Sidebar ADS

SENJAKALA PARA HABIB DI INDONESIA ‼️

SENJAKALA PARA HABIB DI INDONESIA 

Para habib di Indonesia rata-rata beramaliah Ahli Sunnah wal Jama'ah, bahkan banyak yang berharokah di NU, meski agak sedikit aktif di Muhamadiyah. Fakta yang ditemukan memang demikian adanya, karena sudah menjadi ajaran turun temurun dari leluhurnya, yakni Islam ala Ahli Sunnah wal Jama'ah. Kebanyakan hasil didikan Tarim dan beberapa tempat di Hadramaut Yaman, kota penting dari pengembangan madzhab Sunni di Yaman, meski dulunya banyak dihuni kelompok muslim Khawarij dan Yazidi. Ini bisa dilihat pada Library of Congress Federal Research Division, terkait Country of Yemen. 

Kesamaan madzhab dengan umat Islam lainnya terutama di kalangan NU telah diterima baik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ikatan sesama madzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah, bahkan dengan kiai-kiai pesantren begtu dekat dan saling mahabbah. Itu sudah dibangun sejak lama dan relatif harmonis. 

Mereka muslim Yaman hijrah ke Nusantara di abad 19 Masehi, seiring permohonan C. Snouck Hurgronje kepada Ratu Wilhelmina agar muslim Yaman bisa tinggal di Nusantara dalam upaya meredam perlawanan pribumi atas penjajah kolonial, dengan dibuktikan penunjukan atas Sayid Usman sebagai Mufti Batavia. 

Ketika pecah Geger Cilegon 1888 dalam kitabnya Minhaj al-Istiqomah fi al-din bi al-Salamah, Sayid Usman bin Yahya telah menyebutkan bahwa gerakan tersebut bukanlah Jihad namun merupakan sebuah ghurur (delusi). Kitab itu berisikan sikap Sayyid Usman yang dikenal dekat dengan C. Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang ditugasi Ratu Wilhelmina untuk meredam pemberontakan di Banten. Karena jasa-jasanya telah memfatwakan haram melawan pemerintahan Kolonial Belanda, akhir kemudian Sayid Usman dianugerahi bintang tinggi dari Ratu Belanda ( lihat Tesis Tohirin : 2022 )

Mereka para habib masuk ke Nusantara diindikasikan awal atau pertengahan abad 19 Masehi, berdasarkan efek dari pengaruh besar atas tugas meredam perlawanan bangsa pribumi putera atas penjajahan Belanda yang dilakukan oleh Sayid Usman selaku Mufti Batavia, mereka yang berkelompok sesuai marganya yaitu Al Aidid, Al-Allan, Al-Amudi, Al-Audah, Al Ba'Abud, Al-BaFaraj, Al-Baharun, Al-Baraqbah, Albar, Al-Atthos, Al-Haddad, Al 'Aydrus Al-Bagdadi, Al-Bafaqih, Al-Bawahab, Al-Jindan, Al-Semit, Yahya, Al-Gadri, Al-Habsyi, Al-Jufri, Al Kaff, Al-Katiri, Al-Makki, Al-Muhdar, Al-Munawwar, Al-Musawa, Al-Mutahhar, Al Qadri, Assegaf, Attamimi, Al-Sihab, dari marga-marga inilah kemudian habaib berkembang di seantero Nusantara, terutama di Kwitang Jakarta, Empang Bogor, Pekalongan, Palembang, Solo dan Pasuruan. 

Belakangan beberapa oknum Habaib generasi terkini, ingin dinaikkan kelasnya, dan menuntut hak istimewa sebagai ras yang wajib dimuliakan dan ditinggikan, karena secara otoritatif soal keagamaan mereka miliki, dan lebih-lebih mereka gencar mengaku cucu Nabi Muhammad S.a.w seperti klaim mereka selama ini. 

Padahal jika mau jujur para habib dulu di era 70 -an hingga 80-an tidaklah ingin menonjolkan diri sebagai dzuriyat Nabi, relatif mereka menyembunyikan status nasabnya, dan tidak pernah berkoar-koar mengaku cucu Nabi S.a.w. Bahkan dulu itu akhlaq para habib begitu bagus dan mulianya.

Koreksi atas perilaku dari beberapa oknum habib yang congkak, arogan dan suka memeras orang-orang terutama kiai-kiai kampung, diteliti secara ilmiah melalui metode ilmu nasab belakangan ini. Catatan kesahihan status habib sebagai cucu Nabi berakhir pada kesimpulan, nasabnya terputus pada Ubaidillah, karena Abdullah atau Ubaidillah bukan anak dari Sayid Ahmad al-Muhajir. 

Koreksi epistemologis itulah yang mengantarkan paham pada kita bahwa dzuriyat Nabi itu ada, dan eksis hingga hari kiamat tetapi untuk mengatakan mereka habib yang sejak abad 19 Masehi berdatangan dari Yaman belum valid dikatakan cucu Nabi S.a.w. Tinggal pembuktian ilmiah yang perlu dilakukan untuk menjawab penelitian ilmiah tersebut. 

Dzuriyat Nabi S.a.w itu kita lihat bukan pada pengakuan Habib, atau Sayyid dan atau Syarif tetapi dzuriyat Nabi itu bisa kita cirikan pada pribadi yang perilaku hidupnya mencontoh akhlaqnya Nabi, kecenderungannya justru mereka yang dzuriyat Nabi yang asli selalu menutup-nutupinya. Karena itu jangan silau, jangan terlalu mahabbah, bahkan tidak perlu over penghormatan atas mereka, karena sikap itu justru jadi objek keuntungan bagi mereka, sementara kita muslim Nusantara masih merasakan derita dan perjuangan keluar dari jerat kemiskinan. 

Akhir kalimat, ingin menegaskan bahwa umat Islam Indonesia dimana pun berada wajib menjaga adat istiadat, budaya, kebajikan daerah, tata krama, tepo seliro, gotong royong, saling menghormati, saling menyayangi dan yang dilihat adalah ilmu dan adab. Siapapun mereka yang memiliki ilmu dan adab, maka baginya penghormatan dan penghargaan, bukan pada nasabnya. 


❄️بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب❄️  web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple
           oleh : Hamdan Suhaemi 

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS