Sidebar ADS

URGENSI BELAJAR DAN MENUKIL SEJARAH SECARA BENAR SESUAI DATA FAKTA‼️

URGENSI BELAJAR DAN MENUKIL SEJARAH SECARA BENAR SESUAI DATA FAKTA‼️

Kita wajib faham cara (ilmu) membaca sejarah. Lantas bagaimana cara membaca sejarah? Yakni sebagaimana kita membaca hadits Nabi SAW: Diperhatikan dan mengklarifikasi riwayat dan matan sejarah tersebut; apakah sanadnya shahih atau tidak, bagaimana kualitas perawinya dari sisi ilmu jarh (kritik) dan ta'dil (sanjungan) dst. Sejarah merupakan bagian dan/atau bahkan termasuk dalil itu sendiri. Sebab dalam sunnahnya Nabi SAW; baik qouliyah, fi'liyah, taqririyah maupun hamiyah; itu tidak terlepas dari rangkaian sejarah, dimana itu menjadi suluh dan suluk dalam bertingkah laku. 

Karena itu kita musti menyandarkan perkara sejarah ini kepada/dengan ahlinya. Sebab tidak semua orang boleh asal comot kutipan, sungguhpun kutipan sejarah tersebut benar-benar tertulis dalam kitab sejarah tersebut. Dengan kata lain, membaca sejarah itu harus dengan bimbingan dan rambu-rambu. 

Sebagai contoh, mengenai "catatan penting" dalam kitab induk sejarah islam yang sangat masyhur, yakni Kitab Tarikhnya Imam Ibnu Jarir Ath Thabari. 

Berikut adalah catatan tentang Kitab Tarikhul Umam wal Muluk [Tarikh Thabari] yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Jarir bin Yazid, Abu Ja'far Ath Thabari (224 - 310 H). 

Imam Adz Dzahabi berkata tentang Imam Ath Thabari: "Seorang yang tsiqoh lagi hafizh, rujukan dalam ilmu tafsir, imam dalam ilmu fikih, ijma' dan ikhtilaf, sangat mumpuni dalam telaah sejarah dan peristiwa-peristiwa penting umat manusia, tahu banyak tentang ilmu qiro'ah dan memiliki keutamaan lainnya." (As Siyar: 14/270). 

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sendiri dalam muqoddimah (hal. 5) dari kitab tarikh tersebut berkata: "Orang yang membaca kitab ini hendaknya mengetahui bahwa sandaran saya dalam menyebutkan segala yang diketengahkan di sini; yakni semua yang saya tulis; adalah berdasarkan Khabar-khabar (hadits-hadits) yang saya riwayatkan sendiri serta atsar-atsar yang saya sandarkan kepada para perawinya. Jika di dalam kitab ini didapati cerita perihal orang-orang terdahulu, lalu diingkari oleh pembacanya atau dicela pendengarnya karena sama sekali jauh dari ke-shahihan, maka hendaknya dicamkan bahwa kekeliruan ini tidaklah datang dari kami, melainkan dari sebagian perawinya. Sebab kami hanya menukilnya sesuai apa yang disampaikan kepada kami."

Beliau berkata juga, "Jika Anda menemukan suatu khabar yang diingkari dan tidak dapat diterima dalam kitab saya ini, maka perhatikanlah dari siapa kami meriwayatkannya. Tanggung jawab ada pada perawi itu. Kewajiban saya hanyalah menyebutkan siapa-siapa yang menceritakan suatu peristiwa. Jika dia memang tsiqoh, maka terimalah. Namun jika tidak, jangan Anda terima."

Ibnu Hajar berkata, "Mayoritas ahli hadits pada masa lampau yang hidup sejak tahun 200 H dan seterusnya, meyakini telah lepas dari tanggung jawab (ilmiyah) setelah meriwayatkan hadits dengan sanadnya." (Lisanul Mizan: 4/128 dalam biografi Ath Thabari, penulis Kitab Al Mu'jamul Kabir, Al Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shagir). 

PENTING..!! Harus diwaspadai periwayatan Luth bin Yahya (Abu Mikhnaf). Dimana Imam Ath Thabari menukil dari Abu Mikhnaf sebanyak 587 riwayat dalam kitab tarikhnya. Riwayat-riwayat tersebut mengungkap berbagai peristiwa sejak wafatnya Nabi SAW sampai masa pemerintahan Yazid bin Mu'awiyah. 

