KONFLIK ANTARA BAALAWI DAN AL-IRSYAD
Agar tak salah paham, seperti ditegaskan Natalie Mobini-Kesheh, al-Irsyad bukanlah organisasi yang secara politik menabukan para Ba'alwi. Mayoritas pengikut Surkati memang berasal dari kelompok non-Ba'alwi, tapi ada juga para Ba'alwi dengan pandangan reformis yang bersimpati pada pandangan-pandangan Surkati.
Para Ba'alwi diizinkan dan dimungkinkan bergabung dan bahkan ada yang menjadi penyumbang dana, terutama Abdullah bin Alwi Al-Attas, yang juga kecewa kepada Jamiat al-Khair. Ia menyumbangkan uang 60 ribu gulden (Deliar Noer, The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, hlm. 64). Bahkan ada yang menempati posisi penting di al-Irsyad yaitu Abdullah bin Abu Bakar al-Habshi, yang menjadi presiden komite sekolah al-Irsyad yang pertama (Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942, 1999: hlm. 63).
Selain itu, perlu juga ditandai bahwa polemik yang dipicu pandangan Surkati ini, tidaklah sesederhana konflik antara kaum Hadrami kolot vs modern. Menurut Michael Laffan, seluruh friksi ini berlangsung antara kaum modernis Hadrami, yang sudah mulai berpandangan terbuka terhadap perkembangan modernitas dan sama-sama menerima pengaruh gerakan Pan-Islamisme. Perbedaan terbesarnya, mula-mula, di sekitar privilese para Ba'alwi yang mengklaim sebagai dzuriyah Nabi (isu kafaah dalam pernikahan dan tradisi mencium tangan adalah turunan dari privilese itu).
Isu tentang kesetiaan pada tanah leluhur Hadramaut atau pada tanah air Hindia yang sedang dipijak belum mencuat tajam. Bahkan al-Irsyad masih tetap mengakui pentingnya merawat identitas sebagai orang Hadrami. Privilese kasta pun, tidak jarang, masih muncul dalam kegiatan-kegiatan al-Irsyad (Laffan, Archipel no. 62, 2001: hlm. 226-231).
Hanya saja, kecurigaan pada al-Isryad tidak kunjung mencair, bahkan semakin tajam seiring berdiri ar-Rabithah al-Alawiyah pada 1928 yang diniatkan merawat dan menjaga tradisi Klan Ba'alwi, dengan cara memverifikasi dan mengotentifikasi mana yang Ba'alwi dan mana yang bukan.
Selain itu, keberadaan sejumlah Ba'alwi di kelompok al-Irsyad bikin runyam. Usaha mempertahankan privilese berlangsung ke mana-mana. Kelompok Ba'alwi tak segan melancarkan isu bahwa al-Irsyad anti-pemerintah, baik pemerintah kolonial Belanda di Hindia maupun Inggris di Malaya dan Singapura. Al-Irsyad bukan hanya dituduh berkiblat kepada Wahabi, kadang dituduh berbaiat pada Istanbul (dalam konteks Perang Dunia I, Turki berseberangan dengan Inggris), bahkan ada tuduhan disusupi kaum Bolshevik atau Komunis.
Kelompok ini, yang jaringannya merentang dari Hindia-Belanda hingga India dan tentu saja Hadramaut, juga menggunakan koneksinya di Singapura untuk menghambat pergerakan anggota al-Irsyad. Ali bin Ahmad bin Shahab membujuk pemerintah kolonial Inggris untuk menghadang perjalanan anggota al-Irsyad yang hendak berlayar untuk berziarah ke Hadramaut (Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s to 1960s, 1927: hlm. 125).
Konflik antara para Ba'alwi (yang sebagian terbesar berafiliasi pada Jamiat al-Khair dan kemudian Rabithah) dan non-Ba'alwi.(yang sebagian terbesar diwakilkan oleh al-Irsyad) dalam banyak literatur disebut sebagai “konflik Ba'alwi-Irsyadi”.
Ba'alwi adalah istilah untuk keturunan Rasulullah yang berasal dari Hadramaut, ia merujuk Alawi bin Ubaidillah, keturunan Rasulullah yang pertama kali lahir di Hadramaut. Alawi sendiri anak Ahmad al-Muhajir, generasi ketujuh dari garis Fatimah-Husein. Ia meninggalkan Irak menuju Hadramaut sekitar tahun 896 M. Setelah di teliti pada kisaran tahun 2023 ternyata Ba'alwi bukan bagian dari dzuriyah Nabi SAW, tertuang dalam tesis karya KH Imaduddin Utsman Al Bantani.
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
web.facebook.com/qsantri.eu.org