MENYELINAP DI DALAM PERSETERUAN ANTARA KLAN BAALAWI VERSUS AL-IRSYAD
Pada 1932, seorang Arab berasal dari Irak bernama Assaeh al-Iraqi, nama aslinya Yunus al-Bahri, tiba di Jawa. Ia sangat pandai, bahasa Arabnya mengagumkan, pengetahuannya luas. Dengan cepat ia menjadi rebutan antara al-Irsyad dan Rabithah. Belakangan akhirnya ia lebih dekat dengan al-Irsyad.
Orang Irak ini kemudian menerbitkan surat kabar Al-Haq yang banyak mengkritik kelompok Ba'alwi, bahkan menyerang tokoh bermarga al-Attas yang sangat dihormati. Serangan ini memicu kekerasan. Assaeh sampai dibacok seorang pemuda hingga berlumuran darah (Sutarmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, 1989: hlm. 50-51).
Menurut Sutarmin, dalam buku yang sama, pertentangan di antara keturunan Hadramaut ini menjadi kian sulit untuk dilunakkan. Banyak yang mulai gusar, dan usaha-usaha mencari titik temu dilakukan. Seorang pemuka di Singapura sampai meminta bantuan Rabithah al-Syaiqiyah di Kairo guna dimintai solusi. Bahkan Ibnu Saud, Raja Saudi pertama, hingga Syakib Arsalan yang termasyhur (tinggal di Swiss), juga dimintai bantuan untuk mencari penyelesaian (hlm. 45-46).
Konflik ini kemudian meluas. Tak hanya perkara status kebangsawanan atau garis leluhur dan segala macam turunannya (panggilan habib, pernikahan syarifah atau cium tangan pada Klan Ba'alwi), tapi juga pada isu-isu baru soal Arab totok (wulaiti) dan Arab peranakan atau Indo-Hadramati (muwallad).
Salah satu pemantik perdebatan yang baru ini adalah kemunculan Indo Arabische Verbond yang didirikan oleh Mohammad bin Abdullah Alamudi. Ia juga ingin mempersatukan seluruh keturunan Arab. Mulanya ia mendapat sambutan yang hangat karena banyak yang mulai jenuh dan jengah melihat pertikaian yang kian tajam.
Menurut Hamid al-Gadri, ia gagal dalam usahanya karena dianggap terlalu bertumpu pada orang-orang kaya yang kebanyakan Hadrami totok (wulaiti). Mereka dianggap kurang mengaitkan diri dengan kenyataan sosial keturunan Arab yang sudah membaur dan tidak sepenuhnya lagi ditentukan oleh sistem sosial di Hadramaut (Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab Indonesia, 1988: hlm. 115). Sedangkan Sutarmin menganggap kegagalan Alamudi juga dipicu karena Alamudi dianggap hanya memuluskan ambisi pribadinya untuk masuk ke dalam Volksraad, dewan perwakilan Hindia.
Pada titik inilah muncul Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, seorang peranakan Hadrami non-Ba'alwi, yang mengambil jalan lebih radikal lagi. Ia tidak lagi berbicara soal polemik sosial budaya Hadramaut, melainkan sudah berbicara tentang keniscayaan semua keturunan Arab, totok atau peranakan, Ba'alwi atau bukan, untuk menjunjung tanah air yang dipijak saat itu: Hindia (Indonesia).
Ia berhasil, setidaknya, menyatukan sekelompok peranakan Hadramaut, baik yang Ba'alwi maupun bukan, untuk mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI) pada 4 Oktober 1934. Secara terang-terangan PAI menyatakan bahwa Indonesia sebagai Tanah Air. Hadir setidaknya 40 orang peranakan Hadramaut, baik dari Ar-Rabithah maupun Al-Irsyad, dalam momen bersejarah itu.
Ini perkara sulit bahkan bagi Baswedan sekalipun. Natalie dalam The Hadrami Awakening menguraikan bagaimana ketegangan antara kesetiaan pada Hadramaut atau Indonesia berlangsung rumit, bertele-tele, dan penuh tarik-ulur. Bahkan al-Irsyad, yang lebih modern, sukar untuk—katakanlah—memutuskan ikatan emosional dan orientasi batin kepada tanah asal Hadramaut.
Sampai akhirnya PAI berubah nama dari Persatuan menjadi Partai pada 1938. Meski begitu, tekanan dan penolakan terhadap A.R. Baswedan masih bermunculan. Disertasi Husain Haikal di Universitas Indonesia, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia, memuat cerita tentang ancaman-ancaman fisik yang diterima A.R. Baswedan dari para Ba'alwi.
Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.
❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁
web.facebook.com/qsantri.eu.org