Ada banyak periwatan jalur Abu Mikhnaf ini yang bahkan berseberangan dengan catatan sejarah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Dari jalur Abu Mikhnaf, pembahasannya terkesan membela Syi'ah dan acap menyalahkan banyak shahabat Nabi SAW. 

Tentang Abu Mikhnaf, Imam Ibnu Ma'in berkomentar: "Dia bukan apa-apa" (riwayatnya tidak boleh diambil).

Abu Hatim berkata: "Dia perawi hadits matruk."

Ad Daraquthni berkata: "Dia perawi lemah."

Ibnu Hibban berkata: "Dia meriwayatkan hadits maudhu' dari orang-orang tsiqoh."

Adz Dzahabi berkata: "Dia seorang pewarta yang nukilannya tidak boleh dipakai, dia tidak bisa dipercaya."

(Rujuk di kitab: Al Jarh wa Ta'dil 7/182; Mizanul I'tidal 3/419; Lizanul Mizan 4/492). 

Periwayat lain yang memiliki "catatan" ataupun tahdzir dari beberapa ulama adalah: Al Waqidi, dimana dirinya oleh sebagian ulama diklaim atau tertuduh sebagai pembohong, meskipun ia termasuk sejarawan terkemuka. Juga Saif bin Umar At Tamimi, Al Kalbi dll. Pun demikian, bukan berarti menyalahkan secara total segala riwayatnya. Jika ada/banyak riwayat lain yang mendukung, tentu riwayatnya boleh diambil. 

Kitab sejarah apa yang sebaiknya dibaca (diambil rujukan), itu sebenarnya tergantung dari kapasitas masing-masing pembaca. Karenanya perlu merekomendasikan kitab-kitab sejarah dengan memberikan acuan dan arahan yang sesuai kapasitas si pembaca: 

1. Jika seseorang mampu menganalisa sanad dan menelitinya, maka Kitab Tarikh Ath Thabari bisa dijadikan rujukan paling tepat, karena kitab tarikh beliau adalah pegangan bagi para ulama penulis kitab sejarah. Maka termasuk Kitab Tarikh Khulafa' karya Imam As Suyuthi yang notabene banyak merujuk kepada Tarikh Ath Thabari itu adalah "Kitab Berat" yang tidak semua orang bebas mengkonsumsinya. Kitab tersebut adalah rujukan bagi para 'alim yang telah memahami sanad ataupun yang sudah memiliki filter kuat dari kitab-kitab sejarah.

2. Jika seseorang tidak mampu menganalisis dan meneliti sanad, maka bacaan yang paling tepat adalah: Al Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Tarikhul Islam ataupun juga Siyar Alam An Nubala dimana keduanya adalah karya Imam Adz Dzahabi, Al 'Awashim minal Qawashim karya Abu Bakar Ibnul 'Arabi, dst. 

Urgensi mendapatkan catatan valid tentang sejarah Islam itu banyak, diantaranya: Memiliki pegangan dalam bersikap, akan bisa lebih bijak, santun dan tenang dalam bertindak, tidak mudah terhasut, tidak mudah dipengaruhi namun di sisi lain siap menerima perubahan dan perbaikan berdasarkan fakta yang lebih benar, akan terwujud pribadi yang toleran dikarenakan sejarah Islam banyak mengajarkan toleransi. 

Badar bin Nashir Al Badar dalam Halu Salaf Ma'a Quran (2011) halaman 268 mengutip perkataan Imam Abu Hanifah: "Mempelajari kisah perjalanan orang-orang hebat itu lebih aku sukai daripada mempelajari sebagian besar ilmu fikih." Kemudian Badar bin Nashir Al Badar memberikan komentar mengenai perkataan Imam Abu Hanifah. Bahwa ketika kita mempelajari riwayat hidup orang-orang besar, akan menyejukkan sanubari kita. 

Demikian sekilas wacana tentang rambu-rambu dalam memahami dan kode etik mengambil rujukan kepada catatan sejarah. Semoga bermanfaat.

~~بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب~~  web.facebook.com/qsantri.eu.org?apps.apple

إرسال تعليق

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

أحدث أقدم
Sidebar ADS
Sidebar ADS
Sidebar ADS