagai pintu awal untuk memahami alam berpikir masyarakat Jawa ,saya kira hal yang harus dimengerti oleh masyarakat non-etnis Jawa yaitu jika alam berpikir Jawa itu ada 2 kutub. Kutub alam berpikir ala Jawa Timur yang mewarisi "karakter lugas" dari leluhur era Singhasari-Majapahit dan kutub alam berpikir ala Jawa Tengah yang mewarisi "karakter senyap" dari leluhur era Pajang-Mataram. Karakter alam berpikir yang pertama adalah karakter bercorak maritim yang membentuk gerak laku yang dinamis, bergelora, revolusioner, lugas, dan berjiwa terbuka. Karakter alam berpikir yang kedua adalah karakter bercorak agraris yang membentuk gerak laku yang penuh ketelitian, asketik, halus, diplomatis, dan agak tertutup/menyimpan sisi misteri.
Kertanegara, raja terakhir Singhasari yang tanpa tedeng aling-aling tanpa basa basi memotong telinga utusan imperialis Mongol itu adalah contoh produk alam berpikir yang pertama, sedangkan Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam yang memakai siasat terselubung dan jerat kecantikan anak perempuannya untuk menumpas Ki Ageng Manggir itu adalah contoh produk alam berpikir yang kedua. Dalam pewayangan, alam berpikir yang pertama mewujud pada karakter Bima yang lugas dan keras, tetapi di balik tampilan gerak lakunya yang "tidak halus" itu ternyata Bima adalah satu-satunya dari pandawa lima yang paling tinggi "pencapaian spiritualnya" dengan berhasil menemukan kesejatian dirinya dalam lakon Dewaruci. Sementara karakter alam berpikir yang kedua dalam pewayangan adalah mirip karakter Yudhistira, sulung pandawa ini dikenal berbudi halus, sabar, bertata etika ala ningrat, dan gaya bahasanya sangat santun. Akan tetapi paradoksnya, di balik segala gerak laku halusnya itu ternyata Yudhistira menyimpan sisi angker, keberingasan, dan ego raksasa yang dalam lakon pewayangan suatu saat Yudhistira bisa bertiwikrama atau berubah wujud menjadi Dewa Amral yang buas dan penuh amuk membuta.
Jadi akan terlalu dangkal manakala menilai tingkat spiritualitas dan keluhuran budi seseorang hanya dari apakah gaya bahasanya itu "cadas tajam" atau "lembut gemulai". Toh bukankah penipu paling ulung itu adalah mereka yang mahir berlembut-lembut muka dan bermanis-manis kata? Itulah makanya orang Jawa memiliki idiom kata "lamis" untuk meneroka seseorang yang mulutnya manis dan menyenangkan akan tetapi hati dan perilakunya sangat bertolak belakang
Sejarah telah menunjukkan, gaya komunikasi politik yang lugas dan bahkan bersinggungan dengan sedikit kemarahan itu bukan suatu aib Dan dalam konteks rasa amarah yang suci ini ada istilah jika anda bergetar dengan marah setiap melihat ketidakadilan, maka anda adalah kawan saya.
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
web.facebook.com/qsantri.eu.org